Koruptor, Penjahat Berdasi dari Perguruan Tinggi


Oleh: Hestiya Latifah (Mahasiswi, Aktivis Dakwah)

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD di hadapan ribuan wisudawan dalam acara Wisuda Periode 133 Universitas Negeri Padang pada Minggu (17/12/2023), ia menyatakan dalam pidatonya bahwa 84 persen koruptor yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lulusan perguruan tinggi.

(Tribunnews.com, 17/12/23)

Menurut Mahfud, seseorang yang menyandang gelar sarjana belum tentu memiliki intelektualitas. Sedangkan ijazah seorang sarjana hanya sebagai tanda keahlian di bidang ilmu tertentu.

(Tempo.co, 17/12/23)

Sekian banyak lulusan perguruan tinggi yang tersandung kasus korupsi merupakan bagian dari kegagalan sistem pendidikan saat ini, yakni menjadikan lulusan yang seharusnya berkepribadian mulia, amanah, jujur, bertanggungjawab, dan mau menerima konsekuensi sebagai lulusan yang mengabdi dengan maksimal untuk masyarakat.

Petaka Sekularisme Bagi Para Berdasi

Faktanya, perguruan tinggi saat ini tepat berdiri di atas asas sekularisme yang menjauhkan agama bahkan menghilangkan agama daripada kehidupan nyata. Padahal sejatinya untuk menjadi manusia yang berkepribadian mulia, amanah, jujur, dan bertanggungjawab adalah dengan mendekatkan diri kepada agama, yakni Islam.

Islam adalah agama yang menjadikan manusia mulia, dalilnya tersurat di dalam Al-Qur'an, yakni surah Al-Isra' ayat 70 yang artinya:

 "Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna."

Maka dari itu, tidaklah mudah jika tidak menerapkan aturan yang mengatur seluruh urusan umat, dan menyelesaikan persoalan rakyat saat ini apabila Islam tidak digunakan sebagai sistem untuk mengatur seluruh kehidupan termasuk di dalamnya mencetak generasi atau lulusan yang berkepribadian mulia, yakni kepribadian Islam.

Sistem sekularisme yang diterapkan saat ini hanyalah membangun kepribadian-kepribadian yang memikirkan hawa nafsu belaka, haus akan kepuasan baik itu kepuasan kekuasaan maupun kepuasan pada urusan pribadi lainnya. Maka tak heran jika lulusan-lulusan perguruan tinggi saat ini banyak yang secara tidak sadar maupun sadar melakukan berbagai penyimpangan baik itu dikalangan umum maupun khusus yaitu individual. Bukannya fokus memperbaiki nasib umat dan membela kepentingan umat, namun malah menjadi pribadi yang sibuk mengurusi diri sendiri, sibuk dalam urusan duniawi dan terus melakukan perbuatan yang sia-sia hingga terjerumus ke dalam hal yang haram.

Sekularisme menjadikan manusia-manusia gila akan materi, ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan halal-haram atas apa yang didapat. Sistem sekularisme menjadikan manusia lupa akan jati dirinya sebagai seorang muslim dan menjauhkan dirinya dari agama, hingga lupa bahwa hidup ini hanyalah tidak lain untuk mengumpulkan amal demi kehidupan yang selanjutnya setelah kehidupan di dunia, yakni akhirat.

Budaya korup yang terjadi hingga hari ini memang diciptakan oleh sistem sekuler dan politik demokrasi. Adapun faktor lain yang menyebabkan manusia-manusia saat ini melakukan praktek korupsi berasal dari sistem sanksi yang buruk dan tidak menjerakan, mereka tidak takut akan dosa. Oleh karena itu, agar terbebas dari budaya korupsi, kita harus mengubah sistem hari ini.

Sistem Islam Solusi Korupsi Berdasi

Sistem sekuler demokrasi telah terbukti menjadi biang lahirnya budaya korupsi. Sudah saatnya kita membuangnya dan menggantinya dengan sistem Islam. Setidaknya ada empat sebab budaya korupsi niscaya akan hilang dalam penerapan sistem Islam.

Pertama, dasar akidah Islam akan melahirkan kesadaran penuh bahwa dirinya tengah diawasi oleh Allah Taala, yakni penerapan akidah Islam. Ini akan menjadikan manusia bertakwa dan senantiasa takut melakukan dosa. Ini jugalah yang menjadi kontrol internal agar mencegah dirinya untuk korupsi. 

Kedua, sistem Islam menjadikan manusia sibuk di dalam mendakwahkan Islam, amar makruf nahi mungkar.

Ketiga, praktik korupsi yang mungkin terjadi akan diberantas dengan sanksi Islam dan dicegah agar tidak terjadi. Korupsi sendiri adalah harta ghulul, yaitu harta yang diambil atau ditilap di luar imbalan legal. Harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan, dan sebagainya. Sekalipun mereka menamakan hadiah, haram hukumnya jika diambil.

“Siapa yang kami pekerjakan atas satu pekerjaan dan kami tetapkan gajinya, apa yang diambil selain itu adalah ghulul.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).

Adapun untuk membuktikannya, ialah Khalifah Umar bin Khaththab. Khalifah Umar mencatat harta pejabat awal dan akhir masa jabatan. Jika ada kelebihan yang tidak wajar, pejabat tersebut wajib membuktikan perolehan hartanya secara legal. Jika tidak bisa dibuktikan, hartanya akan disita dan dimasukkan ke baitulmal.

Keempat, adanya sanksi bagi pelaku korupsi yang akan memberikan efek pencegahan dan menjerakan. Hukum sanksi bagi koruptor berbentuk takzir, yaitu sanksi yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ijtihad khalifah atau kadi (hakim). Bisa disita seperti dilakukan Khalifah Umar. Bisa juga dengan tasyhir (diekspose), dipenjara, hingga hukuman mati. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi kepada koruptor dengan hukuman cambuk dan ditahan dalam waktu yang lama.

Sesungguhnya, para manusia-manusia tamak dan gemar korupsi yang ada di dalam sistem sekuler demokarsi saat ini hanya akan terus lahir dan menjadi sebuah budaya. Oleh karena itu, membuangnya dan menggantinya menjadi sistem Islam merupakan solusi utama dalam menyelesaikan persoalan korupsi.

Sudah selayaknya hal ini disampaikan kepada umat atas urgensi penerapan syariat Islam dalam bingkai Khilafah. Ini karena Islamlah satu-satunya solusi atas seluruh persoalan umat manusia. Wallahu'alam bishawab. []

Posting Komentar untuk "Koruptor, Penjahat Berdasi dari Perguruan Tinggi"