Radikalisasi Anti-Khilafah



Oleh: Hanif Kristianto (Analis Politik-Media di Pusat Kajian dan Analisis Data)


  Rasanya tak adil jika sematan radikalisme hanya ditujukan kepada kelompok tertentu yang dianggap berbahaya. Sebagaimana selama ini ditujukan pada Islam, kelompok Islam, dan yang diduga bersebrangan dengan peguasa. Sementara, yang menyematkan ‘radikalisme’ kepada yang lain, apa bisa dianggap paling toleran dan paling benar?

  Sebagaimana saat ini terdapat upaya radikalisasi anti-Khilafah. Stigmatisasi dan labeling jahat disematkan kepada Khilafah. Seolah khilafah berbahaya, memecah belah, makar, dan intoleran. Mereka terus terang menyerang, memojokkan, dan menyudutkan khilafah. Tak cukup itu, khilafah dianggap sebuah pikiran jahat. Lagi-lagi terdapat aksi heroik dari beberapa kalangan. 

  Misalnya, intelektual yang mengeluarkan dalil-dalil akademisinya seolah memperkuat argumen radikalisme khilafah. Padahal dalil itu dibangun dari kerapuhan teori dan sudut pandang di luar Islam. Pihak keamanan pun mendengungkan melalui media terkait bahaya ‘khilafah’ dengan mengaitkan dengan kelompok radikal dan jahat. Upaya penggeledahan, labeling, dan monsterisasi digulirkan. Mereka lupa ‘khilafah’ bukanlah kriminal. 

  Media massa dan sosial dipenuhi dengan polusi anti-khilafah. Anti di sini berarti melakukan penolakan, labeling jahat, monsterisasi, dan segala upaya mendasar memusuhi khilafah. Mungkin sebagian mereka lupa jika Khilafah adalah Ajaran Islam. Bagaimana mungkin, ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Allah dimusuhi habis-habisan? Lupakah mereka jika dalam setiap doanya ingin kebaikan dunia dan akhirat? Karenanya, pahami makna Khilafah dengan benar.

Khilafah Ajaran Islam

  Berdasarkan istilah syar’i kata khilâfah merupakan padanan bagi kata imâmah dan imârah al-mu’minîn. Syaikh al-‘Allamah Muhammad Najib al-Muthi’i (w. 1406 H) mengatakan, “Al-Imâmah, al-Khilâfah dan Imâratul-Mu’minîn adalah sinonim.” (Al-Majmû` Syarh al-Muhadzdzab, 19/191).

  Kata khalîfah, sebagai sebutan bagi pemimpinnya, juga merupakan sinonim bagi kata imâm dan kata amîr al-mu’minîn. Asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad ‘Abdul Hayyi al-Kattani (w. 1382 H) menjelaskan, “Pemimpinnya disebut khalifah karena ia adalah pengganti (Arab: khalîfah) Rasulullah saw.; disebut juga imâm karena menjadi imam dan khathib pada masa Rasul saw. dan Khulafaur Rasyidin. Ini adalah kelaziman. Tidak ada yang boleh menggantikannya melainkan dengan cara pewakilan, sebagaimana dalam peradilan dan pemerintahan; juga disebut Amîrul-Mu`minîn.” (Nizhâm al-Hukûmah al-Nabawiyyah, 1/79. Lihat juga Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, 239; Ibrahim al-Laqqani, Hidâyah al-Murîd li- Jauharah al-Tauhîd, 1279; Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah, 19; Taqiyuddin al-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/12).

“Khilafah mengarahkan seluruh umat berdasarkan sudut pandang syar’i dalam meraih kemaslahatan mereka di akhirat dan kemaslahatan mereka di dunia yang mengacu pada akhirat. Sebab, segala kondisi di dunia, menurut syariah, diukur berdasarkan kemaslahatannya di akhirat. Ia pada hakikatnya adalah pengganti Shahib asy-Syar’ (Rasulullah) dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengan agama.” (Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, 239).

“Kepemimpinan umum bagi kaum Muslim seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam.” (Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, 229-230).

  Dari sejumlah pengertian ini, jelas Khilafah merupakan bentuk kepemimpinan yang khas, setidaknya dalam 5 poin: 

(1) kepemimpinan umum yang berlaku atas seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia.

(2) kepemimpinan yang mencakup urusan agama sekaligus dunia, tidak sebatas dalam urusan agama saja sebagaimana kepausan dalam agama Nasrani, juga bukan sekadar dalam urusan dunia saja seperti kepemimpinan dalam sistem sekular yang menyerahkan urusan agama kepada individu. 

(3) kepemimpinan yang menjadikan kemaslahatan akhirat sebagai tolak-ukurnya sehingga hanya mengacu pada syariah Islam dalam mengatur urusan rakyat. 

(4) kepemimpinan yang mengemban misi dakwah Islam ke seluruh penjuru alam. 

(5) kepemimpinan yang menaungi masyarakat umum dan khusus, termasuk di dalamnya non-Muslim.

