Will Durrent (1885-1981), sejahrawan terkemuka dari barat mengatakan:
“Agama (Ideologi) Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di
negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga
Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol.
Islam pun telah memiliki cita-cita mereka, menguasai akhlaknya,
membentuk kehidupannya, dan membangkitkan harapan di tengah-tengah
mereka, yang meringankan urusan kehidupan maupun kesusahan mereka. Islam
telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka sehingga jumlah
orang yang memeluknya dan berpegang teguh padanya pada saat ini [1926]
sekitar 350 juta jiwa. (Will Durant, The Story of Civilization; vXIII).
Sebelumnya terlantun ucap terima kasih pada saudara Rusdianto atas
tanggapan artikel saya berjudul “Muktamar Khilafah untuk Indonesia lebih
baik” (detik.com 06/05) melalui tulisan “Kode Moral dan Muktamar
Pancasila” (detik.com 20/05). Meski sejatinya hanya sedikit menanggapi
apa yang saya tulis. Kecuali hanya mempermasalahkan antara khilafah
dengan pancasila.
Menyoal dimensi harapan perubahan Paulo
Freire (1921-1997), tentu tak bisa disamakan dengan dimensi educacao
(edukasi) dari muktamar Khilafah. Meski Freire juga menganut metode
perubahan non violence. (Fr. Wahoni Niti Prawiro, Teologi Pembebasan).
Paulo seperti ditulis D. Collins dalam “Paulo Freire: Kehidupan, Karya,
dan Pemikirannya: dikenal memiliki pemikiran Katolik sekuler, mengakui
eksistensi Tuhan, tapi enggan melibatkan Tuhan dalam kehidupan publik.
Hal itu seperti tertuang dalam gagasan-gagasannya dikenal bersifat
antroposentris.
Perubahan pada konsepsi ideologi Islam tidaklah
antroposentris. Melainkan perubahan yang tidak memisahkan Tuhan dari
praksis kehidupan. Beberapa pilar dari negara khilafah ialah pertama:
kedaulatan berada ditangan syara’ (as-siyadah li as syar’i). Artinya
hukum Al-Qur.an dan As-Sunnah adalah sumber hukum tertinggi. Kedua:
kekuasaan ditangan umat (as sulthan li al ummah). Mengandung maksud,
umatlah yang berhak memilih pemimpin untuk menjalankan roda kekuasaan.
Ketiga: mengangkat satu khalifah saja untuk seluruh kaum muslim.
Keempat: Hanya khalifah yang berhak melegislasi UU syara’, dan UU yang
lain.
Pengambilan pendapat untuk pelegislasian UU pada sistem
Islam bisa diklasifikasikan sebagai berikut: Perkara-perkara yang
menyangkut hukum syara’ maka UU nya ditetapkan berdasar kekuatan dalil
syara’. Perkara yang menyangkut keahlian dan pengetahuan, ditetapkan
kepada orang ahli dibidang tersebut. Sedangkan masalah tehnis, bisa
dengan suara mayoritas (voting).
“Not khilafah, not is women”
meminjam istilah yang disinggung Rusdianto adalah sebagai salah satu
contoh perkara yang menyangkut hukum syara’, benarlah wanita tidak
diizinkan syara’ duduk sebagai khalifah. Tapi sebagaimana laki-laki,
ternyata oleh Allah Swt tidak diizinkan mengandung dan melahirkan calon
khalifah. Apakah kita pernah protes?
Cita-cita tegaknya
khilafah merupakan harapan yang dibangun dari keyakinan (confidence)
atas janji Tuhan (Allah). Jika ini disebut utopia atau bahasa halusnya
harapan tak berujung seperti diungkap Rusdianto, itu seperti yang biasa
diutarakan oleh orang-orang sekuler-liberal. Tapi anehnya jika ini
dianggap utopia kenapa harus repot menghadang laju perjuangan. Apalagi
kemudian ditabrakkan dengan pancasila.
Seperti apa pancasila?
pancasila adalah sebuah filosofi. Rumusannya tidak cukup manakala
disebut sebagai ideologi. Ketika zaman orla nuansa sosialisme begitu
mendominasi. Lalu pada massa orba teramat kental dengan ideologi
kapitalisme. Pasca reformasi jusru semakin liberal. Jadi kenapa ideologi
Islam ketika ingin tampil harus dibenturkan dengan pancasila.
Sebagaimana bisa dilihat dalam tulisan saya sebelumnya (baca: Islam dan
Pancasila, detik.com 31/05/11).
Jika mau jujur pada sejarah,
para komando penggerak revolusi, founding fathers negri ini secara resmi
melahirkan piagam Jakarta yang berlatar belakang ideologi Islam.
Sebelum ada manuver tidak sehat dari segelintir pihak. Karena mereka
yang brilliant itu sadar betul Islam adalah ideologi paling pas bagi
Indonesia. Bahkan bisa ditengok pada era sebelumnya, yakni pasca
runtuhnya khilafah Turki Ustmani tahun 1924, umat Islam Indonesia
merespon sigap untuk segera membentuk kembali institusi pemersatu umat
dan pelaksana syariah itu.
Kongres (seperti muktamar) Islam
Luar Biasa digelar pada tanggal 24-27 Desember 1924 di Surabaya. Kongres
ini dihadiri oleh para ulama dan 68 organisasi Islam yang mewakili
pimpinan pusat maupun cabang. Ada tiga keputusan yang dihasilkan dari
kongres ini. Pertama, wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan Khilafah.
