Menyoal Kasak-Kusuk Pemilu
Oleh: Afiyah Rasyad (Aktivis Peduli Ummat)
Duhai, dua ribu dua puluh empat masih lama, namun kasak-kusuknya membahana. Banyak baliho begambar profil calon pemimpin negeri ini bertebaran, menebar pesona. Media sosial, media cetak, dan elektronik sibuk membicarakan topik calon peserta pemilu mendatang. Seakan-akan kompetisi lima tahunan itu sudah di depan mata.
Politik transkasional saat ini begitu menyatu dalam jiwa para calon peserta pemilu. Kontestasi politik yang digelar lima tahunan bak gelaran mewah walimah orang-orang kaya. Maharnya pun tidaklah murah. Kehebohan pemilu sudah mulai terasa. Apalagi calon kontestan pemilu 2024 sudah bisa mendaftarkan diri ke KPU. Mereka, para calon mulai berbondong-bondong mendaftar ke KPU (Komisi Pemilihan Umum) untuk mendapat pengesahan sebagai kandidat resmi. Proses pendaftaran resmi dimulai dibuka pada 1 sampai 14 Agustus 2022 (Kumparan.news, 7/8/2022).
Antrean panjang pendaftaran peserta pemilu di KPU seakan menunjukkan minat dan ambisi untuk duduk di pemerintahan. Gelaran walimah politik dalam bingkai demokrasi dianggap sebagai penyalur aspirasi dan berjargo 'dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.' Meski pada kenyataanya, jargon itu sebatas tulisan tanpa bukti nyata.
Kasak-kusuk bakal pemilu 2024 berbanding terbalik dengan kasak-kusuk kondisi hidup rakyat. Para calon peserta pemilu yang mendaftar tentu sudah mengantongi investasi sebagai mahar dan kampanye nantinya. Sementara rakyat harus banting tulang demi memenuhi kehidupan sehari-hari, itu pun sering kurang. Kasak-kusuk pemilu kembali menyuguhkan janji manis dalam balutan literasi yang indah. Namun, apakah harapan menyejahterakan rakyat dari para calon peserta pemilu akan terealisasikan?
Sudah berapa kali pemilu dan seorang pemimpin bahkan ada yang sampai dua periode, tetapi kenyataannya rakyat terus gigit jari. Pasalnya, penderitaan demi penderitaan menari-nari. Kebijakan yang ada menzalimi rakyat tiada henti. Tarif dan harga yang seringkali melambung tinggi tanpa kendali. Suara rakyat dikomersilkan dengan sejumlah nominal yang tak mampu memenuhi kebutuhan hidup lima tahun. Suara rakyat diapusi oleh manisnya janji-janji.
Kasak-kusuk pemilu seakan hanya tertuju pada kompetisi sebuah kursi demi mengamankan kekayaan diri. Biaya pemilu yang tinggi membuat bakal peserta pemilu merencanakan cara mencari sebesar-besarnya keuntungan materi. Watak kapitalisme yang terbingkai dalam pesta demokrasi semakin menunjukkan jati diri. Bahwa, asas politik yang dilakukan adalah keuntungan semata-mata demi materi. Jadilah urusan rakyat terabaikan dan permasalahan minus solusi.
Hadirnya kapitalisme dalam urusan negara semakin menjauhkan manusia pada fitrahnya. Keserakahan dan ketamakan para pemimpin terpampang jelas. Sementara Islam bertolak belakang dengan kapitalisme. Islam tak sekadar agama yang mengurusi ibadah ritual, tetapi juga seluruh aspek kehidupan. Islam mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Pemilihan pemimpin pun tak membutuhkan biaya.
Tata cara halul halli wal 'aqd
Islam merupakan sistem aturan yang bersumber dari Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma' sahabat, dan qiyas. Aturannya holistik mencakup segala hal. Pemilihan pemimpin bukan karena ambisi dan tak berbiaya sama sekali. Khalifah dipilih oleh mahkamah madzalim dengan mekanisme syar'i. Kualifikasi calon khalifah hanya berdasarkan ketentuan syar'i. Tata caranya juga syar'i. Baiat in'iqod dan baiat taat sebagai penanda terpilihnya khalifah dalam Khilafah. Tak ada kasak-kusuk yang mewarnai pemilihan khalifah dalam sistem Islam. Tak ada ambisi demi sebuah kursi.
Wallahu a'lam bi shawab.
Posting Komentar untuk "Menyoal Kasak-Kusuk Pemilu"