Road to 2024 (40): Pesta ‘Pora’ Demokrasi, Pesta Rakyat, Elit, atau Oligarki?
Oleh: Hanif Kristianto (Analis Politik-Media)
Hajatan lima tahunan dalam suksesi kepemimpinan di Indonesia kerap disebut pesta demokrasi. Seolah ini mengindikasikan jika rakyatlah yang paling gembira dengannya. Sebagaimana pesta pernikahan yang tak hanya dua mempelai bersuka cita. Keluarga, tetangga, dan teman sejawat pun gembira atas ‘lakunya’ dua pasang anak manusia. Pesta itu pun meyedot semua tenaga, pikiran, hingga harta. Tak tanggung-tanggung memeriahkannya pun mengundang handai taulan agar turut serta mendoakan.
Istilah ‘pesta demokrasi’ sebagaimana penjelasan John Pemberton (Antropolog dari Colombia University 1986) dipopulerkan pertama kalinya oleh Presiden Soeharto pada Pemilihan Umum 1982. Saat itu Soeharto tengah melaksanakan rapat persiapan pemilu bersama gubernur, bupati, dan wali kota se-Indonesia, Februari 1981. “Kita harus menganggap pemilihan umum sebagai sebuah pesta besar demokrasi”,ucap Soeharto.
Tak mengherankan jika pemilu masa orde baru semua disetting seperti pesta hingga jinggle pun dibuat meriah. Rakyat tumpah ruah dalam kampanye. Bendera partai, meski hanya PPP, Golkar, dan PDI, berkibar di mana-mana. Pendukung fanatik pun tumpah ruah memenangkan partai yang dibanggakannya. Meski demikian, sutradara dari pesta besar itu adalah penguasa tunggal. Kontrol orde baru di bawah rezim Soeharto begitu kental hingga masuk ke jajaran pegawai pemerintahan. Istilah netral pun tampaknya omong doang. Karena faktanya yang tidak terungkap di publik ada yang dipaksa memilih partai tertentu untuk berkuasa.
Lain halnya pada era keterbukaan dan liberalisasi politik. Reformasi menjadi sasaran antara untuk mengokohkan demokrasi yang selama ini disalahtafsirkan pemerintahan. Tokoh-tokoh reformis yang memang mendapatkan pendidikan di Barat dan Amerika Serikat, menyerukan perubahan fundamental. Gagasan melenyapkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi mainstream dalam kampanye. Tokoh-tokoh itu ingin dikenal sebagai penjaga demokrasi yang asli. Padahal sistem demokrasi itu sendiri kerap berkamuflase dan berdasarkan kepentingan penguasa.
Kali ini demokrasi bisa dikooptasi oleh siapapun yang berkehendak. Kemunculan oligarki dalam setiap pesta demokrasi menjadi kewajaran dalam deal-deal politik. Semua berkelindan merebutkan pengaruh dan remah-remah kekuasaan. Tak peduli menjadi boneka atau memang jadi penguasa tangan besi yang sewaktu-waktu tampil bengis di hadapan rakyat. Demokrasi pun membuka ruang seluas-luasnya tanpa batas bagi siapapun yang ingin berkuasa dengan menghalalakan segala cara. Benar-benar parah.
Pesta Siapa?
Pemilu 2024 yang sudah di depan mata kiranya menjadi perenungan bersama. Benarkah ini pesta rakyat Indonesia? Atau sekedar pesta atas nama rakyat? Karena yang meraup untung di kursi kekuasaan ialah pemain ulung dan king maker politik Indonesia. Kekuasaan kerap menjadi perebutan manusia-manusia yang mementingkan kelompok, partai, golongan, dan segelintir orang. Sementara itu, rakyat kerap menjadi pesakitan dan suaranya dipakai di awal penyoblosan. Selebihnya ditinggalkan.
Modal pemilu 2024 menyentuh Rp 76,6 triliun. Belum lagi modal setiap caleg dari 0 hingga ratusan miliar untuk menang. Capres-cawapres jangan ditanya. Modal menyentuh angka triliunan. Meski bukan modal pribadi, bisa juga dana sumbangan dan titipan. Transanksi pun dibeberkan PPATK jika banyak yang mencurigakan selama pemilu 2024. Nah, perputaran uang pun seperti tak berhenti dan terkesan liar. Sebuah fenomena ganjil di tengah nasib ekonomi yang terpuruk, malah pesta pun dibesar-besarkan.
Jika mengamati lebih dalam, pesta demokrasi bukanlah pesta rakyat. Lebih pada pesta yang melibatkan rakyat agar ramai. Lalu, mereka beramai-ramai meninggalkan rakyat. Berikut beberapa analisisnya:
Pertama, demokrasi menjadi sistem politik paling terbuka saat ini. Kajian dan fakta lapangan demokrasi telah diketemukan kejanggalan dari ide awalnya yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Sayangnya, seiring perkembangan zaman demokrasi tak mampu menjaga eksistensinya, bahkan cenderung disalahgunakan.
