Kesalahan-Kesalahan Ilmu Kalam


Motif
Harus diakui, ilmu kalam memang telah menjadi kontradiksi di kalangan para ulama, mengingat begitu besarnya pengaruh ilmu kalam dalam perjalanan sejarah kaum muslimin. Bahkan, karena saking kontroversialnya ilmu kalam ini, terjadi perbedaan pandangan tentang hukum mempelajarinya. Ada yang mengharamkan, ada yang memperbolehkannya, dan ada pula yang memperbolehkan untuk mempelajarinya, tetapi dengan syarat.
Terlepas dari semua itu, menurut saya tidak ada salahnya kita mempelajari ilmu kalam, tetapi untuk mengetahui kesalahan-kesalahannya, bukan untuk mengamalkannya. Mengapa (harus) dari sisi kesalahan-kesalahannya? Sebab, ilmu kalam memang salah. Salah, dari sisi objek pembahasannya dan metodologinya. Sehingga untuk menjadi salah satu bidang keilmuan dalam Islam, ilmu kalam harus diposisikan secara khusus, agar orang tidak terjebak dalam kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat para mutakallimin (ahli ilmu kalam).

Namun, kajian tentang ilmu kalam, untuk beberapa orang (termasuk saya) tidaklah mudah. Sebab, bahasanya sulit dimengerti dan pembahasannya terkesan berat. Sehingga, orang menjadi malas untuk mempelajarinya. Padahal, jika tidak dipelajari, niscaya kita tidak akan mengetahui kesalahan-kesalahan ilmu kalam itu seperti apa. Jika kita tidak mengetahui kesalahan-kesalahannya, maka kita akan berpotensi untuk jatuh ke dalamnya (pembahasan ilmu kalam).
Bahkan ada sebagian kaum muslim (karena pemahamannya setengah-setengah), justru memfitnah para mutakallimin dan pihak lain yang mempelajari ilmu kalam (bukan untuk diamalkan, tetapi untuk diketahui kesalahan-kesalahannya). Ini tentu sikap yang tidak adil. Padahal, tidak adil dalam pandangan Islam adalah suatu kezaliman.

Inilah yang menjadi motivasi saya dalam membuat catatan ini. Saya buat dengan bahasa yang lugas, agar mudah dimengerti dan Anda bisa mengetahui duduk persoalannya seperti apa, agar kita tidak terjebak dalam fitnah. Dengan adanya bahasa yang mudah dimengerti, insya Allah, Anda akan mendapatkan gambaran riil tentang ilmu kalam. Atau dengan kata lain, saya meringkas kembali materi ilmu kalam ini dari beberapa literatur, hanya saja tuangkan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami.

Bagi Anda yang kuliah di STAIN atau IAIN, kemungkinan akan mendapatkan materi tentang ini. Tetapi jika tidak tertarik, mungkin akan terkantuk-kantuk saat mengikuti perkuliahannya. Sebab, materinya yang memang sulit dan berat. Catatan ini saya buat ringkas, agar Anda tidak jemu dalam membacanya. Sebab, jika kita ingin membahas tentang ilmu kalam (walau hanya untuk mengetahui kesalahan-kesalahannya), tentu akan membutuhkan kajian yang sangat panjang. Tidak bisa selesai dalam satu atau dua catatan. Mohon maaf jika ada kesalahan.

Kaum Muslim Bersinggungan Dengan Pemikiran Selain Islam
Setelah Rasulullah saw. wafat, kekuasaan Islam semakin meluas. Kekuasaan Islam itu meliputi banyak wilayah di luar jazirah Arab. Ada wilayah Syam, Mesir, Irak, dan lain-lain. Pada umumnya, wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan kaum muslimin itu adalah wilayah-wilayah yang pernah berkembang suatu peradaban yang maju, dan umumnya bekas jajahan Imperium Persia dan Romawi, yang memiliki peradaban (hadharah) yang khas.

Wilayah jazirah Arab berhasil dibebaskan Rasulullah saw. pada tahun 610-632 M. Kemudian sepeninggal beliau, wilayah Al Hirah (Irak) dibebaskan oleh penerus beliau, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq. Lalu pembebasan berikutnya dilakukan oleh Umar bin Khathab dengan membebaskan wilayah-wilayah seperti Barah dan Ba’albak (Irak), Damaskus (termasuk Harran, Qinassrin, Nasibis, dan Edessa) seta Hims/Homs (Syam). Termasuk juga wilayah Babilonia, Madain Barat, Halwan, Baysan (Yordania), Thabariyyah, Halab (Aleppo), Antakiyyah (Antiokia/Antioch), Armenia, Baitul Maqdis, Sabastiyah, Nablus, Awamis, Baitul Jibrin, Marajul Uyun, dan Alexandria (Iskandariyah). Kemudian pada masa Kekhalifahan Umayyah, dua kawasan di Asia seperti Punjab dan Sind (kawasan Asia Selatan), berhasil dibebaskan pula.

Kalau kita melihat berbagai wilayah di atas, sesungguhnya, wilayah-wilayah tersebut adalah wilayah-wilayah yang pernah menjadi jajahan bangsa Romawi dan Persia. Penjajahan tersebut, tentu tidak sekadar menjajah, tetapi juga meninggalkan suatu peradaban tertentu (khas) yang membekas dalam diri rakyat tanah taklukan. Umat-umat non-Islam yang telah dibebaskan kaum muslim, ada yang masuk Islam, ada yang masih memeluk agama mereka yang lama, dan ada juga yang masuk Islam tetapi hanya untuk berpura-pura.

Mesir merupakan wilayah yang banyak bersentuhan dengan filsafat Yunani, khususnya wilayah Iskandariyah (Alexandria). Wilayah ini tergolong paling maju dalam bidang filsafat jika dibandingkan dengan wilayah lain. Bahkan menurut Syaikh Abu Zahrah, di daerah ini telah terdapat sekolah filsafat. Salah seorang filosof yang sangat terwarnai pemikiran Plato dari wilayah Iskandariyah adalah Claudius Galenius. Beberapa buku filsafat Yunani yang sudah banyak diterjemahkan dalam bahasa Arab dan Syiria untuk dipelajari orang Mesir antara lain karya Plato seperti Sophist, Parmanides, Cyratylus, Euthydemus, Timaeus, Statesman, Republic, dan Laws.

Tidak hanya Mesir. Suriah dan Irak juga merupakan wilayah yang kental dengan filsafat Yunani. Kota-kota seperti Antakiyyah, Harran, Edessa, Qinasrin, Nasibin, dan Rasa’ina, adalah contoh wilayah yang sangat terpengaruh filsafat Yunani. Edessa, Nassibin, Madain, dan Gundisapur adalah kota filsafat yang dikembangkan oleh kalangan Kristen Nestorian. Kristen Nestorian adalah sekte agama Kristen yang dipimpin oleh Nestor. Sekte ini berpendapat bahwa Maryam tidak melahirkan Tuhan, tetapi melahirkan manusia, hanya saja kehendaknya sama dengan kehendak Tuhan, sedangkan zatnya berbeda antara manusia dengan Tuhan.

