Kebijakan Populis, Bukan Solusi Tuntas Problem Pendidikan
Oleh: Sherly Agustina, M.Ag. (Penulis dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Problem pendidikan begitu kompleks, mulai dari kurangnya jumlah guru, banyak sarana dan prasarana sekolah yang rusak, gaji minim para honorer, kecurangan, ketidakjujuran, kurangnya integritas, dan kemungkinan adanya penyelewengan dana (korupsi). Semua ini butuh solusi yang kompleks juga, bukan hanya sekadar tambal sulam tak menyentuh akar persoalan. Maka, apa sebenarnya akar masalah semua problem pendidikan yang terjadi?
Presiden Prabowo Subianto memberikan sambutan dalam acara Peringatan Hari Pendidikan Nasional di SD Negeri Cimahpar 5, Bogor, Jawa Barat, Jumat (2/5/2025). Prabowo menyoroti minimnya fasilitas pendidikan di sekolah, misalnya sekolah di daerah hanya memiliki satu toilet untuk siswa sekaligus guru. Padahal, sekolah tersebut mendapatkan alokasi anggaran yang tidak sedikit.
Sementara Prabowo mengatakan, bahwa pemerintah pusat telah menerapkan anggaran untuk perbaikan sekolah dengan nilai yang cukup tinggi yaitu mencapai Rp17 triliun. Namun, anggaran tersebut hanya dapat merenovasi 11.000 sekolah pada 2025 dari total 330.000 sekolah setanah air. Prabowo memperkirakan renovasi seluruh sekolah di tanah air membutuhkan waktu hingga 30 tahun dengan anggaran tersebut dan berjanji untuk melakukan efisiensi anggaran serta mengalokasikan dana lebih untuk perbaikan sekolah. (Tirto.id, 2-5-2025)
Di media lain, 400 lebih pelajar SDN 4 Padurenan, Mustika Jaya, Kota Bekasi, terpaksa menjalani kegiatan belajar mengajar di perpustakaan dan musala karena ruang kelas yang rusak. Kepala Sekolah SDN 4 Padurenan, Sri Sulastri, mengatakan, ada dua ruang kelas di sekolah dalam kondisi rusak parah sejak November-Desember 2024 lalu. Satu ruang kelas lainnya mengalami kerusakan sejak dua pekan terakhir. Menurut informasi, SDN 4 Padurenan menjadi salah satu sekolah yang menerima manfaat dari Program dan Revitalisasi Sekolah dan Digitalisasi Pembelajaran yang resmi dimulai oleh pemerintah pada momen perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025. Meski demikian, Sri mengaku masih belum mengetahui kapan tepatnya proyek revitalisasi itu akan segera dimulai. (Tirto.id,2-5-2025)
Kebijakan Populis, Solusi?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), populis diartikan sebagai "paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Tak heran, pemimpin di negeri ini banyak menggunakan kebijakan populis karena dianggap laku dan membuat rakyat merasa diperhatikan. Seperti yang dilakukan oleh Presiden Prabowo saat memperingati Hari Pendidikan Nasional di Bogor kemarin, banyak program yang akan diluncurkan di dunia pendidikan. Di antaranya pembangunan atau renovasi sekolah dan bantuan untuk guru.
Namun, selama ini realisasi program tersebut menemukan banyak masalah baik dari sisi sarana prasarana maupun dana. Misalnya, SDN 4 Padurenan di Bekasi yang masuk dalam daftar sekolah yang menerima manfaat Program dan Reviatalisasi Sekolah dan Digitalisasi Pembelajaran belum tahu pasti kapan proyek tersebut bisa segera dimulai. Bahkan, Prabowo mengatakan butuh dana yang tidak sedikit untuk membantu renovasi gedung sekolah yang jumlahnya 330.000 setanah air. Diketahui, anggaran pendidikan pada APBN 2025 mengalami peningkatan dibandingkan dengan APBN 2024, di mana anggaran pendidikan pada tahun 2024 adalah Rp665 triliun sementara anggaran pendidikan dalam APBN 2025 mencapai Rp724,3 triliun, yang merupakan 20% dari total belanja negara. Adapun rinciannya yaitu Belanja Pemerintah Pusat (BPP) Rp 297,2 triliun, Transfer Ke Daerah (TKD) Rp 347,1 triliun, pembiayaan Rp 80 triliun, dan anggaran pendidikan untuk perbaikan sekolah dalam APBN 2025 adalah Rp 17,1 triliun yang dikelola oleh Kemendikdasmen.
Sayangnya, Prabowo mengatakan bahwa ada kebocoran dana (korupsi) yang berdampak pada buruknya bangunan sekolah tak kunjung direnovasi serta gaji guru honorer yang dianggap belum layak. Semua kendala dana, karena dana 17 T pun masih kurang jika ingin merenovasi seluruh sekolah yang rusak setanah air. Dalam sistem kapitalisme, dunia pendidikan tak lepas dari jerat dan jebakan korupsi. Kasus korupsi di sektor pendidikan mencakup berbagai bentuk, mulai dari penyelewengan dana BOS, pungli, gratifikasi, dan manipulasi data.
Bahkan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah melakukan Survei Penilaian Integritas (SPI) pendidikan untuk memetakan kondisi integritas di sektor pendidikan dan mengukur efektifitas upaya antikorupsi. Survei ini melibatkan 449.865 responden dari 36.888 satuan pendidikan dan menghasilkan skor integritas sektor pendidikan sebesar 69,50, yang berada dalam kategori korektif. Beginilah kondisi pendidikan dalam sistem kapitalisme, negara ingin terlihat memperhatikan kepentingan rakyat namun, mengatakan kekurangan dan kesulitan dana sehingga mengandalkan pajak dan utang luar negeri untuk bisa membiayai program yang diluncurkan.