Kedua, pesta demokrasi berbeda dengan pesta pernikahan. Kalau pernikahan yang mendapatkan untung penyelenggaranya. Jika pesta demokrasi yang mendapatkan untung caleg, capres-cawapresnya, partai politik yang mendukungnya, hingga orang-orang yang dibelakang kesuksesan mereka. Rakyat sama sekali tidak mendapatkan untung, kecuali janji-jani kampanye yang telah digantung. Untuk tetap bertahan hidup pun rakyat harus tetap bekerja.
Ketiga, pemilu dalam demokrasi seperti pestanya bandar. Coba tengok di belakangan caleg dan capres-cawapres ada penanggung dananya. Oligarki yang ingin mengamankan kepentingan ekonominya bermain di semua kaki. Semua bisa saja ditomboki. Asalkan yang menang bisa berbaik hati dan mendukung kepentingan oligarki. Kelompok kecil yang menguasai kekayaan dan ekonomi ini telah menjelma menjadi kerajaan bisnis yang siap menyaplok rakyat Indonesia.
Keempat, pemilu dalam demokrasi cenderung manipulatif dan penuh tipu daya. Aturan pun bisa dirubah sesuai kepentingan kekuasaan. Siapa yang kalah dan menang sudah bisa ditentukan dengan pendapat suara yang diatur dari dapur penyelenggara. Rakyat hanya ditakut-takuti dengan ‘jangan golput’ dan seruan ke TPS. Tetap saja yang menang memiliki integritas yang terbatas.
Kelima, ketiadaan perubahan nasib rakyat karena sistem politik masih dalam koridor demokrasi. Perubahan sekedar wajah orang-orang yang mengisi pemerintahan dan kekuasaan. Padahal seharusnya juga diikuti perubahan kepada sistem yang lebih baik. Rakyat sendiri sudah merasa apatis dan pragmatis. Tak mengherankan jika untuk melibatkan rakyat segala daya upaya dilakukan. Termasuk memberikan uang untuk datang pada hari pencoblosan.
Keenam, putusnya rasa kepercayaan rakyat kepada penguasa terpilih. Tidak semua sepakat dengan yang terpilih. Terkadang juga di luar ekspektasi dan harapan yang tak bisa memenuhi seluruh rakyat. Rasa kecewa kerap ditumpahkan rakyat dalam ragam obrolan, status, dan sikap dalam kehidupan. Karenanya tidak heran jika kerap ada survey kepuasan terhadap jalannya pemerintahan. Padahal itu tidak menunjukkan itikad baik dalam mengurusi kehidupan rakyat.
Alhasil, pesta pora demokrasi telah mengungkapkan jati diri hakikat dan tujuannya. Kalau bukan rakyat lagi yang diuntungkan, maka elit dan oligarkilah yang meraup untung beliung. Sungguh wajah demokrasi telah terpercik noda semenjak awal pesta hingga berakhir pesta. Rakyat pun perlu menyadari sedarnya agar tidak terperosok ke lubang yang ketiga.
Rakyat dan Gerakannya
Cukup sulit untuk membuat gerakan penyadaran kepada rakyat akan arti perubahan dari setiap pesta demokrasi. Rerata masih terbuai janji dari calon-calon yang membawa angin segar perubahan. Padahal jika rakyat menyadari sebagai pemilik kekuasaan. Artinya mampu membawa gerakan perubahan ke arah yang lebih baik. Syaratnya dipimpin oleh orang yang paham. Disiapkan konsep perubahan yang baik. Serta bertumpu pada pemikiran dan kesadaran yang benar.
Dalam konteks demokrasi keterlibatan rakyat sekedar lumbung suara. Selebihnya elit politik dan oligarki yang telah merasuk ke dalam sendi-sendi pemerintahan yang mengaturnya. Tak mengherankan jika UU ataupun aturan yang ditelurkan kerap tidak pro rakyat. Padahal pada masa kampanye rakyat diberikan sebuah umpan yang menarik.
Oleh karena itu, upaya membongkar setiap makar elit politik dan oligarki yang merugikan negeri ini tidak boleh berhenti. Gelombang gerakan rakyat jauh lebih dahsyat dan menjadi tsunami perubahan. Tinggal rakyat dididik dengan politik yang profetik. Politik yang mengedepankan pengurusan rakyat dan menjaga penerapan aturan Allah secara keseluruhan. Gerakan ini perlu dipandu oleh yang memiliki kesadaran dan visi misi kebaikan untuk semua manusia. Rakyat tak boleh diam. Apalagi turut dalam arus kepentingan elit dan oligarki yang menyengsarakan.
Posting Komentar untuk "Road to 2024 (40): Pesta ‘Pora’ Demokrasi, Pesta Rakyat, Elit, atau Oligarki?"