Kota Antakiyyah dan Amid adalah pusat kajian filsafat yang dikembangkan oleh kaum Kristen Jacobit. Kaum Kristen Jacobit meyakini ‘kebenaran’ Trinitas. Di Antakiyyah telah berdiri sekolah filsafat pada tahun 280 M. Pemimpin Iskandariyah, pernah masuk Islam pada masa Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Tetapi setelah itu, dia kemudian memindahkan pusat studi filsafat dari Iskandariyah ke Antakiyyah. Pelajaran yang diajarkan di pusat studi itu adalah filsafat Aristoteles dan Plato. Sedangkan kota Harran adalah kota tempat berkumpulnya kaum Sabi’ah yang sangat terpengaruh filsafat Yunani.

Penyesatan Terhadap Kaum Muslimin
Kemunculan mutakallimin (ahli kalam), pada awalnya, tidak lain karena mereka ingin menjawab lawan-lawan diskusi mereka berkaitan dengan pemikiran Islam. Mereka ingin mengkonter segala sesuatu yang mereka anggap dapat merusak akidah Islam. Pemikiran merusak yang dimaksud tidak lain adalah filsafat-filsafat Yunani yang mencoba merongrong pemikiran Islam. Para filosof itu menyebarkan berbagai keraguan dan kerancuan kepada umat Islam. Di saat itulah mutakallimin muncul, dengan niat awal ingin mengkonter para filosof Yunani.

Di antara keraguan yang coba dimunculkan adalah pertanyaan-pertanyaan seputar asma’ wa sifat, perbuatan manusia, takdir, rezeki, kematian, serta hidayah dan dhalalah (kesesatan).

Misalnya, mereka (orang-orang kafir itu) bertanya kepada kaum muslim tentang asma’ dan sifat Allah. Contohnya begini: Bukankah Allah Maha Melihat? Jika iya, bagaimana cara Allah melihat? Kemudian ditanya lagi: Bukankah Allah Maha Mendengar? Jika iya, bagaimana cara Allah mendengar? Apakah Allah melihat dengan menggunakan mata sebagaimana mata manusia? Dan apakah Allah mendengar dengan menggunakan telinga sebagaimana telinga manusia? Ataukah Allah melihat dan mendengar tetapi tidak sama dengan cara manusia melihat dan mendengar?

Jika hal tersebut ditanyakan kepada Anda, kira-kira Anda akan menjawab apa?

Jika Anda menjawab: Tidak. Berarti Anda telah menentukan bahwa Allah melihat dan mendengar, tetapi tidak sama seperti melihat dan mendengarnya manusia. Pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana Anda tahu bahwa Allah melihat dan mendengar, tidak sama seperti melihat dan mendengarnya manusia?
Apakah Anda akan mengatakan: pokoknya ya begitu itu. Begitu? Ataukah Anda akan mengatakan: Ada dalilnya dalam Alquran! Lho, bukankah yang bertanya (orang kafir) tidak memiliki keimanan terhadap Alquran?

Jadi serba salah kan? Dijawab tidak, salah. Dijawab ya, juga salah. Tidak dijawab, juga salah. Terus bagaimana dong?

Mereka juga bertanya tentang perbuatan manusia; yaitu apakah manusia yang menciptakan sendiri perbuatannya ataukah perbuatan manusia itu atas kendali Allah? Misalnya, saya berbuat begini dan begitu, apakah itu sudah takdir saya (ditakdirkan Allah) ataukah itu karena perbuatan saya sendiri?

Mereka (para orang-orang sesat itu) pun bertanya kepada umat Islam tentang konsep rezeki: apakah rezeki itu yang mendatangkan Allah ataukah itu hasil dari jerih payah manusia sendiri dan tidak ada campur tangan Allah?

Mereka bertanya kepada kaum muslimin tentang ajal: Apakah ajal itu karena Allah atau karena disebabkan faktor yang lain? Seperti tertusuk pedang, kecelakaan, dan lain sebagainya.

Bahkan mereka juga bertanya kepada kaum muslimin: Siapakah yang berhak memberikan hidayah dan kesesatan? Apakah Allah atau manusia itu sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya dicoba dijawab sebagai bentuk counter atas pemikiran filsafat yang telah menyusup dalam benak kaum muslimin. Kemudian mulailah muncul bantahan-bantahan dari kaum muslim. Kaum muslim pun larut dalam kajian filsafat sesat Yunani. Niat baik mereka terwarnai oleh aroma kesesatan filsafat Barat. Kemudian penyesatan itu mulai berkembang menjadi kesesatan-kesesatan, yang kemudian memunculkan pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini.

Misalnya tentang perbuatan manusia, apakah diciptakan Allah atau manusia itu sendiri? Jika Allah yang menciptakan perbuatan manusia, berarti Allah juga melakukan perbuatan-perbuatan buruk seperti terjadinya penindasan, kezaliman, terjadinya kelaparan, korupsi, pemerkosaan, pencurian, terjadinya ketimpangan sosial, terjadinya pembunuhan, perzinaan, perampokan, dan penistaan. Jika benar bahwa Allah yang menciptakan perbuatan manusia, berarti Allah telah berbuat jahat juga. Apakah demikian?

Bagaimana menurut Anda? Sampai di sini, silahkan direnungkan terlebih dahulu.

Ada juga yang menyatakan bahwa rezeki itu berasal dari manusia sendiri. Manusialah yang menentukan rezekinya. Manusia bekerja, maka manusia akan mendapat upah. Dengan demikian, manusialah yang menentukan rezekinya. Sebab, tanpa bekerja, manusia tidak akan dapat apa-apa. Tanpa adanya usaha, manusia tidak akan mendapat apa-apa. Apakah demikian? Bagaimana menurut Anda?

Ada yang lain. Misalnya tentang ajal. Bahwa manusia itu mati, karena sebab-sebab yang menyertainya, misalnya mati tertimpa sesuatu, mati karena jatuh dari tempat yang tinggi, atau yang lainnya. Intinya, kejadian yang menyertai kematian seseorang, itulah sebab-sebab kematiannya. Benarkah demikian?
Bagaimana menurut Anda? Silahkan kembali direnungkan pertanyaan di atas.

Juga pertanyaan-pertanyaan lain seperti petunjuk dan kesesatan. Apakah petunjuk itu dianugerahkan oleh Allah atau petunjuk itu hasil dari perbuatan manusia, atau karena yang lainnya? Demikian pula kesesatan. Apakah ia diberikan oleh Allah, ataukah karena faktor manusianya?

Pertanyaan-pertanyaan seputar ini semua, telah membingungkan kaum muslim. Masing-masing kelompok (Muktazilah, Jabbariyah, dan Ahlussunnah Asy’ariyah), telah terlibat dalam pembahasan dan perdebatan melelahkan yang tidak bertepi.

Respon Kaum Muslimin
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitabnya Syakhshiyyah Al Islamiyyah jilid I menjelaskan, ada dua alasan yang membuat kenapa kaum muslim lebih memilih untuk mempelajari filsafat daripada memusatkan perhatian mereka pada pengembangan dakwah Islam.

Pertama, selain mengajak pada ketauhidan, Alquran juga memaparkan tentang aliran-aliran dan agama-agama yang telah tersebar pada masa Nabi Muhammad saw. Tidak hanya itu. Alquran tidak hanya memaparkan, tetapi juga menjelaskan kesalahan-kesalahan agama-agama selain Islam. Alquran membantahnya.

Di antara kaum musyrik ada yang menjadikan bintang-bintang sebagai tuhan dan menjadikannya sekutu bagi Allah. Alquran pun membantahnya. Di antara mereka ada pula yang menyembah patung-patung dan mereka menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah. Alquran pun membantahnya. Sebagian mereka ada yang mengingkari kenabian. Alquran pun membantahnya.

