Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pajak, Zakat, Pamer Kekayaan dalam Demokrasi dan Islam


Oleh: Abu Mushab Al Fatih Bala (Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT)

Pajak berbeda dengan zakat. Pajak bukan zakat dan ada dalam demokrasi dan Islam. Pajak dalam demokrasi berarti harta yang diwajibkan penguasa atas rakyat untuk melayani rakyat dan mengatur berbagai urusan rakyat.

Sedangkan pajak dalam Islam diartikan sebagai harta yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin untuk membiayai hajat dan kepentingan yang diwajibkan atas mereka dalam kondisi tiadanya dana dalam Baitul Mal (Kas Negara).” (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 135). Pajak dalam sistem demokrasi bisa saja menjadi tulang punggung pendapatan negara. Hampir setiap hari orang membayar pajak minimal PPN (Pajak Pertambahan Nilai).

Di Indonesia sumber pendapatan terbesar yaitu SDA (Sumber Daya Alam) dikuasai oleh individu baik berupa kapitalis dalam dan luar negeri. Dan para kapitalis ini menikmati paling banyak hasilnya. Indonesia mendapatkan sedikit royalti SDA.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pajak menjadi semacam 'mata pencaharian' bagi negara. Betapa susahnya rakyat yang hidup dalam sistem demokrasi. Penghasilan kecil dan tetap sedangkan di sisi lain bentuk dan besaran pajak semakin banyak.

Dalam sistem Islam, pajak bukan sumber pendapatan utama. Pajak hanya diberlakukan ketika Baitul Mal (Kas Negara) kosong. Pajak hanya diberlakukan kepada Kaum Muslimin saja sedangkan yang Non Muslim diharamkan untuk dipungut pajaknya.

Pajak juga hanya dibebankan kepada Muslim yang mampu atau mapan saja (sumber hukumnya bisa dilihat dalam Q.S. Al Baqarah ayat 219). Memungut pajak dari yang miskin adalah kezaliman.

Sumber kas negara (tanpa pajak) ada 7 jenis yakni fai, ghanimah, jizyah, kharaj, khumuz rikaz, zakat dan penerimaan lainnya semacam harta kepemilikan umum, kepemilikan negara, harta waris yang tiada ahli warisnya, harta orang murtad dan usyur. Jika kas negara kosong dan tidak ada pemasukan dari 7 sumber kas negara ini baru lah boleh pajak ditetapkan. Dan pajak tidak diberlakukan setiap hari seperti pajak dalam demokrasi.

Pendapatan pajak menjadi halal ketika kas negara kosong. Di luar kondisi ini pajak menjadi haram. Mendapatkan gaji dari pendapatan pajak juga haram apalagi memperkaya diri hingga dan uangnya untuk mengoleksi mobil dan rumah mewah juga menjadi haram.

Sedangkan Zakat adalah bagian tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila telah mencapai syarat yang ditetapkan (mencapai haul dan nishabnya). Sebagai salah satu rukun Islam, zakat ditunaikan untuk diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (asnaf). Yang bukan asnaf tak boleh menerimanya. Besaran zakat juga tidak mencekik seperti pajak.

Zakat hanya mengambil 2,5 % harta yang telah mencapai nishabnya (batas terendah harta) dan haulnya (setahun disimpan). Zakat juga bukan pungutan harian tetapi setahun sekali. Dari sini tampak jelaslah zakat bukan beban tetapi membantu negara untuk menyantuni golongan yang berhak menerimanya. Secara umum zakat terbagi menjadi dua jenis, yakni zakat fitrah dan zakat mal. 

Zakat fitrah (zakat al-fitr) adalah zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa baik lelaki dan perempuan muslim yang dilakukan pada bulan Ramadhan. Zakat mal adalah zakat yang dikenakan atas segala jenis harta, yang secara zat maupun substansi perolehannya, tidak bertentangan dengan ketentuan agama. Zakat mal terdiri dari: zakat perhiasan, uang, pedagangan, pertanian, peternakan, pertambangan, profesi dan rikaz.

Zakat dan Pajak dan tidak boleh dikorupsi. Zakat tidak boleh digunakan untuk pembangunan infrastruktur, membangun ibukota baru, membayar utang dan lain sebagainya yang lazim dalam sistem demokrasi. Orang yang mengurus zakat dan pajak tidak boleh memperkaya diri dari dua hal ini.

Apalagi memamerkan kekayaannya tanpa mampu membuktikan darimana mendapatkan uang yang banyak untuk membeli mobil dan rumah mewah. Dalam sistem Islam untuk mencegah para pejabat korupsi maka negara memberlakukan perhitungan terbalik. Caranya dengan menghitung kekayaan awal dan akhir pejabat.

Jika ada tambahan yang tidak wajar. Kekayaannya membengkak bukan karena gaji bulanan. Maka dilihat lagi pos pemasukan apa yang diusahakan pejabat itu?

Apakah lewat perdagangan atau korupsi. Jika korupsi maka akan diberikan sanksi yang tegas menurut hukum Islam. Dengan cara ini Khalifah Umar bin Khattab mampu memberantas korupsi dan memperkuat integritas dan kredibilitas pejabat. Ini yang hilang dalam demokrasi.

Sistem sekarang tak bisa menindak pejabat yang terlalu kaya. Negara baru bergerak ketika ada kasus yang menimpa pejabat diviralkan oleh publik. Maka sepantasnya sistem buruk ini kita buang dan kita terapkan sistem Islam. [] 

Posting Komentar untuk "Pajak, Zakat, Pamer Kekayaan dalam Demokrasi dan Islam"

close