Selain itu, pendidikan terkadang tak lepas dari kapitalisasi sehingga negara berlepas tangan hanya menjadi regulator yang membuat pendidikan banyak dikelola swasta. Padahal, pendidikan merupakan hak warga negara yang harus disediakan oleh pemerintah secara gratis, mudah diakses, dan berkualitas. Nyatanya, untuk mendapatkan pendidikan mudah, layak, gratis, dan berkualitas dalam sistem kapitalisme sangat sulit karena kapitalisme itu sendiri yang menyebabkan permasalahan di negeri ini termasuk pendidikan. Maka, kebijakan populis yang selama ini diperlihatkan dan ditawarkan pemerintah pada rakyat belum menjadi solusi tuntas permasalahan pendidikan.
Islam Solusi Alternatif
Saatnya umat sadar untuk mencari alternatif solusi terbaik yang mengatur sistem hidup selain kapitalisme, yaitu Islam. Islam memandang pendidikan adalah bidang strategis yang akan berpengaruh terhadap kejayaan bangsa dan negara. Oleh karenanya, Islam mewajibkan negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pendidikan dengan gratis dan kualitas terbaik. Maka dalam Islam pendidikan mudah diakses dengan gratis, layak, dan berkualitas. Seorang pemimpin atau imam dalam Islam sebagai pelayan yang bertanggung jawab atas rakyatnya. Sebagaimana hadis Baginda Nabi saw., "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.’” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
Dalam hadis lain, "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya" (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sistem pendidikan dalam Islam berjalan ditopang oleh sistem ekonomi Islam yang mampu menyediakan sarana dan prasarana pendidikan termasuk memberikan penghargaan besar terhadap para guru. Pemasukan dan pengeluaran dalam sistem Islam diatur dengan rapi dalam kas negara yang diberi nama baitulmal. Pemasukan negara berasal dari zakat, harta milik negara dan umum, fa'i, kharaj, jizyah. Tidak ada utang ke luar negeri apalagi musuh Islam (kafir harbi), karena berutang pada kafir harbi merupakan bunuh diri politik dan membuat negara bergantung pada Barat sehingga tidak bisa mandiri dan membuat hidup dalam penjajahan.
Pajak pun diambil jika kondisi paceklik yang teramat sulit, yang dikenai pajak hanya laki-laki dan dermawan. Harta milik umum seperti SDA (emas, perak, timah, nikel, batu bara, dll) dikelola oleh negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tidak seperti saat ini negara menggunakan sistem kapitalisme, SDA banyak dikuasai asing sehingga rakyat hanya bisa gigit jari. Kemiskinan kian meningkat, kesenjangan semakin tinggi, si kaya makin kaya, si miskin makin miskin. Pasal 33 dalam UUD '45 pun hanya retorika semata, karena faktanya rakyat tidak mendapatkan kesejahteraan dari SDA yang ada di negeri ini.
Jejak Sejarah Penerapan Islam
Tak heran, ketika Islam menguasai dunia dalam bingkai Khilafah gaji guru begitu besar. Dalam kitab An-Nafaqat wa Idaratuha fid Daulatil Abbasiyyah, Dr Rudhaifullah Yahya Az-Zahrani memberikan perincian yang menarik terkait besaran gaji para pengajar di masa itu. Beberapa ulama yang mengajar para putra khalifah adalah Imam Al-Kisa’i yang mengajar putra Harun Al-Rasyid. Sebagai upah awal, sang khalifah memberinya 10.000 dirham, seorang budak perempuan yang cantik serta kebutuhannya, beberapa pelayan, dan seekor kuda pembawa barang beserta peralatannya. Bayaran yang melimpah juga diberikan kepada Ibnu As-Sikkit yang mengajar putra-putra khalifah Al-Mutawakkil. Beliau diberi upah mencapai 50.000 dinar di luar gaji rutin sepanjang hidup, tempat tinggal, makanan, dan hadiah-hadiah lainnya. (Az-Zahrani, 177-178).
Sebagai pengajar elite, mungkin saja upah sedemikian dirasa wajar, tetapi melimpahnya gaji juga diberikan kepada guru di luar istana. Pada masa Harun Al-Rasyid, upah tahunan rata-rata untuk penghapal Al-Qur’an, penuntut ilmu, dan pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sementara periwayat hadits dan ahli fikih mendapatkan dua kali lipatnya, yaitu 4.000 dinar. Semakin tinggi otoritas keilmuan yang dimiliki, semakin tinggi pula upah yang diberikan. Imam Al-Waqidi, ulama ahli Al-Qur’an dan hadits paling populer di masanya, bahkan mendapatkan upah tahunan mencapai 40.000 dinar. (Az-Zahrani, 202). (nuonline.com, 28-02-2024)
Apabila dikonversi ke dalam rupiah saat ini, nilainya sangat fantastis. Misalnya 40.000 Dinar. Satu Dinar yaitu 4,25 gram emas. Apabila nilai 1 gram emas saat ini Rp1.900.000 maka 1 Dinar: 4,25xRp1.900.000= Rp8.075.000. Nilai 40.000 Dinar yaitu Rp323.000.000.000. Luar biasa, dalam Islam guru sangat diperhatikan sehingga haknya terpenuhi dan sejahtera. Masih percaya kebijakan populis sebagai solusi atau Islam yang sudah terbukti dalam sejarah? Allahua'lam Bishawab.
Posting Komentar untuk "Kebijakan Populis, Bukan Solusi Tuntas Problem Pendidikan"