Di antara mereka ada yang mengingkari kenabian Muhammad. Alquran pun membantahnya. Sebagian mereka ada yang mengingkari hari kebangkitan. Alquran pun membantahnya. Sebagian mereka ada yang menjadikan Nabi Isa as. sebagai tuhan atau menjadikannya sebagai anak Allah. Alquran pun membantahnya.

Tidak cukup dengan itu Rasulullah saw memerintahkan untuk berdebat dengan mereka.

Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)

Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 46)

Hal ini pula yang membuat kaum muslim berupaya untuk mengkonter balik pemikiran filsafat sesat Yunani. Karena itu merupakan hal yang wajar jika mereka berdiskusi dengan para pemeluk agama lain dan mengajak mereka terlibat dalam pergolakan pemikiran. Artinya, ketika ada pihak-pihak yang ingin menikam pemikiran Islam, tentu akan ada pihak-pihak yang mengkonternya. Siapa? Yaitu umat Islam itu sendiri.

Kedua, masuknya filsafat teologi Nasrani Nasathirah (Nestorian) dan yang sejenisnya ke dalam pemikiran umat Islam, termasuk juga logika (mantiq) Aristoteles. Hal ini memotivasi kaum mutakallimin untuk mengkonter pendapat-pendapat mereka. Walaupun ‘niat baik’ ini mereka lakukan, namun pada akhirnya mereka sendiri justru tenggelam dalam berbagai kesalahan yang sangat fatal.

Akhirnya kaum muslim pun benar-benar mempelajari filsafat. Mereka pun tenggelam dalam ‘keasyikan’ mempelajari filsafat Yunani itu. Tetapi kaum mutakallimin (para ahli kalam), ketika mempelajari filsafat, bukan semata-mata karena ingin mempelajarinya, atau karena kenikmatan intelektual atau kelezatan ilmu. Tidak. Tetapi, mereka mempelajari filsafat karena adanya dorongan untuk membantah tuduhan-tuduhan pemikiran filsafat. Sebab, tidak mungkin membantah orang-orang Nasrani dan Yahudi yang terpengaruh filsafat Yunani, kecuali dengan mempelajari filsafat Yunaninya. Khususnya yang berhubungan dengan mantiq (logika).

Ini bukanlah pembelaan terhadap para ahli kalam. Tidak. Ini saya hanya menunjukkan fakta saja bahwa untuk membantah orang-orang Nasrani dan Yahudi yang terpengaruh filsafat Yunani, tanpa mempelajari filsafat, tentu akan sulit, kalau tidak dikatakan tidak bisa. Itulah yang mendorong mereka untuk mempelajari pemikiran-pemikiran asing serta berbagai argumentasinya.

Tetapi celakanya, pemikiran-pemikiran filsafat yang dipelajari kaum muslim, ternyata sangat mempengaruhi diri mereka dalam beristidlal (berdalil) dan mempengaruhi sebagian pemikiran-pemikiran mereka. Peristiwa ini benar-benar telah menimbulkan polemik yang berkepanjangan di dalam tubuh umat.

Apa Itu Ilmu Kalam ?
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu kalam adalah pengetahuan yang berisi berbagai argumentasi mengenai akidah keimanan berdasarkan dalil-dalil rasional, serta kritik terhadap ahli bid’ah yang melakukan penyimpangan teologis dari mazhab salaf dan ahlus sunnah.

Maksud dari ‘pengetahuan yang berisi berbagai argumentasi mengenai akidah’ meliputi semua bentuk pengetahuan, baik yang diperoleh dengan cara ma’qulah (penalaran) seperti mantiq (logika); apakah dengan teknik analogi atau tamtsil (permisalan), atau dengan penginderaan (mahsusah).

Kemudian yang dimaksud dengan ‘argumentasi mengenai akidah’ memiliki arti bahwa argumentasi yang digunakan dalam masalah tersebut tidak harus berupa argumentasi teologis yang qath’i (pasti, mutlak), tetapi kadangkala berbentuk zhanni (dugaan) dan qath’i. Selain itu, definisi ini juga mengkhususkan pembahasan ilmu kalam hanyalah dalam lingkup akidah, bukan syariah.

Kemudian batasan ‘dalil-dalil rasional’ menunjukkan kepada kita bahwa akal-lah yang menjadi standar untuk menentukan (menghukumi). Dengan kata lain, dalil naqli (Alquran dan sunah) merupakan dalil pembenaran (yang membenarkan) segala argumentasi yang ada.

Penjelasan dari definisi ini, semuanya ditarik berdasarkan kenyataan (realitas/fakta) yang ada dalam penerapan ilmu kalam itu sendiri, dimana pembahasan ilmu kalam hanya berkutat pada persoalan akidah dan mengagungkan akal di atas dalil naqli.

Objek Pembahasan Ilmu Kalam
Dengan melihat realitas yang terjadi dalam pembahasan ilmu kalam di antara mutakallimin, maka Muhammad Maghfur Wahid dalam bukunya Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Ilmu Kalam dan Filsafat Islam telah merinci tentang objek kajian ilmu kalam. Objek-objek pembahasan ilmu kalam antara lain sebagai berikut.

1)   Permasalahan ma’rifah (pengetahuan) dan cara pembahasannya
Permasalahan ini membahas tentang pengetahuan-pengetahuan informatif, khususnya yang dibawa oleh Rasul. Pembahasan tentang hal ini dilakukan untuk membantah pandangan Thumamiyah dan Safsata’iyah yang menolak pengetahuan informatif. Thumamiyah adalah salah satu sekte Muktazilah yang dibawa oleh Thumamah bin Asyras An Namiri, yang memiliki pandangan bahwa pengetahuan (al ma’rifah) itu bersifat pasti (dharuri), sehingga siapa pun yang tidak mengenali Allah secara pasti, ia tidak diperintahkan untuk mengenal-Nya dan juga tidak dilarang untuk mengkufuri-Nya.

2)   Permasalahan baru tidaknya alam
Hal ini dijadkan objek pemahasan ilmu kalam adalah untuk membuktikan ‘wujud’ Dzat Yang Maha Pencipta. Pembahasan ini dilakukan untuk mengkonter pemikiran tentang materialisme. Materialisme menganggap bahwa alam semesta itu bersifat qadim (dahulu). Maksudnya adalah bahwa alam semesta itu sejak dahulu telah ada, tanpa ada yang menciptakannya.

3)   Permasalahan keesaan Allah
Permasalahan keesaan Allah juga menjadi objek pembicaraan para ahli kalam; apakah Allah itu esa (tunggal) ataukah jamak. Pembahasan ini digunakan untuk mengkonter pandangan Tsanawiyah yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada dua, yaitu Tuhan cahaya dan Tuhan kegelapan. Tsanawiyah adalah kelompok yang terpengaruh oleh agama Zoroaster (Zarathustra), yang menyatakan bahwa alam semesta ini dikuasai oleh dua Tuhan, yaitu Ahura Mazda (Tuhan atau Penguasa kebaikan/cahaya) dan Ahriman (Tuhan atau Penguasa keburukan/kegelapan).

4)   Permasalahan kesucian Zat Allah
Permasalahan ini membahas tentang Zat Allah, apakah memiliki sifat sebagaimana sifat manusia ataukah Zat Allah itu suci dari segala sifat-sifat manusia. Pembahasan tentang hal ini bertujuan untuk membantah orang-orang Yahudi yang mensifati Tuhan mereka seperti sifat manusia.

