Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Polemik Hukuman Mati, Dampak Diterapkannya Sistem Demokrasi

Ilustrasi



Oleh: Wa Ode Selfin (Relawan Opini Baubau)


Tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia yang setiap tahun semakin meningkat, belum ada hukuman yang selama ini mampu memberikan efek jerah pagi pelaku. Tentunya kita tidak lupa dengan kasus Herry Wirawan (36), pemilik dan pengasuh Madani Boarding School yang melakukan pemerkosaan terhadap 13 santriwatinya sampai hamil dan melahirkan. Kini Herry Wirawan dituntut hukuman mati oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat. Namun, muncul polemik dari berbagai pihak, yang menentang adanya pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku tindak kekerasan seksual. 

Dilansir dari Tirto.id (13-01-2022), Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai sanksi hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual seperti Herry Wirawan tidak selaras dengan Pasal 67 KUHP. Tidak hanya itu, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi juga berpandangan sama terhadap sanksi hukuman mati bagi Herry. Baik hukuman mati ataupun kebiri tidak efektif untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual.

Kekerasan seksual yang dilakukan Herry Wirawan adalah tindakan keji yang sampai merenggut kehormatan Muslimah. Parahnya korbannya bukan hanya satu, bahkan mencapai 13 orang. Ada yang sampai hamil dan melahirkan. Dampak yang sangat luar biasa dirasakan oleh para korban. Pastinya mengalami gangguan psikis berupa trauma berat yang berkepanjangan apalagi para korban adalah sebagian remaja yang masih panjang masa depannya. Atas demikian, bukankah seharusnya para pelaku tindakan kekerasan seksual sudah sejak dulu diberi hukuman berat?

Buah Kecacatan Sistem Demokrasi

Munculnya polemik atas tuntutan hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual menuai tanda tanya besar. Bukankah seharusnya langkah ini diapresiasi sebab selama ini hukuman bagi pelaku kekerasan seksual cenderung tidak mampu memberi efek jerah, buktinya kasus serupa setiap tahun semakin bertambah. Padahal kekerasan seksual adalah perbuatan keji dan termasuk kasus kekerasan tingkat berat. 

Jika kita menelisik, sejatinya munculnya polemik atas hukuman mati adalah buah dari diterapkannya sistem kehidupan yang aturannya bersumber dari akal pikiran manusia yakni sistem demokrasi kapitalisme, yang saat ini sedang bercokol di negeri kita tercinta. Sistem yang memberi ruang kebebasan bagi manusia untuk menetapkan hukum yang bersumber dari akal pikiran yang notabennya lemah dan terbatas. Sehingga aturan dan hukum dalam sistem ini kerap kali direvisi, sesuai dengan konteks permasalahan. Padahal jelas akal manusia sangat lemah dan terbatas, sehingga aturan yang dihasilkan pun bersifat lemah dan terbatas.

Semisal pada kasus kekerasan seksual. Selama ini hukuman yang diberikan untuk para pelaku hanya berupa masuk buih dan denda sejumlah uang. Sehingga atas dasar hukuman ini tidak setimpal dengan dampak yang dialami oleh korban. Apalagi jika para tersangka adalah orang-orang yang dekat dengan penguasa, maka hukuman pun sering kali dikebiri. Tatkala dicanangkan hukuman mati bagi pelaku tindak kekerasan seksual, muncul polemik dari berbagai pihak, bahwa hukuman mati melangkar Hak Asasi Manusia berupa hak untuk hidup dan melanjutkan kehidupan. Padahal jelas para korban senantiasa berjatuhan tanpa mendapat perlakuan yang seadil-adilnya. Lagi-lagi inilah realita yang terjadi dalam sistem demokrasi. Mengharap pelaku mendapat balasan yang setimpal, namun di satu sisi menolak tuntutan hukuman mati. Menginginkan keadilan hukum dalam sistem demokrasi adalah sebuah utopis. Terlebih tidak ada sedikitpun efek jerah bagi para pelaku. Al-hasil kejadian yang sama masih terus terulang bahkan selama sistem yang mengatur negeri kita masih demokrasi kapitalisme. 

Saatnya Kembali pada Hukum Allah

Islam adalah agama yang sempurna, datang dari Allah Swt. sebagai Al-Khaliq (pencipta) dan Al-Mudabbir (pengatur) seluruh alam semesta. Ajarannya yang komprehensif mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu pun permasalahan yang luput dari penyelesaian, kecuali Islam memiliki solusinya. Pun tidak memberikan ruang sedikitpun bagi manusia untuk menetapkan hukum, sebab dalam Islam hanya Allah Swt. yang berhak menetapkan hukum untuk mengatur manusia. 

Bagi para pelaku pemerkosaan ditetapkan sanksi yakni pelaku pezina yang belum menikah (ghairu muhsan) didera sebanyak 100 kali, sedangkan pelaku yang sudah menikah (muhsan) dirajam hingga mati. Sebagaimana ketetapan Allah dalam Surah An-Nur ayat 32. Demikian aturan dalam Islam. Sistem sanksi bertujuan sebagai jawabir (penebus) dan jawazir(pemberi efek jerah). Sebagai penebus dosa artinya pelaku ketika sudah dihukum di dunia dengan aturan Allah, maka kelak di akhirat ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Selain itu, sistem sanksi dalam islam juga mampu memberi efek jerah bagi para pelaku sehingga menjadi alarm bagi masyarakat yang lain untuk tidak melakukan hal yang sama, sebab sanksinya bukan sesuatu yang ringan. 

Demikianlah seperangkat aturan sanksi dalam Islam, sehingga tidak mengherankan tatkala ideologi Islam diemban oleh negara, dapat meminimalisir terjadi kasus kekerasan seksual. Namun kesempurnaan ideologi Islam tidak akan terterapkan tanpa adanya institusi negara yakni Khilafah Islamiyah. Maka sudah semestinya kita sebagai umat Islam untuk kembali menginstal aturan Islam dalam kehidupan. Baik dalam level individu, masyarakat maupu negara, sehingga dengan itu Islam rahmatan lil alamin benar-benar dirasa bukan hanya untuk umat Islam namun menaungi seluruh umat manusia.


Wallahu'alam bissawab. 

Posting Komentar untuk "Polemik Hukuman Mati, Dampak Diterapkannya Sistem Demokrasi"

close