Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akar Kebencian kepada Khilafah Datang dari Barat

 


Jakarta, Visi Muslim- Meninjau dari segi narasi kebencian terkait dengan ajaran Islam, khilafah, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq Al Jawi mengatakan, bahwa sikap itu tidak diajarkan di dalam Islam.

“Kebencian kepada khilafah itu sebenarnya tidak ada di dunia Islam, kecuali pemimpin-pemimpin atau intelektual-intelektual Muslim itu setelah dia terpengaruh oleh kebencian kepada khilafah dari Barat, dari pemimpin-pemimpin Barat atau dari intelektual Barat, itu dari sana akarnya,” ujarnya dalam Fokus: Menyorot Para Pembenci Khilafah, Ahad (5/6/2022) di kanal YouTube UIY Official.

Terlebih, sebagaimana penjelasan di dalam kitab Mafahim Siyasiyah, karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani, Kiai Shiddiq menyampaikan, sikap permusuhan dari negara-negara Barat khususnya kepada khilafah dan jihad itu bermula pada abad ke-16.

Meski sudah lama, jelasnya, kebencian dimaksud muncul tatkala pasukan jihad dari Kekhilafahan Utsmaniyah melakukan futuhat-futuhat di negara-negara Eropa, khususnya negara-negara Balkan.

Terlebih, pasca-terhentinya upaya penaklukan di tahun 1529 M, di saat pasukan jihad Utsmani gagal memasuki gerbang Kota Wina, Austria. “Setelah abad 16 itu, terbentuklah yang namanya perasaan kebencian kepada khilafah, kepada jihad,” paparnya.

“Bahkan mungkin sebelum terjadinya penaklukan-penaklukan oleh Utsmaniyah pada abad 15 tadi itu bisa ditarik lebih mundur lagi dalam Perang Salib,” tambahnya.

Sebagai bukti sederhana, kata Kiai Shiddiq mencontohkan, sebutan untuk unggas bertubuh besar, kalkun, adalah turkey (nama sebuah negara, Turki) yang mereka sembelih setiap Thanksgiving Day.

Tak berhenti di situ, lanjut Kiai Shiddiq, setelah abad ke-16 itu pun negara-negara Kristen di Eropa Barat berhimpun di dalam komunitas, semacam wadah bagi negara-negara Kristen dengan tujuan menolak futuhat-futuhat dari Kekhilafahan Utsmaniyah.

“Awalnya negara Kristen Eropa Barat, lalu menyebar ke negara-negara Eropa Timur. Awalnya cuma negara-negara Kristen, lalu kemudian bergabung ke dalamnya berbagai negara-negara yang non-Kristen,” urainya.

Malah berangkat dari perhimpunan tersebut, lahirlah Liga Bangsa-Bangsa (LBB) di abad ke-20. Lantas selanjutnya menjadi cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berdiri pada 24 Oktober 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua.

Bisa Berubah

Meski agak susah menghilangkan rasa kebencian tersebut, karena memang terdapat faktor-faktor historis psikologis yang berakar lama, namun menurut Kiai Shiddiq, justru ada yang bisa cair bahkan berubah menjadi pemeluk agama Islam.

Ialah Arnoud van Doorn, produser Film Fitna. Dulunya ia juga anggota Partai Kebebasan pimpinan Geert Wilders, politisi rasis Belanda yang awalnya ekstrem sekali membenci Islam. “Setelah dia mempelajari Al-Qur’an itu masyaAllah dia akhirnya masuk Islam,” bebernya.

Sementara terkait orang-orang Kristen lainnya yang kemudian bersimpatik kepada umat Islam, sebut Kiai Shiddiq, mereka biasanya pernah hidup di negeri-negeri Islam, sehingga mempunyai akar sejarah di bawah naungan Khilafah Islam.

“Beda dengan yang tinggal di Amerika Serikat atau Inggris, di negaranya masing-masing yang tidak memiliki latar belakang historis yang pernah berinteraksi dengan umat Islam,” ungkapnya.