5)   Permasalahan sifat-sifat Allah, apakah Zat Allah itu sama dengan sifat yang dimiliki Allah
Permasalahan ini dibahas oleh orang ahli kalam untuk membantah orang-orang Muktazilah yang menganggap bahwa Allah tidak memiliki sifat sebagaimana yang terdapat dalam Alquran. Sebenarnya, Muktazilah ingin mensucikan Allah dari sifat seperti sifat makhluk (seperti melihat, mendengar, berfirman, dan lain-lain), tetapi Muktazilah kebablasan. Muktazilah ingin membantah pendapat orang Kristen yang terpengaruh filsafat Yunani tentang sifat Tuhan aqnumiyah (tiga oknum yang berada dalam satu jasad Tuhan), atau kita kenal dengan Trinitas. Dimana Tuhan itu ada tiga pihak, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak (Yesus), dan Roh Kudus.

6)   Permasalahan kalam Allah; apakah kalam Allah itu huduts (baru) atau qadim (terdahulu)
Pembahasan ini terdapat dalam ilmu kalam. Pembahasan ini muncul, karena terpengaruh oleh pandangan sesat orang Kristen mengenai Al Masih, yang dianggap sebagai kalimatullah. Menurut orang-orang Kristen, Al Masih adalah Tuhan. Sedangkan menurut Islam, Al Masih adalah kalimatullah. Kemudian Yuhana Al Damsyiqi, berusaha membuat sintesis dari pandangan Kristen dan Islam. Tujuan Yuhana adalah untuk menjustifikasi (melakukan pembenaran) atas kosep teologinya (konsep ketuhanannya).
Yuhana menyatakan: jika (menurut orang Islam) Al Masih adalah kalimatullah, dan kalimatullah adalah qadim, berarti Al Masih adalah qadim, dengan demikian Al Masih adalah Tuhan. Dalam konteks inilah muncul bantahan dari kalangan ulama’ seperti Ja’d bin Dirham, Jahm bin Shafwan (Jabbariyah), Washil bin ‘Atha’ (Muktazilah) yang menyatakan bahwa kalam Allah adalah makhluk dan bersifat baru.

7)   Masalah kenabian
Permasalahan ini juga diangkat oleh kaum mutakallimin untuk membantah sekte Sabi’ah dan Brahmana Hindu yang menolak kebutuhan manusia akan adanya nabi.

8)   Masalah kemaksuman para nabi
Ini juga dibahas oleh orang ahli kalam untuk membantah pendapat-pendapat orang Yahudi, bahwa Nabi Muhammad itu tidak maksum (suci), dan mengandung kelemahan-kelemahan.

9)   Permasalahan tentang adanya tempat kembali
Ini juga turut dibahas untuk membantah agama Hindu yang menyatakan adanya proses reinkarnasi. Jadi, manusia yang telah mati, suatu saat akan dihidupkan kembali dalam ruang dan waktu yang berbeda.

10)     Permasalahan jabr wal ikhtiyar (keterpaksaan dan kebebasan berkehendak)
Hal ini juga turut dibahas oleh orang-orang ahli kalam, untuk mengkonter pendapapendpaat filosof Yunai seperti pemikiran kebebasan berkehendak (freewill) yang dicetuskan oleh filosof Yunani, Epicurus. Oleh karena itu pemikirannya disebut Epicurianisme (Abiquriyyah). Epicurianisme menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak. Ini dibuktikan dengan adanya akal.

Juga berkaitan dengan paham fatalis yang dikemukakan oleh Zeno dengan pahamnya Stoisisme, yang menyatakan bahwa perbuatan manusia itu terikat. Artinya, manusia hanya memiliki keterpaksaan dan tidak memiliki kebebasan berkehendak.

Demikianlah objek pembahasan ilmu kalam. Objek pembahasan ini terlalu jauh sehingga membuat orang-orang mutakallimin semakin jauh menyimpang dari jalan yang seharusnya. Untuk mengetahui kesalahan-kesalahan para mutakallimin, kita juga harus mengetahui metode-metode yang digunakan untuk membahas berbagai objek-objek di atas.

Metode Mutakallimin
Secara umum, metode yang digunakan oleh para mutakallimin alam ilmu kalam adalah sebagai berikut.
a.   Mantiq (logika)
Metode ini, bisa dikatakan sebagai metode yang mendominasi berbagai pembahasan dalam ilmu kalam. Jadi, objek-objek yang dijadikan pembahasan dalam ilmu kalam, kebanyakan dipahami dengan menggunakan metode mantiq (logika). Apa itu logika? Logika adalah suatu pengumpulan informasi-informasi yang satu dengan informasi yang lain untuk menghasilkan suatu kesimpulan (natijah). Masing-masing informasi ini sering disebut dengan premis. Premis yang pertama kadang-kadang disebut dengan premis mayor sedangkan premis yang kedua disebut premis minor.

Contoh:
Premis pertama menyatakan bahwa pensil itu terbuat dari kayu. Premis kedua menyatakan bahwa kayu itu bisa terbakar. Jadi kesimpulannya, pensil bisa terbakar. Contoh lain: premis pertama menyatakan bahwa semua hewan akan mati. Kemudian premis kedua menyatakan bahwa anjing adalah hewan. Kesimpulannya (natijah-nya) adalah, bahwa anjing akan mati.

Contoh yang lain:
Amerika adalah negeri kapitalis. Penjajahan adalah metode baku negeri kapitalis untuk memperbesar negerinya. Kesimpulannya, Amerika adalah penjajah.

Mantiq (logika) ada tiga jenis, yaitu istiqra’ (induksi), istintaj (deduksi), dan butlanul dalil yu’dhin bi butlanul madlul. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Istiqra’ (induksi), kaidah ini merupakan kaidah penarikan kesimpulan, dari bagian-bagian tertentu (khusus) kepada keseluruhan (umum). Contoh: Agus Trisa adalah manusia. Manusia akan mati. Jadi, Agus Trisa pasti akan mati.

Istintaj (deduksi), kaidah ini adalah kaidah logika bentuk penarikan kesimpulan dari keseluruhan (umum) kepada bagian-bagian (khusus). Misalnya: Semua manusia akan mati. Agus Trisa adalah manusia. Jadi, Agus Trisa juga pasti akan mati.

Sedangkan butlanul dalil yu’dhin bi butlanul madlul, adalah suatu pengambilan kesimpulan yang salah akibat ketiadaan atau kesalahan informasi yang mendukungnya. Dalam kasus ini, ada dua tahapan untuk membuktikannya. Pertama, menetapkan argumentasi pembuktian yang digunakan. Kedua, menetapkan kesalahan bukti yang membuktikannya.

Contoh:
anak yang mendapat ranking satu, adalah anak yang pintar. Kesimpulan ini salah. Mengapa? Sebab, bertentangan dengan fakta (realitas). Untuk menjadi ranking satu, tidak melulu harus pintar. Mencontek, kerja sama dengan teman, menyuap guru, juga bisa mengantarkan seorang anak menjadi ranking satu. Ini tahapan yang pertama.
Tahapan kedua menyatakan, bahwa anak yang pintar tidak harus nomor ranking satu. Lihatlah, betapa banyak anak-anak yang rankingnya tidak pernah mendapat satu, ternyata juga bisa pintar dalam berbagai hal.