  Khilafah, sebagaimana gambaran di atas, wajib hukumnya menurut seluruh Ahlus Sunnah tanpa ada perselisihan sama sekali. Imam ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) menyatakan: “…Mengangkat Imam A’zham (Khalifah) adalah wajib tanpa ada perbedaan di antara Ahlul Haq (Ahlus Sunnah).” (Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ fî Tartîb al-Syarâ`i’, 9/83).

  Adanya ijmâ’ (konsensus) seluruh umat Islam atas kewajiban Khilafah juga diterangkan oleh Imam Abu Zakariya an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) dalam ungkapannya, “Mereka (umat Islam) juga telah bersepakat bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini berdasarkan nash syariah, bukan berdasarkan akal.” (Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, 12/205).

Mengapa Muncul Anti-Khilafah?

  Kemunculan anti-Khilafah bukanlah tiba-tiba. Terdapat pola sistemis yang bisa dibaca. Tatkala persolan bangsa di ubun-ubun dan tercoreng nama penguasa, muncullah ‘isu-isu khilafah dan turunannya’. Seketika, ramai orang fokus ke sini. Pengecohan ini pun menjadi proyek bersama demi mendulang dolar dan rupiah. Apakah yakin radikalisasi anti-khilafah ini demi kepentingan bangsa dan negara? Apakah berasal dari hati nurani sebagai manusia yang menjadi hamba Allah sejati? Rasanya mustahil!!

  Peristiwa radikalisasi anti-khilafah ini bisa dianalisis sebagai berikut:

Pertama, misinformasi terkait makna sejati khilafah. Selama ini pemahaman khilafah yang dibawa berasal dari pandangan penjajah yang notabenenya anti-Islam. Barat dan negara penjajah yang selama ini bercokol di dunia muslim masih mempertahankan pengaruhnya. Hal itu bisa dilihat dari antek-antek penjajah yang berkamuflase sebagai penguasa.

Kedua, sekularisasi di dunia Islam. Pemikiran dan mafahim Islam yang seharusnya menjadi konsepsi dasar berhasil dipisahkan dari diri umat. Pangkal dari kewajiban penerapan syariah Islam kaffah dalam bingkai khilafah dilepaskan. Bahkan pengajarannya pun sebatas sejarah. Seolah ini memoar manis tanpa perlu mewujudkannya bagi generasi berikutnya. 

Ketiga, keruntuhan Khilafah Utsmani pada 1924 menjadi bencana baru bagi umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam yang terkoneksi dengan aqidah Islam di manapun berada, akhirnya terkoyak dengan nation state (negara bangsa). Rama-ramai umat berpaling kepada tsaqofah Barat yang dianggap membawa kemajuan dan peradaban. Padahal Barat berada di puncak karena menjajah dan merampas hak kekayaan intelektual umat Islam.

Keempat, kelanjutan perang melawan terorisme yang berlanjut melawan radikalisme. Khilafah menjadi sasaran antara yang sebetulnya perang melawan Islam. Mereka masih malu-malu mau menyebut Islam. Karena mereka paham tatkala Islam dimusuhi berarti menyulut permusuhan dengan umat Islam seluruh dunia. Sebagaimana peristiwa pembakaran al-quran dan penghinaan nabi. Sontak umat Islam, baik yang terorganisir ataupun pribadi melakukan pengecaman.

Kelima, cinta dunia karena ingin dipuja dan berharta. Tak dipungkiri radikalisasi anti-khilafah juga menggunakan tangan-tangan umat Islam. Hal ini bisa dikonfirmasi dari permusuhan yang sengit terhadap khilafah dan pengembannya. Dalil-dalil pembenaran dicari. Data-data pendukung dipublikasi. Kalau mau jujur, sebegitu tegakah mereka memakan daging saudaranya sendiri?

Keenam, upaya pecah belah di kalangan umat Islam. Persatuan menjadi barang langka dan mahal saat ini. Musuh-musuh Islam paham tatkala persatuan ini menguat maka mereka akan terusir dari dunia Islam. Kedok penjajahan mereka dibongkar. Wajah aslinya terciduk sebagai ‘drakula’ penghisap darah umat Islam. Sebenarnya upaya pecah belah ini sudah dituliskan dalam dokumen resmi yang menjadi rujukan untuk di operasikan di dunia Islam.

Ketujuh, Khilafah yang sesungguhnya bagin dari fiqh siyasah dijauhkan dari umat Islam. Umat dilarang berpolitik dengan Islam. Jika mau berpolitik harus mengikuti ‘irama demokrasi’ yang didesain kepentingan musuh Islam. Karenanya ini merupakan ‘kedzaliman akbar’ memisahkan umat Islam dan ajarannya. 

  Oleh karena itu, penting bagi umat ini untuk mengambil pelajaran dari radikalisasi anti-khilafah. Mereka sebenarnya tidak berjuang untuk Islam. Sebaliknya, mereka menjadi bagian yang ingin menghancurkan Islam. Ibaratkan mereka ingin memerangi Allah dan Rasul-Nya. Apalah daya, dananya terbatas. Akalnya terbatas. Kekuatannya terbatas. Fokusnya duniawi. Maka, upaya mereka seperti menghadang matahari agar tidak terbit dari timur. Sanggup? 

Posting Komentar untuk "Radikalisasi Anti-Khilafah"