Sebagaimana pula sikap simpatik kepada khilafah dari Profesor Wael B. Hallaq. Sosok Kristen kelahiran Palestina yang sejak menjadi guru besar, berpindah ke Amerika.

“Dia (Wael B. Hallaq) bilang, andaikata saya sekarang ini disuruh memilih apakah saya menjadi warga negara dari negara demokrasi seperti Amerika atau menjadi ahli dzimmah (warga negara dari Khilafah atau negara Islam), saya akan memilih menjadi ahli dzimmah,” kata Kiai Shiddiq menirukan perkataan beliau di salah satu kanal YouTube.

Artinya, orang-orang Kristen yang hidup di Syam secara umum atau di Palestina secara khusus memang memiliki pengalaman sejarah yang panjang di bawah naungan Khilafah.

Maka, ia menuturkan, setidaknya ada tiga pihak yang berperan dan menjadi faktor penyebab munculnya semacam propaganda anti-Islam atau biasa dikenal islamofobia. Media, negara dan sistem pendidikan.

“Walaupun mungkin, ada individu-individu Kristen yang kemudian masuk Islam seperti yang tadi saya sebut, Arnoud Van Doorn itu,” imbuhnya.

Namun inti dari semua itu adalah adanya aktivitas dakwah Islam yang menurut Kiai Shiddiq sangatlah penting agar senantiasa dilakukan sehingga bisa menyampaikan Al-Qur’an kepada umat. “Itu saya kira salah satu hal yang menarik bagi kita,” timpalnya.

Khilafah Bukan Ideologi

Lebih lanjut Kiai Shiddiq menyampaikan, bahwa di dalam buku yang berjudul Today’s Isms, karya Profesor Eben Stain misalnya, tidak ada ideologi dengan nama khilafah.

“Padahal dia wawasannya global. Dia menerangkan ada yang namanya kapitalisme kemudian ada komunisme lalu ada beberapa yang lain. Tetapi di dalam bukunya itu, Today’s Isms namanya, Profesor Eben Stain itu tidak memasukkan khilafah,” ulasnya.

Satu lagi buku dengan judul Political Ideology Today karya Profesor Ian Adams. “Itu juga tidak ada yang namanya ideologi namanya khilafah. Itu enggak ada. Yang ada liberalisme, marxisme, dan seterusnya dan seterusnya,” bebernya.

Oleh karena itu Kiai Shiddiq kembali menerangkan, bahwa khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang menerapkan syariah Islam secara kafah. Sebagaimana awalnya telah dicontohkan Rasulullah SAW, lalu dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau wafat.

“Jadi kalau mau disebut ideologi dalam arti sebuah the way of life yang komprehensif, mengatur seluruh aspek kehidupan, itu kalau mau disebut ideologi, itu Islam itu yang disebut ideologi,” lugasnya.

Pasalnya, khilafah adalah suatu kewajiban yang sama dengan kefardhuan shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, hingga ibadah haji.

Kan janggal kalau ada orang yang mengatakan ideologi shalat lima waktu. Itu kan janggal sekali. Shalat kok disebut ideologi. Shalat itu kan kewajiban,” tukasnya, seraya memisalkan hal sama terkait dengan haji, serta ajaran Islam lainnya.

“Itu sama janggalnya, sama anehnya ketika orang itu membuat istilah ideologi khilafah. Itu aneh sekali,” sesalnya.

Lebih jauh, terminologi tersebut menurut Kiai Shiddiq, memang sengaja di-framing supaya bisa dipertentangkan dengan ideologi Pancasila. “Sebenarnya itu sudah didesain supaya pemilihan atau diksi ideologi khilafah itu supaya nanti di dalam konstruk hukum itu bertentangan dengan ideologi Pancasila, itu tujuannya itu ke sana,” ucapnya.

Padahal, apabila ditinjau secara literasi terutama di dalam literatur Barat, sekali ia lagi menekankan, tidak ada keterangan menyebut salah satu isme atau ideologi yang namanya khilafah.[] Zainul Krian

Posting Komentar untuk "Akar Kebencian kepada Khilafah Datang dari Barat"

close