Contoh lain.
Pemerintahan demokrasi, bukanlah pemerintahan diktator. Kesimpulan ini salah. Mengapa? Apa kira-kira jawaban Anda? Ya, jelas saja salah. Sebab, pemerintahan sistem negara khilafah itu bukan demokrasi, tetapi juga tidak diktator. Ini tahapan yang pertama.
Pada tahapan yang kedua, Indonesia itu mengaku sebagai negara demokrasi, tetapi jika ada pihak-pihak yang berbeda pandangan, selalu dituduh teroris atau mengancam keutuhan NKRI. Ini adalah tindakan-tindakan diktatorisme.

Jadi, kesimpulan dari kaidah butlanul dalil yu’dhin bi butlanul madlul, adalah bahwa tahapan pertama bermakna menjelaskan bukti fakta. Dan tahapan kedua, menjelaskan tentang bantahan atas argumentasi pada tahapan pertama.

b.   Analogi/membandingkan (Qiyas)
Ini juga merupakan metode yang digunakan para mutakallimin dalam ilmu kalam. Metode ini adalah dengan cara membandingkan satu kasus dengan kasus yag lain, kemudian mengambil kesimpulan. Ketika ada persamaan antara kedua kasus, berarti ada kemungkinan kedua kasus juga memiliki kesamaan dalam ciri-ciri yang lain.

Dalam ilmu kalam, metode analogi/perbandingan (qiyas) ini dibagi menjadi beberapa bagian.
Pertama: Qiyasul ghaib ‘alal syahid
Analogi ini ingin menyamakan antara sesuatu yang gaib (nomena) dengan sesuatu yang tampak (fenomena), tetapi tidak semata-mata memiliki kesamaan sifat (ciri-ciri). Maksudnya adalah, kedua kasus (hal yang dibandingkan), bukan semata-mata memiliki kesamaan ciri-ciri, tetapi juga harus memiliki kesamaan ‘illat antara yang gaib dengan yang tampak.

Contoh:
Allah memiliki sifat. Semua sifat, sama dengan zat-Nya. Maka sifat Allah, sama dengan zat-Nya. Contoh lain: Jin itu (dari sisi keimanannya) ada yang muslim ada yang kafir. Manusia itu (dari sisi keimanannya) juga ada yang muslim dan yang kafir. Maka jin dan manusia itu memiliki kesamaan, dari sisi keimanannya.

Kedua, Qiyasul aula
Kaidah ini merupakan bentuk pengambilan kesimpulan dengan menganalogikan ciri-ciri persamaan antara kasus satu dengan yang lain. Caranya: yaitu dengan melebihkan salah satu dari keduanya, karena kedudukannya yang lebih dibandingkan yang lain.


Misalnya: analogi (perbandingan) antara yang diciptakan dengan yang menciptakan.
Contoh:
robot mampu melakukan perbuatan-perbuatan manusia. Maka berarti, manusia lebih bisa melakukan berbagai perbuatan-perbuatan melebihi robot. Sebab, robot diciptakan manusia, dan manusia adalah pencipta robot.

Contoh lain:
manusia mampu menguasai alam. Maka pastinya, Allah lebih mempunyai kemampuan untuk menguasai alam. Mengapa? Sebab, manusia adalah ciptaan Allah, dan Allah yang menciptakan manusia.

Ketiga, Qiyas syumuli
Ini merupakan bentuk pengambilan kesimpulan melalui adanya persamaan pada bagian (yang khusus) pada kasus tertentu yang digunakan untuk menarik kesimpulan secara umum, bahwa semua kasus tersebut adalah sama.

Contoh:
Kristen adalah agama yang tidak memiliki sistem kehidupan. Islam juga agama, sama dengan Kristen. Jadi, kesimpulannya, Islam juga tidak memiliki sistem kehidupan.

Keempat, Qiyasul ikhraj
Qiyas ini merupakan pengambilan kesimpulan dengan mengambil perbedaan dari ciri-ciri persamaan antara kasus-kasus yang dianggap sama untuk membantah, bahwa keduanya adalah sama.

Misalnya: Jika Islam merupakan agama yang mengajarkan kehidupan dunia, sedangkan Kristen sebagai agama tidak mengajarkan hal tersebut, maka dalam konteks agama, Islam tidak dapat disamakan dengan Kristen.

Kelima, Qiyasul talazum
Ini merupakan bentuk pengambilan kesimpulan berdasarkan hasil analogi terhadap segala hal yang membawa konsekuensi dalam segala keadaan.
Contoh:
Jika manusia adalah makhluk, konsekuensi logisnya adalah, bahwa manusia pasti diciptakan oleh yang lain. Dan karena itu, pasti ada pencipta yang menciptakannya.

c.   Naqliyyah-zhanniyyah
Metode ini memungkinkan para ahli kalam untuk mengambil dalil-dalil akidah dari dalil-dalil yang bersifat zhanniyyah. Zhanniyyah itu ada dua, zhanniyyuts tsubut dan zhanniyyud dalalah.

Pertama, zhanniyuts tsubut
Maksudnya adalah dalil yang digunakan berasal dari dalil yang zhanni sumbernya. Artinya, sumbernya bersifat dugaan, tidak pasti, dan masih ada kemungkinan untuk diperdebatkan. Ini berarti, para ahli kalam juga membahas masalah akidah dari dalil-dalil, selain Alquran dan hadis mutawatir.
Contoh: Imam Al Asyari, yang mengaku sebagai kelompok Ahlussunnah menggunakan hadis ahad yang sanadnya bersumber dari Umar bin Khathab untuk menjelaskan tentang ‘tangan’ Allah.

Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya, lalu mengusap belakangnya dengan tangan-Nya, kemudian mengeluarkan daripadanya zuriyyat-nya.” (HR. Abu Dawud)

Kedua, zhanniyyud dalalah
Maksudnya adalah bahwa dalil-dalil yang digunakan para ahli kalam memiliki makna yang masih bisa diperdebatkan, sekali pun sumbernya bersifat qath’i (pasti, mutlak) atau mutawatir. Dalam kasus ini, para ahli kalam banyak menggunakan ayat-ayat mutasyabihat.

Contoh:
Imam Al Asyari menggunakan ayat Alquran yang bermakna zhanni (dugaan) untuk menjelaskan ‘mata’ Allah.
Dan bersabarlah (dalam menunggu) keputusan Tuhanmu, sebab sesungguhnya kamu dalam pengawasan Kami.” (QS. At Thur: 48)

d.   Ta’wil
Ini juga merupakan metode yang khas yang digunakan oleh para mutakallimin untuk membahas masalah akidah. Menurut Imam Al Jurjani, ta’wil berarti mengalihkan makna lafal, dari makna lahir kepada makna yang dikehendaki. Maksud makna lahir adalah makna yang apa adanya.

(Dia) mengeluarkan makhluk yang hidup dari benda mati.” (QS. Al An'am: 95)

Jika diartikan dengan “(Dia) mengeluarkan burung-burung dari telur” berarti itu merupakan bentuk tafsir. Tetapi jika ayat itu diartikan “(Dia) mengeluarkan orang mukmin dari kekufuran, atau mengeluarkan orang alim dari kebodohan” ini merupakan ta’wil. Karena itu, hasil pena’wilan antara satu orang dengan orang lain, selalu berbeda.

