Kritik Ustaz Muhammad Ismail Yusanto terhadap Kenaikan PPN 12 Persen: Perspektif Ekonomi dan Ideologis

 


Jakarta, Visi Muslim-Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang. Kebijakan ini didasarkan pada amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan tersebut dalam program Fokus: PPN 12%, Untuk Siapa? yang tayang di kanal YouTube UIY Official, Ahad (22/12/2024).

Menurut UIY, masyarakat tidak boleh menerima kenaikan PPN ini semata-mata karena alasan bahwa hal itu diatur oleh undang-undang. “Kita tidak boleh hanya berpegang pada amanat undang-undang. Yang menjadi persoalan adalah mengapa undang-undang seperti itu dibuat?” tegasnya.

Ia menyoroti bahwa ada persoalan mendasar yang melatarbelakangi munculnya kebijakan ini. UIY menguraikan tiga faktor utama yang perlu dipahami oleh masyarakat untuk melihat kebijakan ini secara lebih luas dan mendalam.

Relasi Negara dan Rakyat yang Salah Kaprah

Faktor pertama, menurut UIY, adalah pola hubungan antara negara dan rakyat yang salah kaprah. Ia menjelaskan bahwa negara sering memandang rakyat semata-mata sebagai sumber pendapatan. Hal ini tercermin dari komposisi pendapatan negara, di mana pajak menyumbang lebih dari 80 persen.

“Relasi seperti ini menggambarkan posisi negara dan rakyat yang berhadap-hadapan, seolah rakyat hanyalah pihak yang harus memberikan pemasukan bagi negara,” jelasnya. UIY menambahkan bahwa konsep ini bertentangan dengan prinsip daulah riayah, yakni negara yang melayani rakyatnya.

Sebaliknya, relasi yang ada saat ini lebih menyerupai konsep daulah jibayah, atau negara pemalak, di mana rakyat dipaksa membayar pajak untuk menutup kebutuhan negara. “Ini bukanlah konsep negara yang ideal dalam pandangan Islam,” tambahnya.

Negara Hanya Sebagai Regulator, Bukan Pelaku Ekonomi

Faktor kedua yang disoroti UIY adalah pandangan bahwa negara hanya berperan sebagai regulator dan pengawas, bukan pelaku ekonomi. Dalam pandangan ini, negara cukup berperan sebagai watchdog atau anjing penjaga, memastikan bahwa regulasi berjalan dengan baik tanpa ikut terlibat langsung dalam aktivitas ekonomi.

“Ketika negara dianggap hanya sebagai regulator, maka sumber daya ekonomi besar yang seharusnya bisa dikelola untuk kepentingan rakyat malah dibiarkan ke tangan swasta,” jelas UIY.

Ia mencontohkan peran negara dalam perbankan. Meski bank terbesar di Indonesia masih dimiliki oleh pemerintah, negara tidak memanfaatkan otoritasnya untuk menggerakkan perekonomian secara optimal. Padahal, negara memiliki kemampuan yang jauh lebih besar dibandingkan sektor swasta, baik dalam hal sumber daya manusia maupun akses permodalan.

Pelepasan Sumber Daya Ekonomi ke Swasta

Faktor ketiga yang UIY kritisi adalah kebijakan pemerintah yang sering kali melepaskan pengelolaan sumber daya ekonomi besar kepada swasta. Ia menilai bahwa langkah ini bertentangan dengan prinsip bahwa negara harus menjadi pengelola utama sumber daya yang strategis.

UIY menyoroti sektor tambang batu bara sebagai salah satu contoh nyata. “Negara ini memiliki potensi ribuan triliun dari sektor tambang batu bara. Namun, alih-alih mengelolanya sendiri, potensi tersebut justru dilepas ke pihak swasta,” paparnya.

Ia membandingkan potensi tersebut dengan hasil kenaikan PPN 12 persen yang hanya diproyeksikan menghasilkan tambahan sekitar Rp80 triliun. “Ini adalah langkah yang tidak masuk akal. Negara kehilangan potensi besar demi kebijakan yang justru membebani rakyat kecil,” tegasnya.

Kapitalisme dan Kecenderungan Menaikkan Pajak

UIY mengaitkan kebijakan kenaikan PPN ini dengan karakter kapitalisme yang selalu berupaya meningkatkan tarif pajak demi melayani kepentingan pemilik modal. Dalam sistem ini, pajak sering kali dijadikan alat untuk menutupi kebutuhan negara, tetapi dampaknya justru dirasakan oleh rakyat kecil.

“Kapitalisme memiliki kecenderungan untuk mengutak-atik tarif pajak. Akibatnya, yang dirugikan adalah masyarakat dengan penghasilan rendah,” ujarnya. UIY menambahkan bahwa kebijakan seperti ini menunjukkan keberpihakan negara kepada pemilik modal daripada rakyat kecil.

Dampak Kenaikan PPN terhadap Rakyat

Kenaikan PPN 12 persen akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa. UIY memperingatkan bahwa kelompok masyarakat rentan akan semakin terpuruk karena penghasilan mereka tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup.

“Ketika harga barang dan jasa naik, kehidupan masyarakat dengan penghasilan pas-pasan akan semakin sulit. Kebijakan ini justru memperbesar ketimpangan sosial,” jelasnya.

UIY menekankan bahwa keadilan dalam pajak bukan hanya soal besaran tarif, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak menambah beban bagi mereka yang sudah kesulitan secara ekonomi.

Pentingnya Perspektif Ideologis

Selain kritik teknis, UIY mengajak masyarakat untuk melihat kebijakan ini dari sudut pandang politis dan ideologis. Menurutnya, kenaikan PPN ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga mencerminkan cara pandang kapitalisme yang merugikan rakyat.

“Kita harus menolak kebijakan seperti ini dengan cara berpikir yang lebih mendalam, bukan hanya teknis, tetapi juga politis dan ideologis,” katanya.

Solusi Alternatif yang Ditawarkan

UIY mendorong negara untuk mengambil peran aktif sebagai pelaku ekonomi, terutama dalam mengelola sumber daya strategis. Ia menilai bahwa langkah ini tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada pajak, tetapi juga memastikan kesejahteraan rakyat secara lebih merata.

“Negara memiliki kemampuan dan otoritas untuk menjadi pelaku utama dalam perekonomian. Dengan cara ini, rakyat tidak lagi menjadi pihak yang terus-menerus dimintai kontribusi melalui pajak,” jelasnya.

Pesan untuk Umat

Di akhir pembahasannya, UIY mengingatkan umat untuk berpikir kritis terhadap kebijakan yang merugikan mereka. Ia juga mendorong umat untuk menolak kebijakan seperti kenaikan PPN ini dengan cara yang cerdas dan terorganisir.

“Umat harus memahami bahwa kebijakan ini bukanlah solusi terbaik. Kita perlu berjuang untuk menciptakan sistem yang benar-benar berpihak kepada rakyat, bukan kepada pemilik modal,” pungkasnya.

Dengan pandangannya yang tajam, UIY mengajak masyarakat untuk tidak hanya menerima kebijakan yang ada, tetapi juga mempertanyakan sistem yang melahirkan kebijakan tersebut. [] Banu Ngadiran 

Posting Komentar untuk "Kritik Ustaz Muhammad Ismail Yusanto terhadap Kenaikan PPN 12 Persen: Perspektif Ekonomi dan Ideologis"