Berisik Gas Bikin Panas

 



Oleh: Alfisyah Ummu Arifah S.Pd (Pegiat Literasi Islam Kota Medan)


Gaduh masalah gas. Warga Negara tercinta ini meradang karena gas LPG. Bermula dari kebijakan Mentri ESDM yang viral tak hentinya bikin gaduh. Kali ini giliran LPG bersubsidi tabung 3 kg. 

Menteri  ESDM memberlakukan mulai 1 Pebruari lalu yaitu membatasi distribusi gas LPG pada sasaran yang tepat saja.

Narasinya untuk merapikan administrasi dan dustribusinya. Tabung melon tak boleh lagi dijual di pengecer agar pembelinya diketahui layak atau tidak mendapatkan  harga subsidi. Selanjutnya hak penjualan sepenuhnya diserahkan ke pangkalan Pertamina.

Meskipun keputusan ini dianulir kemudian pada 6 Pebruari 2025 (Wartakota.co.id, 6/2/25).

Kebijakan pembatasan gas ini memang kurang matang dalam penggodokannya. Kurang jauh analisis terhadap dampak ikutannya ke depan. Model pembatasan seperti ini,sebenarnya bukan pola baru. Ini kebijakan lama yg secara historis gagal dan selalu bikin gaduh. Rakyat lagi-lagi jadi korbannya. 

Kita belum lupa bukan? Sejak pertama kali digulirkan pada 2007 lalu, kebijakan konversi minyak tanah ke LPG bersubsidi untuk kebutuhan rumah tangga memang selalu bermasalah. Pola distribusinya selalu tidak efektif tepat sasaran. 

Hal ini disebabkan, sejak awal diberlakukan sampai hari ini, tidak ada satupun regulasi yg memuat format baku mata rantai distribusi LPG bersubsidi agar bisa tepat sasaran. Blunder. Kurang matang dalam kajian dampak ikutannya.

Seperti mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan tak mau belajar dari kesalahan dan kelemahan masa lalu. Menteri ESDM yang baru dalam kabinet baru mengulangi pola layanan masyarakat ini kembali. Lagi-lagi blunder. Senjata makan tuan.

Tak cukup jatuh di dalam lubang yang sama. Kita melihat bersama kebijakan inu kosong dari  regulasi yg mengatur secara rigid mata rantai distribusinya. Kesalahan berikutnya lalu berlanjut pada memilih cara praktis lakukan pembatasan dengan menyetop penjualan di pengecer. Ini adalah langkah sia-sia yg justru hanya akan berujung kegaduhan. 

Menteri ESDM dan jajarannya sepertinya terindikasi terkena penalti dan mengejar deadline. Akhirnya  berambisi menyetop penjualan di tingkat eceran sampai lupa memperkuat armada pangkalan Pertamina untuk menyediakan dan menjual LPG bersubsidi sesuai kebutuhan masyarakat. Ujungnya, memicu kelangkaan, naik harga, rakyat berburu, antrean panjang dimana-mana. Bahkan ada yg mengantri berjam-jam hingga kelelahan dan meninggal. 

Siapa yg harus bertanggung jawab? Tentu masyarakat bertanya-tanya. Apakah cuma Menteri ESDM ataukah Pemerintah Pusat? 

Masyarakat bingung, di tengah hebohnya koreksi terhadap pagar laut, muncul bom berita yang mengejutkan dapur mereka.

Kita juga melihat kebijakan ini jauh dari kata menyiapkan regulasi yg matang, tanpa melalui masa transisi cukup, tanpa menguatkan armada pangkalan Pertamina. Kebijakannya tergesa-gesa terkesan mengejar setoran atasan.

Imbasnya masyarakat terpaksa menelan pil pahit lagi. Penjualan gas di tingkat pengecer harus dihentikan. Masyarakat hanya bisa membeli dari pangkalan Pertamina dengan harga eceran tertinggi (HET) yg sudah ditetapkan. 

Lucunya kebijakan  ini tidak boleh berlama-lama.Tak boleh ditunda. Alasannya, sejauh ini penjualan ditingkat pengecer dilakukan secara bebas.Harus segera diputus rantai perjalanannya. Rapikan segera. Begitu instruksinya. Tidak ada pilihan pembatasan harus dilakukan.

Pemerintah akhirnya memilih tegas dengan harus menyetop penjualan di pengecer. Pembelian sepenuhnya melalui pangkalan Pertamina. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya membenahi proses distribusi LPG bersubsidi agar tepat sasaran. Bagaimanapun sistem distribusi LPG bersubsidi tidak efektif. Dijual secara bebas oleh pengecer di pasar. Bukan hanya rakyat kelas rentan dan miskin saja yg bisa membeli. Kelas menengah atas dan kelompok kaya yg mapan secara ekonomi juga bisa membeli. Subsidi tepat sasaran tidak efektif, salah sasaran. 