Demikianlah beberapa metodologi yang digunakan oleh para ahli kalam untuk mengokohkan pandangan-pandangannya dalam bidang akidah. Dengan memperhatikan metode pembahasan dan objek yang dibahas, maka kita akan bisa memberikan penilaian, apakah metodologinya benar dan objek pembahasannya benar ataukah salah; jika kita sudah mempelajari batasan-batasan akal. Lalu apa hubungannya dengan pembahasan tentang akal? Ingat, asas yang digunakan para mutakallimin tidak terlepas dari peran akal. Bahkan ini yang paling mendasar. Oleh karena itu, kita juga harus membahas tentang hakikat akal. Agar kita bisa mengetahui letak kesalahan-kesalahannya.

Akal Manusia Terba
Mengapa kita perlu membahas hakikat akal dan proses berpikir, sebelum menjelaskan kesalahan-kesalahan mutakallimin? Sebab, yang akan kita bahas adalah sesuatu yang memang memerlukan proses pemikiran. Ingat, asas mereka (para mutakallimin) dalam membahas berbagai objek-objek di atas adalah dengan menggunakan akal. Maka kita harus memahami hakikat akal, agar kita tidak terjebak dalam pengagung-agungan akal. Di sini kita juga akan menunjukkan kesalahan metode berpikir orang-orang Komunis.

Kita sadar bahwa dalam kehidupan ini hanya ada dua pihak, yaitu Yang Menciptakan dan yang diciptakan. Allah adalah pihak yang menciptakan, maka Allah disebut Al Khalik. Sedangkan manusia, alam semesta, dan kehidupan adalah pihak yang diciptakan, maka ketiganya disebut dengan makhluk. Al Khalik memiliki sifat yang berbeda dengan sifat makhluk.

Jika makhluk bersifat lemah, terbatas, dan membutuhkan, maka Al Khalik bersifat berlawanan; yaitu tidak lemah, tidak terbatas, dan tidak membutuhkan. Atau dengan kata lain, Al Khalik memiliki sifat Maha Sempurna.

Demikian pula dengan makhluk. Makhluk, memiliki sifat lemah terbatas, dan serba membutuhkan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dihasilkan makhluk hidup dan segala yang berkaitan dengan makhluk hidup, selalu bersifat lemah, terbatas, dan membutuhkan. Jadi, akal manusia (secerdas apa pun manusia) akan tetap lemah, dan terbatas.

Kelemahan akal, terlihat pada sesuatu yang hanya bisa dijangkau indera. Artinya, segala sesuatu yang bisa diindera manusia, pasti bisa dijangkau akal (bisa dipikirkan). Tetapi jika ada sesuatu yang tidak bisa dijangkau indera manusia, tentu tidak akan bisa dijangkau akal (tidak akan bisa dipikirkan). Karena tidak bisa dijangkau akal, maka sekeras apapun usaha akal manusia untuk memikirkannya, tetap tidak akan bisa menghasilkan apapun.

Lalu, apa saja yang bisa diindera manusia? Tidak lain adalah makhluk hidup, yang meliputi alam semesta, manusia, dan kehidupan. Ketiga hal tersebut bisa dijangkau akal. Oleh karena itu bisa dipikirkan, baik berkaitan dengan substansinya atau yang lainnya. Ketiganya juga merupakan fakta terindera. Dengan adanya fakta terindera itulah, akal berfungsi. Jika tidak ada fakta terindra, maka tidak akan terjadi proses berpikir. Ya jelas saja. Kalau tidak ada fakta terindera atau objek yang akan dipikirkan, Anda mau memikirkan apa? Jika Anda nekat memikirkan sesuatu yang tidak bisa diindera, berarti Anda sedang berkhayal.

Lalu apa yang dimaksud dengan akal?

HAKIKAT AKAL
Kata Al ‘Aql (akal), dalam bahasa Arab, satu makna dengan kata Al Idrak (kesadaran) atau Al Fikr (pemikiran). Akal merupakan sebuah kemampuan (keistimewaan) yang diberikan Allah kepada otak manusia. Otak manusia mempunyai keistimewaan untuk mengaitkan fakta yang terindera dengan informasi yang dimiliki. Ini berbeda dengan otak hewan. Otak hewan tidak memiliki kemampuan (potensi) untuk mengaitkan realitas dengan informasi yang dimiliki.
Oleh karena itu, hewan (binatang) tidak dapat diajari tingkah laku seperti sopan-santun. Padahal hewan memiliki otak, indera, mampu menerima informasi, dan diberikan fakta. Tetapi tetap saja hewan tidak bisa berpikir.Ini semua terjadi, karena hewan memang tidak bisa mengaitkan antara fakta terindera dengan informasi yang dimilikinya. Inilah perbedaan antara otak manusia dengan otak hewan.

Jadi, Anda salah, ketika Anda membahas akal, tetapi akal yang Anda maksud adalah organ fisik yang berada di dalam kepala. Atau juga menyatakan bahwa akal ada di dalam dada dengan argumen bahwa ‘hati ada di dalam dada’. Mengapa salah? Karena fakta membuktikan bahwa hewan juga mempunyai ‘hati’ yang ada di dalam tubuh mereka, namun hewan tetap tidak mampu menghukumi sesuatu.

Karena itu, yang dimaksud dengan akal adalah ‘kekuatan untuk menghasilkan keputusan (kesimpulan) tentang sesuatu’. Kekuatan ini bukan merupakan kerja satu organ tubuh manusia, seperti otak, sehingga akal dianggap sama dengan otak, lalu disimpulkan bahwa akal tempatnya ada di kepala atau di dada. Ini kesimpulan yang salah. Jadi, yang terjadi pada akal manusia adalah transformasi objek (fakta terindera) ke dalam otak dalam bentuk memori.

Kesalahan Orang Komunis Dalam Memahami Hakikat Berfikir
Ini berbeda dengan pemahaman orang Sosialis dan Komunis. Mereka menganggap bahwa proses berpikir adalah refleksi objek (fakta terindera) ke dalam otak. Orang-orang Komunis mengatakan, akal merupakan kekuatan yang dihasilkan melalui proses merefleksikan/memantulkan realitas/fakta ke dalam otak atau otak.

Mereka (orang-orang Komunis) sengaja menolak informasi awal ketika memberikan gambaran mengenai akal. Sebab, jika informasi awal ini masuk dalam pembahasan proses berpikir, berarti ada pihak yang memberikan informasi. Padahal, menurut mereka, yang disebut ‘pihak’ itu tidak ada. Oleh karena itu, mereka menyusun argumentasi, bahwa akal merupakan kekuatan hasil refleksi/pemantulan. Lalu, benarkah akal merupakan kekuatan hasil refleksi otak ke dalam realitas atau sebaliknya? Jawabannya, jelas tidak.

Sebab, otak maupun fakta terindera, sama-sama tidak dapat melakukan refleksi atau pantulan layaknya cermin. Yang membawa pantulan objek ke dalam otak sebenarnya adalah, indera. Ini terbukti ketika indera yang digunakan untuk menangkap objek itu adalah mata, maka memori yang tersimpan dalam otak adalah gambar (visual). Berbeda ketika yang menangkap objek tadi adalah hidung, seperti bau busuk, maka memori yang terekam dalam otak berbentuk bau busuk. Juga berbeda ketika objek yang ada ditangkap dengan telinga, seperti bunyi mobil, maka memori yang tersimpan dalam otak pun berbentuk bunyi. Demikian seterusnya.

