Asa Pupus! Status Tenaga Honorer Dihapus
Oleh : Ikhtiyatoh, S.Sos (Pemerhati Kebijakan Publik)
Asa tenaga honorer untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), pupus. Peluh yang mengucur selama bertahun-tahun hingga puluhan tahun, dibayar dengan penghapusan status tenaga honorer. Padahal, selama ini, mereka berupaya bertahan dengan gaji kecil, bahkan sering tertunda. Hanya demi sebuah asa, ‘suatu saat menjadi tenaga tetap pemerintah’. Namun, pada akhirnya mereka harus menelan pil pahit kebijakan pemerintah.
Jumlah Honorer Membengkak
Sebelum ini, angin segar janji pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS berhembus setiap tahun. Berawal dari terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Angin segar tersebut memancing para pencari kerja mencoba peruntungan menjadi tenaga honorer. Proses perekrutan disinyalir banyak mengandung unsur nepotisme hingga muncul tenaga honorer siluman.
Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Alex Denni mengatakan, kebijakan penghapusan tenaga honorer sudah lama direncanakan. Ia menjelaskan, jumlah tenaga honorer yang terdata pada tahun 2005 sebanyak 900 ribu orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 860 ribu telah diangkat menjadi PNS hingga tersisa 40 ribuan orang. Namun, setelah dilakukan pendataan ulang, terjadi pembengkakan menjadi 600 ribu orang (cnbcindonesia.com, 18/5/2022).
Membengkaknya jumlah tenaga honorer, mendorong pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam UU tersebut, Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya terdiri dari PNS dan Pekerja Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). PNS diangkat sebagai pegawai tetap dan memiliki Nomor Induk Kepegawaian yang berlaku nasional. Sementara PPPK diangkat berdasar perjanjian kerja dalam jangka waktu tertentu, sesuai kompetensi dan profesionalitas yang dibutuhkan instansi pemerintah.
Kepastian Status Pegawai
Bisa dikatakan, status tenaga honorer menjadi kabur sejak terbitnya UU No. 5/2014. Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak. Dengan dihapusnya status tenaga honorer per November 2023, pemerintah memberi kesempatan tenaga honorer mengikuti tes CPNS dan PPPK. Kebijakan yang dianggap sebagai terobosan tersebut kembali menumbuhkan asa. Dengan menjadi PPPK, diharapkan status tenaga honorer menjadi lebih jelas.
Meski demikian, sejumlah pihak menganggap PPPK tidak ada bedanya dengan honorer atau pegawai kontrak yang bermakna ‘pegawai tidak tetap pemerintah’. Dalam proses pengangkatan tenaga honorer menjadi PPPK, pemerintah lebih memprioritaskan tenaga guru, tenaga kesehatan, tenaga penyuluh pertanian / perikanan / peternakan serta tenaga teknis yang sangat dibutuhkan. Artinya, tidak semua tenaga honorer diangkat menjadi PPPK.
Melihat kenyataan prosedur tes CPNS yang cukup rumit, asa kembali pupus. Alur pendaftaran mulai dari daftar akun, daftar formasi, seleksi administrasi, seleksi kompetensi dasar, seleksi kompetensi bidang hingga pengumuman kelulusan dilakukan secara online. Artinya, pelamar harus melek teknologi. Pelamar CPNS pun dibatasi usia maksimal 35 tahun. Lalu, bagaimana nasib tenaga honorer senior yang berusia diatas 35 tahun dan buta teknologi? Peluang mereka menyusut ketika harus bersaing dengan pelamar umum dari Gen Z.
Begitu pula dengan tes PPPK yang cukup berbelit-belit. Bahkan, nasib 193 ribuan guru honorer yang lulus passing grade PPPK tahap 1 dan 2 dikhawatirkan tidak terakomodir seluruhnya pada tahun 2022. Sejumlah kepala daerah menyampaikan masalah terkait anggaran. Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditransfer dari pusat ternyata dipangkas. Ada pula DAU yang masih ditahan hingga pemerintah daerah (pemda) kesulitan membayar gaji PPPK.
Solusi demi solusi yang ditawarkan pemerintah memang terdengar manis. Tenaga honorer yang tidak lolos tes CPNS maupun PPPK, nantinya diberi kesempatan menjadi pegawai outsourcing. Ramai narasi menjadi pegawai outsourcing, lebih menguntungkan karena gaji yang diterima lebih besar. Akan tetapi, perlu dipelajari lagi, proses rekrutmen pegawai dengan melibatkan pihak ketiga (perusahaan), berpotensi menimbulkan masalah baru.
Nantinya, pemerintah membayar gaji pegawai outsourcing melalui perusahaan, bukan memberikannya secara langsung. Dari sini, tampak adanya potensi perusahaan mengambil untung dari penyediaan jasa pegawai. Selain itu, status pegawai outsourcing tidak lebih baik dibanding tenaga honorer. Dari sisi jenjang karir dan masa kerja, sama-sama tidak pasti. Bukan rahasia lagi bahwa pegawai outsourcing di perusahaan swasta dianaktirikan dibanding pegawai tetap. Seharusnya, pemerintah menjadi garda terdepan melahirkan kebijakan yang bisa melindungi hak dan kesejahteraan pegawai. Bukan sekedar ikutan tren zaman.
