Isu Radikalisme Kampus, Buah Islamophobia yang Terarus
Oleh : Habiba Mufida (Pegiat Literasi)
Isu radikalisme di negeri ini nampaknya selalu menjadi topik panas. Menjadi sebuah topeng yang dinampakkan di tengah masyarakat, tak luput di lingkungan kampus. Hal ini didasarkan dari pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar yang mengatakan bahwa dia mengantongi data kampus dan mahasiswa yang terpapar radikalisme. Pernyataan tersebut mengiringi setelah ditangkapnya seorang mahasiswa berinisial IA dari salah satu kampus oleh Densus (Detasemen Khusus) 88 Anti Teror Polri pada 23 Mei 2022.
Boy juga menyatakan ratusan pondok pesantren di Indonesia telah terafiliasi dengan jaringan terduga teroris di berbagai wilayah (tempo(dot)co, 25/5/2022). Sayangnya, hal tersebut hanya dibuka di publik tanpa dijelaskan lebih lanjut. Apa yang menjadi kriteria sebuah pesantren dikatakan berafiliasi dengan teroris tak pernah diketahui masyarakat. Yang ada, justru muncul berbagai pemikiran yang tidak berdasarkan fakta dan makna hakikinya.
Permasalahannya, setiap kali isu radikalisme diangkat maka Islam selalu ditempatkan sebagai objek pembahasan. Seolah-olah sikap radikal itu bersumber dari Islam. Padahal kalau kita mau berfikir, ketika ada pemikiran yang mendasar dimana pemikiran tersebut dipaksakan agar diterima oleh khalayak bisa dikatakan radikal, terlebih jika terjadi penyimpangan di sana. Sebut saja, gerakan LGBT yang saat ini sedang berkembang pesat. Sebuah pemikiran yang sejak awal jelas menyalahi fitrah justru saat ini sedikit demi sedikit diberi ruang. Padahal perbuatan ini jika dibiarkan akan memberikan keburukan dan kegoncangan di masyarakat. Namun, nyatanya justru dibiarkan dan tidak diberangus.
Begitu juga dengan perlawanan yang dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka). Gerakan ini bukan hanya tidak berdasarkan Pancasila, bahkan sudah jelas memberontak. Sedihnya, tak sedikit warga Indonesia yang sudah menjadi korban kekejiannya. Namun, hingga saat ini tidak pernah dinyatakan sebagai tindakan teroris yang membahayakan negara. Lebih jauh, tak pernah menjadi fokus utama bagi negara padahal telah jelas mengancam kesatuan bangsa.
Sebaliknya, ketika ada sesuatu ide berasal dari Islam lalu mengajak kepada perintah berislam secara kaffah sudah langsung dilabel sebagai gerakan yang radikal. Bisa dikatakan, jika setiap kali isu radikalisme diangkat, selalu yang menjadi sasaran objek pembahasan adalah Islam. Ada pihak-pihak yang telah sengaja menempelkan label radikal itu kepada Islam. Stigma negatif seperti Islam radikal, Islam fundamental, Islam ekstrimis dan seterusnya. Begitu juga kepada masyarakat muslim. Mereka dilabeli muslim radikal, muslim fundamental, muslim eksklusif, julukan kadrun (kadal gurun), intoleran dan seterusnya. Ini adalah fakta jika Islam dan kaum muslim yang selalu dipojokkan dan di citraburukkan.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme/ra·di·kal·is·me/ diartikan sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik. Arti yang lain, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Radikalisme juga diartikan sebagai sikap ekstrem dalam aliran politik. Lalu, layakkah Islam dimasukkan di dalam definisi radikal menurut KBBI ini?
Sedang menurut Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, karakteristik dari paham radikalisme adalah paham-paham yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila seperti terorisme dan kekerasan (tempo(dot)co, 25/5/2022). Namun, pemaknaan ini nampaknya tak berlaku untuk Organisasi Papua Merdeka yang jelas-jelas melakukan tindak terorisme dan kekerasan. Berbeda makna, dengan organisasi Islam yang hanya sekedar menyuarakan islam politik, meski tanpa bertindak terorisme dan kekerasan, justru dilabel dengan radikalisme. Apakah ini bentuk islamofobia?