Dengan pandangan tersebut, sebenarnya intelektual Sosialis mengakui bahwa komponen akal yang dapat digunakan untuk berfikir tersebut adalah: (1) otak, (2) realitas yang dapat diindera, dan (3) penginderaan, yang mereka sebut dengan “refleksi”.

Sedangkan alasan orang-orang Komunis menolak adanya informasi awal, sebenarnya lebih disebabkan karena akidah mereka yang tidak mengakui eksistensi Tuhan. Sebab, mengakui adanya informasi awal, berarti mengakui bahwa adanya pemikiran lebih dahulu dibanding dengan adanya realitas (fakta terindera). Dari sini akan muncul pertanyaan; dari mana datangnya pemikiran manusia yang pertama?

Sebab, kalau hal itu diakui, berarti harus ada ‘Sesuatu’ di luar diri manusia yang memberikan pemikiran tersebut, dan ‘Sesuatu’ itu juga bukan merupakan realitas itu sendiri. Tentu saja ini bertentangan dengan akidah mereka yang menyatakan, bahwa alam atau realitas yang ada adalah azali, tidak memerlukan ‘Sesuatu’ di luar dirinya. Dengan demikian mereka membuat pengandaian, bahwa manusia pertama telah melakukan eksperimen untuk mendapatkan informasi.

Hakikat Proses Berfikir
Berkaitan dengan hal di atas, pertanyaannya adalah: Benarkah manusia bisa berpikir tanpa adanya informasi awal? Kita uji. Anak kecil memiliki otak yang tidak sempurna. Otak dari anak kecil itu tidak bisa digunakan untuk mengaitkan informasi awal dengan fakta terindera. Kalau pun bisa, itu masih belum sempurna. Akibatnya, anak kecil itu tidak bisa membedakan fakta yang sedang diinderanya. Misalnya, anak kecil yang belum tahu apa-apa itu, dikasih sebuah granat di tangan kiri dan roti di tangan kanan. Kemudian, kita katakan kepadanya bahwa yang ada di tangan kiri itu adalah roti (bukannya granat), sedangkan yang ada di tangan kanan adalah granat. Maka, di lain waktu, dia akan mengatakan bahwa roti adalah granat, dan granat adalah roti.

Coba, Anda suruh anak kecil itu melempar rotinya kepada Anda. Pasti Anda akan lari. Kenapa? Sebab yang dilemparnya, adalah granat.
Jadi, mau tidak mau memang harus ada informasi awal untuk bisa menghukumi atau mengambil sebuah keputusan. Gambaran ini terlihat dari penjelasan Allah kepada Malaikat, ketika mereka memprotes Allah SWT terhadap penciptaan Adam. Menurut mereka, manusia hanya akan menimbulkan kerusuhan di muka bumi. Allah kemudian membantah seraya menyatakan: “Aku Maha Tahu tentang apa yang kamu tidak tahu.” Allah pun kemudian membuktikan pernyataan-Nya:

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian mengajukannya kepada Malaikat seraya berfirman: ‘Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama mereka semuanya jika kamu benar (dengan tuduhan kamu, bahwa kamu lebih tahu).” Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau, kami tidak mempunyai ilmu sedikit pun, kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Bijaksana.’ Dia berfirman: ‘Wahai Adam, sampaikanlah kepada mereka nama-nama mereka semua.’ Apabila Adam selesai menyebutkan kepada mereka nama-nama semuanya itu, Dia berfirman: ‘Bukankah Aku telah beritahukan kepada kamu, bahwa Aku Maha Tahu perkara gaib di langit dan di bumi, serta Maha Tahu apa yang kamu kemukakan dan apa yang kamu sembunyikan.” (QS. Al Baqarah: 31-33).

Ayat di atas, dengan jelas membuktikan, bahwa malaikat tidak bisa membuat kesimpulan mengenai realitas (objek) yang ditunjukkan oleh Allah, sedangkan Adam dapat melakukannya setelah Adam diberi informasi oleh Allah, sedangkan malaikat tidak diberi informasi terlebih dahulu oleh Allah. Dengan demikian jelas, bahwa tidak ada satu pun manusia yang dapat mengambil kesimpulan tanpa mempunyai informasi awal.
Jadi, ada empat unsur untuk terbentuknya sebuah pemikiran, yaitu (1) Akal atau otak yang sehat, (2) Indera yang sehat, (3) Objek atau fakta terindera, dan (4) Informasi awal.

Contoh sekali lagi, mungkin akan memantapkan Anda. Misalnya di hadapan kita ada sebuah handphone. Pertanyaannya: mengapa kita menamakannya handphone, bukan sepatu? Kita bisa menghukumi bahwa itu adalah handphone, karena kita telah mendapatkan informasi sebelumnya bahwa sebuah benda dengan wujud seperti itu dan dengan fungsi seperti itu adalah handphone, bukannya sepatu.

Objek ada. Indera kita juga sehat. Akal kita juga sehat. Informasi awal kita miliki. Pada awalnya indera kita melihat sebuah fakta (handphone). Kita kemudian memindahkan memori tentang fakta itu ke dalam otak kita. Setelah itu kita mengasosiasikan (mengaitkan) dengan informasi awal yang kita miliki. Maka jadilah kita mengambil kesimpulan, bahwa benda yang ada di depan mata kita adalah handphone. Jadi, kita hanya memang bisa memikirkan sesuatu yang memang bisa diindera. Inilah metode berpikir rasional.

Namun demikian, terdapat sejumlah objek yang mempunyai fakta, tetapi hakikat zatnya tidak bisa kita pindahkan ke dalam otak dalam bentuk memori. Tetapi, pengaruh atau bekas dari fakta itu bisa diindera manusia dan bisa ditransfer ke dalam otak melalui proses penginderaan. Pada kasus yang seperti ini, kita bisa memikirkannya. Akan tetapi, proses berpikir yang terjadi, hanya terbatas pada eksistensi (keberadaan) dari objek itu. Bukan fakta atau zat dari objek itu. Mengapa? Sebab, yang ditransfer hanyalah bekas atau pengaruh dari objek tersebut. Bukan hakikat dari objek tersebut.

Contoh:
Saat ini, Anda ada di dalam rumah. Kemudian Anda mendengar suara pesawat terbang. Sekali pun Anda tidak bisa melihat pesawatnya, tetapi Anda sudah berkesimpulan bahwa ada pesawat terbang yang sedang melintas. Darimana? Tentu dari bekas atau pengaruh yang ditimbulkannya. Apa itu? Yaitu suara pesawatnya. Ya kan?

Contoh lagi: Suatu ketika, Anda pulang dari bepergian, kemudian Anda melihat jalan-jalan basah, sungai mengalir deras airnya, pepohonan basah, genting-genting rumah tetangga basah, dan dimana mana basah. Apa kesimpulan Anda? Pasti habis ada hujan. Tentu saja, hujan habis turun. Mengapa? Ya jelas saja, bekas atau pengaruhnya bisa kita indera. Sekalipun kita tidak melihat hujannya, tetapi kita bisa berkesimpulan bahwa hujan memang ada, dari bekas yang ditimbulkannya.


Dengan demikian, kesimpulan yang kita dapat dari pembahasan tentang akal adalah:
1) Akal manusia terbatas pada hal-hal yang bisa diinderanya, dan bekas-bekas dari keberadaan sesuatu, sekalipun hakikatnya tidak bisa diindera.
2) Akal manusia tidak akan bisa membahas sesuatu yang tidak bisa diindera
3) Secerdas apa pun manusia, akal manusa tetap terbatas.

