BBM dan LPG Naik: Sistem Islam Solusi Alternatif
Ilustrasi |
Oleh: Ummu Rufaida (Pegiat Literasi dan Kontributor Media)
Setelah drama harga minyak goreng beserta bahan pangan lainnya yang tak kunjung turun, kini rakyat dikejutkan dengan kenaikan harga BBM dan LPG. Ya, pertengahan tahun 2022 ini harga kembali naik, ini kenaikan yang ketiga kalinya. Sebelumnya pada Maret dan April 2022 Pertamina sudah melakukan kenaikan harga.
Secara resmi Pertamina sudah mengumumkan kenaikan harga BBM nonsubsidi per 10 Juli 2022. Harga Pertamax Turbo (RON 98) dari Rp14.500 per liter naik menjadi Rp16.200. Dexlite dari Rp12.950 per liter naik menjadi Rp15.000 per liter. Sedangkan Pertamina Dex dari Rp13.700 naik menjadi Rp16.500 per liter. Berlaku untuk wilayah DKI Jakarta atau daerah dengan besaran pajak bahan bahan bakar kendaraan bermotor (PBBBKB) 5 persen. Kenaikan yang sangat fantastik.
Adapun kenaikan harga untuk LPG nonsubsidi sebesar Rp2.000 per kilogram yakni Bright Gas. Tentu ini sangat memberatkan, padahal rumah tangga dan para pengusaha kecil sudah sangat tercekik.
“Saat ini penyesuaian kami lakukan kembali untuk produk Pertamax Turbo dan Dex Series yang porsinya sekitar 5% dari total konsumsi BBM nasional, serta produk LPG non subsidi yang porsinya sekitar 6% dari total konsumsi LPG nasional,” kata Irto Ginting, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga (tirto.id, 10/07/2022)
Pertamina beralasan kenaikan harga ini mengacu pada harga minyak dunia, saat ini harga minyak ICP per Juni menyentuh angka 117,62 dolar AS per barel. Ini lebih tinggi sekitar 37 persen dari harga ICP pada Januari 2022. Sedangkan untuk LPG, tren harga (CPA) masih di tinggi pada Juli ini yakni mencapai 725 dolar AS per Metrik Ton (MT). Jumlah itu lebih tinggi 13 persen dari rata-rata CPA sepanjang 2021. Menurut Irto, kenaikan ini juga sesuai dengan aturan yang berlaku, yakni Kepmen ESDM 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga jenis bahan bakar umum (JBU).
Menurut dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, jika kenaikan harga BBM dan LPG nonsubsidi tujuannya untuk menyesuaikan harga keekonomian, tentu sangat wajar. Terlebih memang harga keekonomiannya saat ini masih jauh dari harga yang ditetapkan. Namun, jika harga minyak dunia turun seyogyanya harga BBM dan LPG nonsubsidi juga harus disesuaikan kembali. Sebab dasarnya Pertamina menaikkan harga tersebut adalah merespons penyesuaian harga minyak mentah dunia. (tirto.id, 13/07/2022)
Perlu diketahui, pemerintah dan DPR RI telah menyepakati adanya tambahan subsidi energi tahun 2022, dari alokasi awal sebesar Rp152 triliun menjadi Rp 216,1 triliun. Ada tambahan sekitar Rp74,9 triliun. Ini dibagi kepada BBM sebesar Rp194,7 triliun dan kompensasi listrik Rp21,4 triliun. Jumlah ini memang terhitung besar. Kondisi inilah yang membuat pemerintah melakukan pembatasan penggunaan BBM dan gas bersubdisi hingga menaikkan harga BBM dan gas nonsubsidi.
Respons masyarakat terhadap kondisi ini cukup beragam. Sebagian ramai-ramai beralih ke BBM dan gas bersubsidi, meski faktanya mereka bukanlah sasaran kebijakan subdisi ini. Sebagian lagi ada yang beralih ke kompor listrik. Mengingat saat ini pemerintah melalui PT PLN (Persero) sedang mengampanyekan penggunaan kompor listrik.
