Antara Sambutan Baik Barat dan Penolakan Inggris: Dampak Penunjukan Perdana Menteri Baru di Sudan
Situs web Sudan Tribune pada 19 Mei 2025 memberitakan bahwa Ketua Dewan Kedaulatan Sudan, Abdel Fattah al-Burhan, telah memutuskan untuk menunjuk Kamil El-Tayyib Idris sebagai Perdana Menteri. Idris menjadi orang pertama yang menjabat posisi tersebut sejak pengunduran diri Abdullah Hamdok pada Januari 2022, setelah kegagalan rekonsiliasi politik yang terjadi pasca kudeta terhadap pemerintahan sipil yang dilakukan Burhan pada 25 Oktober 2021.
Kamil Idris pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) dari November 1997 hingga September 2008. Ia juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Federasi Perlindungan Karya Internasional dan mencalonkan diri melawan Presiden terguling Omar Al-Bashir pada pemilu 2010. Penunjukannya sebagai Perdana Menteri dilakukan setelah Duta Besar Sudan untuk Arab Saudi, Dafallah El-Hac, menyampaikan permintaan maaf, dan Burhan membatalkan pengawasan para anggota Dewan Kedaulatan atas kementerian dan lembaga pemerintahan.
Pemerintah Sudan pada 19 Februari 2025 telah mengamandemen konstitusi, memberikan wewenang kepada Dewan Kedaulatan untuk menunjuk perdana menteri berdasarkan rekomendasi otoritas legislatif sementara (Dewan Kedaulatan dan Dewan Menteri), serta memperpanjang masa transisi selama 39 bulan sejak 23 Februari 2025.
Penunjukan Kamil Idris menimbulkan reaksi beragam. Beberapa kekuatan politik menyatakan keraguan terhadap legitimasi langkah tersebut. Salah satunya, pemimpin gerakan nasionalis Nureddin Salahuddin menyebut bahwa pemerintahan apa pun yang dibentuk dalam kondisi saat ini tidak akan diterima baik secara internal maupun eksternal. Sebaliknya, Gerakan Keadilan dan Kesetaraan yang dipimpin Jibril Ibrahim menyambut positif keputusan tersebut dan menyebutnya sebagai akhir dari kekosongan eksekutif yang berlangsung lebih dari tiga setengah tahun dan telah menyebabkan rusaknya layanan publik.
Penunjukan pemerintah sipil merupakan salah satu tuntutan kekuatan Barat dan digunakan sebagai alat dalam politik Inggris. Oleh karena itu, Burhan bergegas menunjuk Kamil Idris, yang merupakan salah satu agen Barat, untuk menghalangi upaya Inggris dalam mengembalikan tokoh favorit mereka, Hamdok. Kalangan pro-Amerika juga langsung mendukung langkah ini.
Pada 21 Mei 2025, situs web Al-Ghad Al-Sudani melaporkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang sebelumnya menyambut positif peta jalan Sudan, juga mendukung penunjukan ini. Juru bicara Sekjen PBB, Stephane Dujarric, menyampaikan harapan agar langkah ini menjadi awal dari konsultasi luas untuk membentuk pemerintahan teknokrat yang inklusif, memprioritaskan rekonsiliasi nasional, melayani rakyat Sudan, menghentikan konflik bersenjata, menyediakan layanan dasar, dan mewujudkan perdamaian.
Ketua Komisi Uni Afrika, Mahmud Ali Yusuf, turut menyambut baik penunjukan Idris dan menyebutnya sebagai langkah menuju pemerintahan yang inklusif serta berharap ini dapat berkontribusi pada pemulihan tatanan konstitusional dan pemerintahan demokratis. Ia mengajak seluruh pihak Sudan untuk mengintensifkan upaya dalam mencapai transisi damai dengan kepemimpinan sipil yang inklusif serta menegaskan kesiapan Komisi untuk mendukung Sudan bersama mitra internasional dan regional.
Liga Arab pun menyambut positif penunjukan ini dan menyebutnya sebagai langkah penting dalam menghidupkan kembali lembaga-lembaga sipil nasional. Sumber resmi dari sekretariat jenderal Liga Arab menyatakan bahwa organisasi ini akan mengintensifkan upaya untuk mendukung persatuan dan stabilitas Sudan, memperkuat intervensi internasional untuk pembangunan dan kebutuhan kemanusiaan, serta memulai kembali proses transisi sipil yang dipimpin oleh rakyat Sudan sendiri dengan partisipasi semua elemen masyarakat sipil.
Namun, Inggris tidak tinggal diam terhadap sambutan internasional ini. Pada 22 Mei 2025, situs web Tasamuh News melaporkan bahwa anggota parlemen Inggris, Jeremy Purvis of Tweed, menyebut penunjukan Idris sebagai upaya memberikan legitimasi palsu kepada salah satu pihak dalam konflik. Dalam sesi khusus House of Lords mengenai Sudan, ia menyatakan bahwa perdana menteri yang ditunjuk adalah “boneka” dari salah satu pihak dalam perang dan mengungkapkan kekhawatirannya atas sambutan positif Uni Afrika serta kemungkinan PBB mengikuti langkah serupa, yang menurutnya akan memperkuat kekuasaan sepihak tanpa proses sah yang mencerminkan kehendak rakyat.
Purvis menambahkan bahwa inisiatif yang dipaksakan oleh militer atau milisi dalam bentuk kepemimpinan sipil palsu tanpa partisipasi rakyat hanya akan memperumit krisis. Ia menyerukan kepemimpinan sipil yang mewakili seluruh spektrum masyarakat untuk mendukung proses perdamaian.
Menunjuk seorang perdana menteri di bawah naungan sistem kapitalis global saat ini tidak akan menghadirkan solusi nyata, bahkan akan semakin memperdalam krisis. Sistem kapitalis yang diadopsi oleh para penguasa agen di negeri-negeri Muslim ini telah menjadikan penguasa kafir sebagai pemegang keputusan, dan akibatnya rakyat hidup dalam kemiskinan, penindasan, dan kekacauan.
Solusi sejati terletak pada kembalinya umat Islam kepada sistem Islam agung yang telah memerintah dunia selama lebih dari tiga belas abad, yaitu sistem Khilafah. Sistem ini pernah menjadi negara adidaya dunia selama lebih dari sepuluh abad dan mewujudkan keamanan, keadilan, dan kehormatan bagi umat manusia. Ini karena Khilafah bersumber dari wahyu Allah dan berasal dari Dzat Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
Posting Komentar untuk "Antara Sambutan Baik Barat dan Penolakan Inggris: Dampak Penunjukan Perdana Menteri Baru di Sudan"