Pemerintah menyebut, menurut data TNP2K, dari 50,2 juta rumah tangga yang menerima program subsidi LPG, sebanyak 32% rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah yg hanya menikmati 22% dari subsidi LPG, sementara 86% dinikmati oleh kelompok yg lebih mampu.

Selain mengakibatkan masalah penyaluran tidak tepat sasaran juga berdampak pada over kuota hingga memicu pembengkakan tanggungan subsidi yg membebani APBN.

Pemerintah tidak mau rugi. APBN tidak boleh semakin bengkak lagi.

Sebelumnya sudah diungkapkan  Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa harga jual LPG bersubsidi dari pangkalan Pertamina ke pengecer sebesar Rp 12.750. Sementara menurutnya, harga asli LPG 3 Kg tanpa subsidi capai Rp 42.750 per tabung. 

Nominal subsidinya besar sekali  bukan?Pemerintah keberatan harus membayar subsidi per tabung sebesar Rp 30.000. Hal ini mengakibatkan APBN 2024 harus menanggung beban subsidi LPG 3 kg yg terbilang tinggi capai Rp 80,2 triliun dengan total penerima manfaat 40,3 juta pelanggan. 

Dari sini kita memahami bahwa motif utama pemerintah membatasi LPG bersubsidi didasarkan pada pertimbangan dan penilaian bahwa pola distribusi LPG bersubsidi sejauh ini tidak tepat sasaran sehingga mengakibatkan tanggungan subsidi dalam APBN jadi membengkak. 

Jika kita mencermati masalah ini, kita mendapatkan  benang merahnya. Pemerintah menuduh sumber masalah utama lonjakan subsidi terletak pada penerapan skema subsidi terbuka. Dimana Siapa saja, termasuk orang kaya bisa bisa membeli LPG bersubsidi tanpa batasan. Penjualan gas seperti skema ini tidak tepat sasaran. Mengapa?  Karena subsidi ini turut dinikmati oleh masyarakat kalangan menengah ke atas. 

Oleh karena itu wajar jika pemerintah membatasi penjualan lewat penerapan subsidi LPG tertutup, hanya bisa dibeli di pangkalan Pertamina agar bisa lebih tepat sasaran. 

Kebijakan menteri ESDM itu kemudian dianulir. Kembali pada pengaturan  awal dengan tambahan merapikan pengecer menjadi Sub pangkalan. Presiden Prabowo Subianto  menjelaskan kebijakan terkait perubahan mekanisme distribusi LPG 3 kg. Penjualan melalui pengecer yang sebelumnya dilarang kini diubah menjadi sistem sub-pangkalan. Perubahan ini bertujuan agar transaksi bisa dikontrol secara digital, sehingga penyaluran LPG 3 kg dapat lebih transparan dan tepat sasaran (Wartakota, 6/2/25).

 Nah, apakah kebijakan yang dianulir ini mampu mengembalikan ketenangan sebelum kegaduhan gas ini? 

Mungkin iya, namun bisa jadi memberikan buntut panjang persoalan teknis baru di lapangan.

Nah, Kebijakan yang  dianulir  hari ini skemanya itu bersifat tertutup. Kebijakan baru  pada saat penyaluran subsidi gas LPG 3 Kg ini masih menggunakan cara lama yg cenderung gagal dan menyulitkan. Rakyat diwajibkan menunjukkan KTP saat membeli LPG tabung melon di pangkalan Pertamina.

Selanjutnya, KTP pembeli akan disesuaikan dengan data sasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yg dinput di website Subsidi Tepat sasaran milik Pertamina. Benarkah kebijakan  inu nantinya berjalan mulus?

Faktanya kebijakan yang dianulir ini sudah menjadi blunder lagi saat ini.

Mungkin sudah terbayang di benak kita tentang rumitnya teknis distribusinya nanti di lapangan. Beberapa  pertanyaan semisal  bagaimana caranya penjual terutama pedagang kaki lima yg sudah terdaftar sebagai agen resmi Pertamina menjual LPG 3 kg? Bagaimana mencocokan KTP setiap pembeli dengan data P3KE di website Pertamina. Rumit sekali ternyata.

Realitasnya nanti para pedagang harus memiliki dan mengoperasikan laptop dan terhubung dengan internet selalu. Bisa juga memegang telepon seluler dan selalu online. Kemudian pedagang itu selalu mengecek  data identitas setiap pembeli di website pertamina. Sementara digitalisasi informasi di negara ini sarananya belum memadai dan terintegrasi? Sulit untuk membayangkan bagaimana rumitnya.