Namun, menaikkan harga BBM dan LPG dengan dalih mengurasi beban APBN menjadi alasan klise para penguasa. Alih-alih mencari solusi dari ketergantungan impor dan keluar dari opsi penghapusan subsidi, pemerintah lagi-lagi mengambil jalan pintas yakni menaikkan harga. Padahal jelas ini akan sangat berdampak luas bagi ekonomi masyarakat secara umum. Inflasi pasti tak bisa terelakkan. Harga barang dan jasa dipastikan juga akan bergerak naik.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah berlepas tangan dan mengalihkan bebannya ke pundak rakyat. Padahal selama ini rakyat sudah sangat melarat. Apalagi dampak pandemi pun belumlah usai menghantui.
Hingga kini Indonesia masih terhitung sebagai Negara dengan potensi energi tinggi, termasuk sumber-sumber energi alternatif selain BBM dan LPG. Indonesia tercatat memiliki potensi minyak mentah terbesar di Asia Tenggara, sementara gasnya bisa dikatakan terbesar di Asia. Pun dengan sumber-sumber energi lain yang dengan kemajuan teknologi bisa dikembangkan dengan baik, seperti energi panas bumi, tenaga nuklir, surya, air dan lain-lain.
Andaikan semua potensi ini dimanfaatkan dan dikelola dengan baik, ketergantungan pada impor bisa ditekan bahkan dihilangkan. Dampaknya tentu masyarakat akan dapat menikmati berbagai energi ini dengan harga terjangkau. Hanya saja butuh keseriusan pemerintah dalam mengembangkan teknologi dan infrastruktur penunjang.
Nahasnya, penguasa negeri tidak memiliki paradigma berpikir seperti ini. Mereka lebih memilih menjadi importer daripada bersusah payah berpikir mencari solusi. Kalaupun ada solusi, untung rugi selalu menjadi basis pertimbangan. Akibatnya mereka rela untuk terus menerus memangkas subsidi.
Inilah potret periayahan (pengurusan) urusan rakyat dalam sistem kapitalisme. Hubungan pengusa dan rakyat hanya sebatas hubungan penjual dan pembeli. Tidak lebih. Sangat berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam berdiri di atas landasan akidah Islam dan iman. Maka Islam akan benar-benar menjamin kemaslahatan umat seluruhnya.
Islam mengatur bahwa sumber energi, sumber daya air, dan padang gembala (termasuk hutan) merupakan milik umat. Maka pengaturannya, ini masuk dalam kepemilikan umum yang harus dikelola Negara dan hasilnya diserahkan kembali kepada umat. Islam juga melarang sumber-sumber energi ini diserahkan pengelolaannya kepada swasta apalagi kepada asing, mulai dari hulu hingga hilir. Sehingga jika pengelolaan Negara maksimal, maka rakyat bisa mengakses energi ini dengan murah bahkan cuma-cuma.
Selain itu, prinsip pengelolaan energi juga tidak boleh bertabrakan dengan misi penciptaan manusia, yakni menjadi khalifah di muka bumi, yang wajib menjaga dan melestarikan bumi dari kerusakan dan kebinasaan. Maka, eksplorasi sumber-sumber energi tidak akan menimbulkan kerusakan sebagaimana yang terjadi saat ini. Selain sangat eksploitatif, sistem kapitalisme juga sangat destruktif. Akibatnya wajar saat ini muncul isu lingkungan, perubahan iklim, polusi, dan lain-lain.
Sistem Islam pun akan menyediakan semua kebutuhan untuk merealisasikan ketahanan dan kedaulatan energi. Dengan demikian, Negara Islam akan terhindar dari ketergantungan terhadap Negara asing dan tidak bisa didikte dengan isu energi. Semua ini tentu ditopang oleh sistem-sistem Islam yang lain, terutama sistem pemerintahan Islam yang berdaulat dan mandiri, bebas dari intervensi asing. Juga oleh sistem ekonomi yang berbasis dinar dirham, berkeadilan dan antiriba, serta sistem keuangan Islam yang kukuh dan stabil. Wallahu a’lam. []
Posting Komentar untuk "BBM dan LPG Naik: Sistem Islam Solusi Alternatif"