Islam Memberi Solusi
Akhir-akhir ini, pemerintah sering menghitung-hitung anggaran gaji dan pensiunan PNS. Belanja pegawai dianggap membebani APBN. Pemerintah akhirnya membuat sejumlah kebijakan demi menekan belanja pegawai. Diantaranya, penghapusan eselon III dan IV PNS serta program digitalisasi yang akan menyasar PNS jabatan pelaksana. Nantinya, ada sekitar 30% - 40% jabatan pelaksana yang terdampak program robotisasi.
Padahal, bukan belanja pegawai yang membuat APBN bocor. Kondisi keuangan negara memang sudah tak sehat. Utang negara termasuk utang luar negeri semakin bertambah. Sementara kurs dolar naik hingga beban utang dan bunga pun turut naik. Deretan BUMN yang diharapkan bisa menambah pendapatan negara, justru terlilit utang dan merugi. Alhasil, disaat terjadi luapan pengangguran, pemerintah justru kesulitan menjamin nasib para pegawainya. Dalam menangani masalah tenaga honorer, pemerintah pun terkesan berlepas tangan.
Padahal, melalui PP No. 48/2005, alih status tenaga honorer menjadi CPNS lebih mudah dipetakan. Dalam pasal 3 diuraikan, pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS diutamakan bagi mereka yang memiliki usia maksimal 46 tahun dan bekerja secara terus menerus selama 20 tahun, 10 tahun serta lima tahun. Selain dilihat dari lamanya masa kerja, akan dilakukan seleksi administrasi, kedisiplinan, integritas, kesehatan serta kompetensi.
Namun, melalui PP No. 43/2007 serta PP No. 56/2012 masa kerja diubah menjadi minimal satu tahun bekerja secara berturut-turut terhitung 1 Januari 2006. Artinya, membengkaknya data pegawai honorer serta munculnya honorer siluman bisa jadi karena adanya perubahan regulasi terkait masa kerja. Terlepas dari proses rekrutmen yang disinyalir nepotisme, membengkaknya jumlah tenaga honorer menunjukan banyaknya pengangguran.
Kebijakan penghapusan tenaga honorer mengakibatkan banyak formasi kepegawaian yang kosong. Khusus tenaga guru dan kesehatan, bisa berdampak buruk pada jaminan pendidikan anak serta pelayanan kesehatan masyarakat. Belum lagi formasi pegawai di daerah terpencil dan daerah konflik dimana tidak semua orang mau dan mampu ditugaskan di sana.
Proses rekrutmen tenaga outsourcing pun belum tentu mengutamakan tenaga honorer senior nan berprestasi. Perusahaan pasti akan melakukan proses rekrutmen dengan syarat dan ketentuan yang mereka buat sendiri. Regulasi terkait penghapusan tenaga honorer akhirnya justru menguntungkan pihak ketiga. Mirie. Seharusnya, pemerintah lebih fokus menyisir tenaga honorer siluman dan menangani kasus korupsi DAU. Bukan sibuk membuat aturan yang mematahkan semangat kerja dan merugikan pegawai.
Wajar jika para pegawai honorer mengharapkan sikap adil pemerintah. Diantar mereka menuntut pengangkatan tanpa tes dengan menggunakan data valid. Rasulullah saw pernah berpesan, “Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun, dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari”. (HR. Thabrani, Bukhari, Muslim dan Imam Ishaq).
Jaminan dan perlindungan pemerintah terhadap pegawai sangat berkaitan dengan kondisi ekonomi negara. Penting dilakukan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) serta aset strategis secara benar. Hal ini demi menghasilkan pendapatan negara secara maksimal. Hingga tak muncul narasi, belanja pegawai menjadi beban negara. Sayangnya, SDA dan aset strategis banyak yang dikuasai swasta dan asing. Sementara pendapatan negara justru mengandalkan pajak dan utang. Kebijakan demi kebijakan yang lahir tampak dikendalikan oligarki.
Harapan hidup sejahtera di bawah naungan sistem saat ini, terasa ilusi. Hanya syariat Islam yang bisa diharapkan memperbaiki kondisi. Islam memiliki aturan lengkap dan paripurna mengatasi bermacam problema kehidupan termasuk masalah kepegawaian. Selain sistem yang saling berkorelasi, syariat Islam juga mengutamakan, ‘The right man on the right place’. Sistem terbaik yang berasal dari Allah SWT akan dijalankan oleh orang-orang yang bertakwa hingga persoalan terselesaikan lebih nyata. Wallahu ‘alam bish showab.
Posting Komentar untuk "Asa Pupus! Status Tenaga Honorer Dihapus"