Kita memahami alasan pemerintah saat memberlakukan pembelian LPG 3 Kg dengan menggunakan KTP tujuannya baik, yaitu agar subsidi tepat sasaran. Tidak bocor ke orang kaya. Tetapi sesungguhnya kebijakan ini adalah wujud pembatasan kuota LPG untuk mengendalikan besarnya impor dan tanggungan subsidi LPG 3 Kg dalam APBN. 

Sungguh langkah yang dangkal dan  frustasi ini  menegaskan bahwa pemerintah dan DPR di negara ini malas dan tidak kreatif. Tidak mau berpikir efektif dan efisien. Tidak mau berkorban waktu, jiwa dan hartanya melayani masyarakat  sepenuh hati. Jangankan ingin mendapatkan pahala dari Sang Pencipta, sekedar mengutamakan kemanusiaan saja masih perlu dipertanyakan. Prinsip jadi pemimpin untuk melayani jauh sekali panggang dari api. Jadi pemimpin untuk memperoleh kekuasaan. Sesuai motif sistem Kapitalisme saat seseorang menjadi penguasa.

Padahal SKK Migas menyebutkan bahwa produksi LPG nasional pada 2024 sebesar 1,7 juta meter kubik. Banyak bukan? Sementara kebutuhan Konsumsi 8 juta meter kubik. Kekurangannya sekitar 6,1 juta meter kubik. 

Nah, untuk menutupi kekurangan pasokan tersebut, negara mau tidak mau  harus mengimpor 6,4 juta meter kubik gas itu.

Selanjutnya Pertamina lalu membeli  melalui impor di spot market dengan harga global. Pertamina kemudian menjual kembali ke masyarakat dalam negeri dengan harga rugi. Kerugian Pertamina itu selanjutnya dibayar pemerintah lewat tanggungan subsidi dari APBN. Di sini APBN bengkak tiap tahun karena pemasukan APBN pun berkurang posnya karena tata kelola ekonomi negara yang semrawut dan pro oligarki.

Rendahnya produksi dan besarnya impor LPG adalah masalah klasik yg sengaja dipelihara kementrian ESDM, komisi VII DPR RI, mafia serta oligarki impor. 

Apakah ini sengaja dipelihara agar menjadi motif dan alasan kenaikan  harga gas itu ? 

Sepertinya  kita bisa menerima lpgika itu. Pada saat kementrian ESDM menyatakan produksi LPG kita lemah, itu adalah  kalimat yg sangat tidak pantas. 

Bukankah data kementrian ESDM sendiri yg menyebut, produksi Gas alam mencapai 7,399 juta kaki kubik (MMscfd) per hari dengan total produksi rata-rata sepanjang tahun 2024 di atas 50 juta kaki kubik. 

Pertanyaannya  Mengapa proses konversi ke LPG  untuk memenuhi kebutuhan 8 juta meter kubik itu sulit sekali? Kita bisa berhitung sederhana saja, Jika total produksi Gas alam itu  lebih dari 50 juta kaki kubik. Nah yg berhasil dikonversi ke LPG hanya 1.7 juta meter kubik.

Maka 50 juta produksi digunakan untuk bayar konversi LPG 1.7 juta, masih menyisahkan 48 juta meter kubik bukan? Ini hitungan sederhana. Hitungan ibu-ibu berdaster dan tukang warung.

Tidak sampai di sini saja. Andaipun pasokan gas ini digunakan lagi untuk membayar konversi ke LPG sesuai kebutuhan masyarakat 8 juta meter kubik, masih menyisakan 41 juta meter kubik. Masih banyak sisanya bukan? 

Ini bukti bahwa Indonesia "mungkin"  surplus produksi dan pasokan Gas alam. 

Ini fakta.

Surplusnya berapa ? Di atas 40 juta meter kubik. Banyak sekali itu. Berlimpah ruah sampai muntah kita dengan gas alam kita.

Lalu Menapa Indonesia harus bergantung tinggi terhadap pasokan impor LPG ? 

Apakah alasan pemerintah tidak mampu menyanggupi konversi produksi gas alam ke LPG sesuai kebutuhan yg hanya 8 juta kubik meter ? 

Beberapa pengamat kebijakan publik berkomentar  terhadap hal ini. Mereka bisa menebak jawabannya. Faktanya  pemerintah akan berkilah  dan berdalih bahwa lemahnya konversi gas alam menjadi LPG karena kita lemah dalam produksi kandungan campuran propane C3 dan butane C4. Ini juga pernah disebut menteri ESDM beberapa waktu lalu.

Kita menyaksikan jawaban klasik ini selalu diulang-ulang setiap tahun. Padahal solusinya sederhana. Bangunlah kilang gas. Lalu produksi sesuai kebutuhan.Jika pemerintah tidak mampu membangun kilang, maka haruslah segera melakukan up-gread kapasitas kilang. Terutama kilang LPG Bontang yg potensial. Mudah bukan? 

