Trump Kembali Memutar Dunia ke Era Kolonialisme dan Menyalakan Api Konflik
Terjemahan
Siaran Pers
Trump Kembali Memutar Dunia ke Era Kolonialisme dan Menyalakan Api Konflik
Kepresidenan kedua Donald Trump berpotensi menjadi lebih kacau dan merusak dunia dibandingkan masa pertamanya di Gedung Putih. Pernyataan terbarunya tentang rencana penggantian nama Teluk Meksiko, aneksasi Kanada, pengambilalihan Terusan Panama, dan pembelian Greenland dengan dalih keamanan nasional menunjukkan perubahan dramatis dalam kebijakan luar negeri AS. Ini terjadi setelah masa pemerintahan Joe Biden yang ditandai dengan dukungan terhadap rezim-rezim tirani dunia, termasuk entitas Yahudi penjajah yang terus melakukan kejahatan pembersihan etnis di tanah suci Palestina selama lebih dari lima belas bulan. Nilai-nilai liberalisme tampaknya telah berlalu, dan kini politik kolonialisme militer menjadi poros kebijakan Amerika Serikat.
Alih-alih mengecam pernyataan provokatif Trump, Partai Republik justru dengan antusias mendukung pendekatan kebijakan luar negerinya yang agresif. Banyak anggota Partai Republik memuji gagasannya sebagai wujud keistimewaan Amerika dan visi strategis yang unggul. Namun, rencana seperti aneksasi Kanada atau pengambilalihan Greenland secara paksa—yang notabene merupakan wilayah negara anggota NATO—berisiko memicu penerapan Pasal 5 NATO, yang menyatakan bahwa "serangan terhadap satu anggota dianggap sebagai serangan terhadap seluruh sekutu." Selain itu, usulan Partai Republik untuk mengganti nama Teluk Meksiko menjadi simbol dominasi Amerika di belahan bumi barat juga menegaskan supremasi dan hegemoni AS.
Meski pemimpin Eropa menolak rencana Trump untuk membeli Greenland dan menganeksasi Kanada, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Noël Barrot menegaskan bahwa Uni Eropa tidak akan mengizinkan negara lain menyerang perbatasannya, apa pun alasannya. Kanselir Jerman Olaf Scholz menambahkan bahwa "prinsip kedaulatan wilayah berlaku untuk semua negara, besar atau kecil." Namun, komentar dari Denmark menunjukkan sikap yang lebih rekonsiliatif, mencerminkan kelemahan Uni Eropa dalam menghadapi Amerika Serikat. Sementara Kopenhagen berupaya meredam kekhawatiran keamanan Trump, respons ini menyoroti perpecahan yang semakin dalam antara Eropa dan Amerika di bawah kepemimpinan Trump.
Sementara itu, kejahatan genosida yang dilakukan oleh entitas Yahudi di Gaza, aneksasi tanah Palestina, Lebanon Selatan, dan Suriah mempercepat kebrutalan kolonialisme pemukim di seluruh dunia. Ini merupakan penyimpangan terang-terangan dari penghormatan terhadap batas-batas negara dan wilayah yang diduduki sebagaimana diatur dalam hukum internasional. Yang lebih mengkhawatirkan adalah respons global terhadap perkembangan ini, yang sebagian besar pasif. Negara-negara Global Selatan, termasuk negara-negara Muslim, memilih diam, sementara kekuatan Barat secara terbuka mendukung tindakan kriminal entitas Yahudi melalui penjualan senjata dan pembelaan tanpa syarat di forum internasional.
Baru-baru ini, Amerika Serikat mengesahkan undang-undang untuk menghukum Pengadilan Kriminal Internasional setelah pengadilan tersebut mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant. Langkah ini semakin melegitimasi kolonialisme pemukim dan kembalinya era kolonialisme militer. Dalam perspektif ini, Amerika tampaknya tidak hanya ingin menghidupkan kembali Doktrin Monroe, tetapi juga berambisi mengubah diri menjadi kekaisaran yang bertujuan menjajah negara-negara lain demi sumber daya berharga atau untuk meredakan kekhawatiran strategis yang terkait dengan keamanan nasional, seperti ketakutan terhadap kebangkitan peradaban Islam yang semakin dekat.
Kembalinya prinsip "kekuatan adalah kebenaran" menyeret tatanan internasional kembali ke era sebelum 1945 dan mendorong kekuatan besar untuk menganeksasi negara-negara lemah.
Dalam kondisi seperti ini, panggung internasional semakin siap bagi kemunculan Negara Khilafah. Erosi hukum internasional dan legitimasi Barat mempermudah Khilafah untuk mengadopsi kebijakan penyatuan negeri-negeri Muslim. Selain itu, negara Islam ini berpotensi melindungi negara-negara lemah dari kekuatan kolonial dan menyatukan mereka di bawah naungan keadilan Islam. Pertanyaannya adalah, adakah seorang perwira di militer negeri-negeri Muslim yang dapat memanfaatkan situasi internasional ini dan memberikan pertolongan kepada Hizbut Tahrir untuk menegakkan Khilafah Rasyidah ala Minhaj Nubuwwah, guna menghadirkan keamanan, kedamaian, dan keadilan di dunia?
Posting Komentar untuk "Trump Kembali Memutar Dunia ke Era Kolonialisme dan Menyalakan Api Konflik"