Bisa jadi, ini memang bentuk islamofobia yang terus diaruskan. Padahal, Islam adalah agama sekaligus pendangan hidup yang memiliki aturan yang begitu holistik bahkan meliputi seluruh aspek kehidupan. Secara politik, Islam dengan kejayaannya terbukti berhasil menyejahterakan manusia saat itu. Bahkan bertahan selama berabad-abad lamanya. Namun, di tengah keterpurukan bangsa, dengan hutang yang menggunung, sumber alam dikuasai asing, tingginya pungutan pajak dan iuran lainnya, serta rusaknya tatanan kehidupan masyarakat justru solusi Islam yang ditawarkan dianggap sebagai ancaman.
Sejatinya, Islam bukan ancaman bagi masyarakat biat seoarang muslim dan non-muslim. Tersebab, Islam justru memberikan ruang kepada semua umat beragama dan toleransi ini telah terbukti ketika kejayaan Islam ada. Bahkan, fakta ini juga ditorehkan oleh beberapa sejarawan barat. Namun, nampaknya anjuran Islam untuk diterapkan secara kaffah telah mengancam para pemegang kekuasaan hari ini di bawah kapitalisme-sekuler. Mereka belum rela melepaskan semua kedudukan dan jabatan yang mereka miliki. Padahal, dengan kekuasaan yang mereka genggam ketika pengaturannya dibebaskan dan bersumber dari kapitalisme-sekuler telah nyata menyebabkan adanya kerusakan demi kerusakan. Mereka tidak peduli meskipun kebijakan yang mereka terapkan telah mendholimi ummat. Yang terpenting, mereka dan dinastinya bisa hidup makmur sentosa.
Alhasil, islamophobia terus diaruskan di tengah masyarakat sebagai tameng kapitalisme. Islam digambarkan sebagai sosok atau faham yang radikal. Bahkan, dilabeli sebagai penggerak adanya terorisme. Padahal, di dalam kondisi tidak adanya kepemimpinan Islam, dakwah akan diaruskan dengan mengubah pola pikir dan pola sikap ummat tanpa adanya kekerasan. Sebagaimana hal ini telah dilakukan oleh Rasululullah SAW ketika berdakwah di fase Mekkah. Namun, narasi kekerasana saat ini justru terus dilabelkan. Terlepas, ada temuan dari sebagian umat Islam yang disinyalir menggunakan metode jihad fisik, terafiliasi dengan ISIS dsb. Perlu dianalisa kebenarannya, jangan ada jurus tembak mati di tempat yang menyisakan tanda tanya yang besar. Terlebih selalu dinampakkan simbol Islam sebagai bukti. Belum lagi, jika digeneralisasi bahwa semua gerakan demikian. Akibatnya, tidak nampak mana yang asli dan mana yang palsu. Adanya dibabat habis dengan pelabelan yang sama dan diaruskan di tengah umat dengan topeng radikalisme.
Sungguh ini semua adalah bentuk islamophobia. Ketakutan terhadap ajaran Islam yang berlebihan. Seharusnya hal ini tidak dimunculkan di tengah negeri yang mayoritas muslim. Harusnya ada perlindungan bagi mereka yang hendak memperdalam agama, termasuk Islam. Tanpa harus mencampuradukkan semua agama atas nama moderasi. Terlebih Islam, datang sebagai rahmat bagi seluruh alam. Menaungi seluruh umat manusia, tanpa memaksakan manusia untuk memeluknya. Hanya kepada mereka jika mau hidup di dalam naungan Islam, maka keberkahan akan hadir di sana. Bagi seluruh umat di dunia. Wallahu a’lam bi showab.
Posting Komentar untuk "Isu Radikalisme Kampus, Buah Islamophobia yang Terarus"