Namun, sejauh ini, upaya meningkatkan produksi LPG berbasis pada pembangunan kilang dan akselerasi kapasitas kilangnya tidak menjadi orientasi pemerintah. 

Mengapa ? 

Bagaimanapun jika negara berhasil meningkatkan produksi sesuai kebutuhan rakyat, lalu bagaimana caranya koruptor di Kementrian ESDM, Komisi VII DPR, SKK Migas serta mafia dan oligarki impor bisa mencuri keuntungan lewat perburuan rente impor?.Ini sebuah fakta yang nyata.

Sesungguhnya Indonesia kaya akan cadangan gas alam. Silahkan buka website kementrian ESDM atau SKK Migas dan lakukanlah pencarian tentang Proven Gas alam. 

Akan muncul tulisan, per Januari 2023 jumlah cadangan gas terbukti (P1) mencapai 35.299,31 Billion Standard Cubic Feet (BSCF). Ini belum ditambah dengan total cadangan P2 dan P3 yg bisa dikonversi menjadi P1.

Selanjutnya jika semua sumber daya iti digabungkan dengan unproven atau potensial reserves, total cadangan bisa mencapai 60,61 juta meter kubik. Sementara total produksi mencapai 50 juta meter kubik. 

Lalu mengapa konversi ke konversi LPG  hanya 1.7 juta meter kubik ? Padahal bisa lebih dari itu? Kemanakah sisanya ?

Dari sini kita cukup yakin. Ini sengaja dipelihara. Bagaimanapun indonesia harus tetap bergantung pasokan impor. Tidak bisa independen. Mafia berbaju pejabat dan wakil rakyat, serta oligarki impor bisa terus mencuri keuntungan. 

Dari data di akun resmi tersebut SKK Migas dan Kementrian ESDM kompak melaporkan, sampai saat ini, ditengah produksi gas alam yg capai 50 juta meter kubik itu, justru diikuti dengan serapan gas domestik yg rendah. Hanya mencapai 68.66% total produksi. 

Mirisnya, jumlah produksi gas alam yg dikonversi ke LPG prosentasinya hanya 1.51% dari total produski. Sementara mayoritas 31% diekspor negara ke pasar global untuk dijual sebagai tambahan dana. Untuk siapa? Tentu kita bisa menjawabnya.

Untuk  apa mengejar ekspor tinggi, tetapi kebutuhan dalam negeri diabaikan. 

Kesedihan pun belum berujung, gas alam Indonesia yg diekspor keluar dengan jumlah mayoritas, diolah di luar menjadi LPG, lalu diimpor kembali ke Indonesia dengan harga yg memiskinkan. Ini otomatis memicu lonjakan tanggungan subsidi untuk menutupi kerugian Pertamina. 

Impor dan tanggungan subsidi yg tinggi, akhirnya membuat pemerintah berteriak bahwa  APBN tersandera dan  pertamina rugi. Rugi terus, entah kapan untungnya.

Lalu muncullah wacana kebijakan yang naif. Kebijakan yang  memaksimalisasi alokasi subsidi tepat sasaran lewat pembelian LPG 3 Kg di pangkalan Pertamina dengan menggunakan KTP. 

Tidak ada cara lain. Sistem ekonomi kapitalistik dalam tata kelola Migas ini memang keliru. Memunculkan masalah tak berujung. Andai diterapkan sistem tata kelola Migas yang berbasis syariah tentu akan mudah. 

Surplus APBN akan terus naik karena sumber daya Alam diurus sendiri. Hasilnya dikembalikan pada masyarakat untuk kepentingan kebutuhan publik yg maksimal dan terbaik. Pendidikan, keamanan, dan kesehatan yang terbaik dari hasil alam yang jumlahnya berlimpah.

Nah, gas yang diperuntukkan untuk masyarakat pun akan diberikan gratis, mengingat data migas yg surplus tadi. 

Andaipun ada biaya pengelolaan migas, akan diambil dari surplus migas itu sendiri. Hasil penjualan migas ke luar negeri lagi-lagi masuk ke APBN negara. Dapat kita bayangkan setiap tahunnya APBN negara surplus terus. Seluruh masyarakat sejahtera tanpa kecuali yang miskin maupun tang kaya

 Sampai di satu titik tidak ada lagi yang miskin. Semua menjadi pembayar zakat. Penerima zakat langka dan susah dicari. Demikianlah sistem ekonomi  islam mampu mengurus masalah migas dengan hasil yang terbaik. 

Prinsip mudah, cepat dan profesional terbukti bukan cuma jargon. Sistem ekonomi islam memang satu-satunya sistem yang terbaik. Sistem yang sesuai fitrah manusia. Wallahu a'lam bisshowaab. []

Posting Komentar untuk "Berisik Gas Bikin Panas"