Kedua, disepakati akan terus didirikan Comite-Chilafaat di seluruh
Hindia-Timur (Indonesia). Dan terakhir, diputuskan akan mengirimkan tiga
orang utusan sebagai wakil umat Islam di Indonesia ke Kongres di Kairo
dengan enam butir mandat yang telah disepakati. Ketiga utusan tersebut
adalah Surjopranoto dari Sarekat Islam, Haji Fachroddin dari
Muhammadiyah dan K. H. A. Wahab Hasbullah dari kalangan tradisi yang
kemudian menjadi salah seorang pendiri NU. (Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1901-1942).
Uji kelayakan
Pada
selanjutnya saudara Rusdianto menyebut ideologi negara yang diterapkan
saat ini mampu menjadi alat penjaga persatuan dan kesatuan. Jika benar
tentu Timor-Timur tak perlu lepas. Atau mesti tak ada gerakan-gerakan
pemberontak seperti PKI, separatis seperti GAM, RMS atau OPM.
Pun jika sekulerisme mampu menciptakan perdamaian kenapa penindasan
justru terjadi dimana-mana. Mengapa kebudayaan bisu merebak ketika
terjadi “genosida” di Myanmar, Palestina, Irak, dan seterusnya. Ketika
sekulerisme diklaim dapat menghapus perbudakan tapi kenapa para buruh
misalnya terus berteriak atas ketidakadilan.
Bagaimana dengan
khilafah? simak pengakuan jujur lagi dari Will Durrent juga dalam The
Story of civilization: “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada
manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha
keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang
bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama
berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi
fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras
mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu,
sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan
Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama
lima abad”.
Perlakuan negara khilafah terhadap non-muslim
ialah. Pertama: seluruh hukum Islam diterapkan kepada kaum muslim.
Kedua: Non muslim dibolehkan tetap memeluk agama mereka dan beribadah
berdasarkan keyakinannya. Ketiga: Memberlakukan non muslim dalam urusan
makan dan pakaian sesuai agama mereka dalam koridor peraturan umum.
Keempat: Urusan pernikahan dan perceraian antar non muslim diperlakukan
menurut aturan agama mereka. Kelima: Dalam bidang publik seperti
mu’amalah, uqubat (sanksi), sistem pemerintahan, perekonomian, dan
sebagainya, negara menerapkan syariat Islam kepada seluruh warga Negara
baik muslim maupun non muslim. Keenam: Setiap warga Negara yang memiliki
kewarganegaraan Islam adalah rakyat Negara, sehingga Negara wajib
memelihara mereka seluruhnya secara sama, tanpa membedakan muslim maupun
non muslim.(Taqiyyudin An-Nabhani, Daulah Islam)
Bias moral
Justru disini letak gagap moral sistem sekulerisme. Ketika tidak ada
standar baku atas nilai moral. Berbagai polemik muncul di permukaan.
Sebagai contoh bagaimana baru saja bergulir pro-konra kumpul kebo.
Standar moral sistem sekulerisme sangat tidaklah jelas. Tergantung
kebiasaan disuatu tempat diwaktu tertentu.
Boleh jadi saat
manusia melakukan sesuatu jika itu bertentangan dengan kebiasaan moral
di suatu tempat, maka bisa dianggap amoral. Namun belum tentu di tempat
lain dianggap amoral. Hal itu berbeda dengan sistem khilafah, sistem
Islam Islam menetapkan standar moral-amoral adalah sesuai dengan
ketentuan hukum syara’.
Allah Swt. Berfirman: “Dan Kami telah
turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu
ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah: 48).
Sudara
Rusdianto mengambil potongan ayat diatas dan menafsirkan nyaris sama
seperti tafsiran jahil aktivis JIL (Jaringan Islam Liberal), sebagaimana
pernah ditulis Ahmad Syams “Syariat, Untuk Apa?”.
Padahal
sebagaimana penjelasan Ibnu katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, Allah
menyuruh Rasulullah saw supaya memutuskan perkara diantara umat manusia
dengan hukum yang terdapat dalam kitab Al-Qur’an. Ayat ini juga
menceritakan bahwa tiap-tiap umat, yakni umat-umat sebelum zaman
Muhammad Saw diberi aturan yang berbeda-beda melalui para Rasul
utusan-Nya. Ibnu Katsir juga mengatakan, kepunyaan Allahlah hikmah yang
baik dan mendalam. Syariat yang dibawa Rasul yang agung ini (Muhammad
Saw), merupakan syariat penutup yang kemudian dijadikan Allah sebagai
syariat yang menghapus seluruh syariat sebelumnya, dan Dia jadikan
syariat Nabi Saw berlaku bagi seluruh penghuni bumi, baik jin maupun
manusia.
Berlindung dibalik pancasila atas kesekuleran pikir
tentu dapat mengelabui beberapa pihak saja. Pemberantasan “buta huruf”
kalam Ilahi tetap harus diupayakan. Khilafah Practica de liberdade
(pelaksana pembebas) Indonesia dan seluruh umat. Membebaskan penghambaan
kepada selain-nya. Membebaskan segala bentuk penjajahan. Bagaimana
mungkin mengakui Al-Qur’an menjadikan negara sebagai alat untuk mencapai
kemenangan banyak manusia di muka bumi tapi menolak dari totalitas
penerapan Al-Qur’an? sungguh eksentrik. Wallahu a’lam. [Ali Mustofa Akbar]
Berbagi :
Posting Komentar
untuk " Khilafah Bukan Sistem Antroposentris, Practica De Liberdade"
Posting Komentar untuk " Khilafah Bukan Sistem Antroposentris, Practica De Liberdade"