Kesalahan-Kesalahan Metode Mutakallimin
Dengan melihat realitas metodologi ilmu kalam dan fakta akal, maka kita bisa memberikan penilaian-penilaian atas kesalahan-kesalahan mereka (para mutakallimin). Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Syakhshiyyah Al Islamiyyah telah menjelaskan kesalahan-kesalahan para ahli kalam. Kesalahan-kesalahan itu antara lain sebagai berikut.

1.   Penggunaan mantiq (logika) sebagai metode berpikir
Memang benar, logika sangat berhubungan dengan pemikiran. Akan tetapi menjadikan logika sebagai metode berpikir, itu tidak benar. Dan kaum mutakallimin justru menggunakannya. Metode berpikir yang benar adalah sebagaimana yang telah disampaikan di atas, yaitu melalui penginderaan terhadap fakta kemudian mengaitkannya dengan informasi awal. Dari sanalah diambil kesimpulan.

Tetapi tidak bagi mantiq. Mantiq (logika) memang bisa menghasilkan kesimpulan yang benar. Tetapi mantiq juga bisa menghasilkan pada kesimpulan yang salah. Apalagi, ilmu kalam, fokusnya membahas tentang akidah. Padahal, akidah harus menghasilkan sesuatu yang benar, bukan sesuatu yang salah.
Kita ambil contoh di atas: Pensil itu terbuat dari kayu. Kayu bisa terbakar. Kesimpulannya, pensil bisa terbakar. Ini kesimpulan yang benar. Tetapi coba perhatikan contoh sesat berikut ini: Alquran adalah kalamullah yang diturunkan dalam bahasa Arab. Bahasa Arab adalah sesuatu yang sifatnya baru (hadist). Padahal, sesuatu yang baru adalah makhluk. Kesimpulannya: Alquran adalah makhluk! Na’udzubillah..

Sekalipun dengan mantiq (logika) pula kita bisa mengambil kesimpulan yang benar. Contoh: Alquran itu adalah kalam Allah dan itu merupakan sifat bagi-Nya. Segala hal yang merupakan sifat Allah itu adalah qadim (terdahulu/kekal). Maka kesimpulannya adalah bahwa Alquran itu qadim (terdahulu/kekal), bukan makhluk.

Anda bisa melihat kan? Betapa sangat jelas terdapat kontradiksi di dalam mantiq pada topik permasalahan yang sama. Demikian pula di dalam banyak hal yang mengikuti runutan sistematika logika rasio di atas rasio akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang kontradiktif dan sangat aneh.
Kadang-kadang suatu premis itu benar, tetapi faktanya salah, dan disangka premis itu benar. Lalu bisa juga, kesimpulannya benar tetapi premis-premisnya salah. Sehingga kesimpulan tersebut diduga benar, karena runutan atau sistematikanya juga benar.

Contohnya begini:
Penduduk Spanyol bukan muslim (ini premis pertama). Dan setiap negeri yang penduduknya bukan muslim, bukanlah negeri Islam (ini premis kedua). Maka kesimpulannya Spanyol itu bukanlah negeri Islam. Kesimpulan ini salah. Kesalahan muncul dari kesalahan premis yang kedua. Perkataan ‘setiap negeri yang penduduknya bukan muslim bukanlah negeri Islam’ adalah pernyataan yang salah, karena suatu negeri termasuk negeri Islam apabila diperintah dengan hukum-hukum Islam atau apabila mayoritas penduduknya muslim. Jadi, kesimpulan tersebut salah karena Spanyol adalah negeri Islam.

Contoh lain:
Amerika adalah negeri yang aspek ekonominya maju (ini premis pertama). Setiap negara yang aspek ekonominya maju adalah negara yang (mampu) bangkit (ini premis kedua). Maka kesimpulannya adalah Amerika negara yang (mampu) bangkit. Kesimpulan ini benar, jika disandarkan kepada Amerika. Padahal salah satu premisnya tidak benar. Kenyataannya (faktanya), tidak setiap negara yang maju aspek ekonominya itu adalah negara yang (mampu) bangkit. Negara yang (mampu) bangkit adalah negara yang maju aspek pemikirannya. Dari sini muncul dugaan dari premis yang menghasilkan kesimpulan benar bahwa premis-premis yang menyusunnya itu adalah benar. Maka muncul pula anggapan bahwa Kuwait, Qatar, Saudi Arabia, masing-masing adalah negeri yang (mampu) bangkit, karena aspek ekonominya maju. Padahal sebenarnya negeri-negeri tersebut tidak tergolong negeri-negeri yang (mampu) bangkit.

Sehingga, kesalahan pertama ini hendaknya tidak membuat kita terperosok ke dalam lubang-lubang pemikiran yang tidak benar. Ingat, hanya dengan metode berpikir rasional (sebagaimana telah dijelaskan di atas), akidah Islam dibangun secara kokoh, bukan dengan mantiq (logika).

2.   Para Mutakallimin telah membandingkan antara sesuatu yang gaib dengan yang bisa diindera
Kesalahan para mutakallimin selanjutnya adalah mereka berani membahas sesuatu yang memang tidak bisa diindera. Sebagaimana telah kita bahas bersama, bahwa akal manusia hanya bisa membahas segala sesuatu yang bisa diindera. Artinya, segala sesuatu yang bisa diindera itu bisa dipikirkan. Tetapi para ahli kalam telah jauh tersesat, ketika mereka ‘ditantang’ orang Kristen untuk membahas Zat Allah, justru mereka (para hali kalam itu) ikut larut membahasnya. Padahal, yang bisa kita jangkau (bisa kita pikirkan) hanyalah keberadaan Allah saja, sedangkan Zat-Nya atau sifat-Nya, jelas tidak akan bisa dibahas.

Mereka mencampuradukkan antara sesuatu yang tidak bisa diindera (yang gaib) dengan sesuatu yang bisa diindera (syahid, dapat disaksikan). Maksudnya adalah mereka (para ahli kalam itu) mensifati Allah sebagaimana mereka mensifati manusia. Mereka mewajibkan atas Allah sifat adil seperti yang dibayangkan oleh manusia di dunia, mengharuskan Allah untuk melakukan perbuatan baik, bahkan sebagian mereka mewajibkan kepada Allah untuk melakukan sesuatu yang paling baik, karena Allah bersifat Hakim (Maha Bijaksana), tidak melakukan suatu perbuatan kecuali karena suatu tujuan atau hikmah.

Perbuatan yang tidak memiliki tujuan adalah kebodohan dan sia-sia. Sedangkan orang yang bijaksana adalah yang memberi kebaikan (manfaat) kepadanya atau kepada orang lain. Karena Allah itu terbebas (Maha Suci) dari mengambil manfaat (untuk diri-Nya), maka berarti Dia melakukan suatu perbuatan agar orang lain dapat mengambil manfaatnya.

Inilah yang menyebabkan mereka berkutat membahas perkara yang tidak bisa diindera dan tidak mungkin bisa ditentukan hukumnya melalui proses akal. Mereka terperosok di dalam perkara tersebut. Mereka lengah bahwa perkara yang bisa diindera itu dapat dijangkau, sedangkan Dzat Allah tidak bisa dijangkau. Karena itu tidak bisa diperbandingkan salah satu di antara keduanya terhadap yang lainnya.
Karena itu tidak benar menganalogikan Allah dengan manusia, dan tidak boleh mewajibkan (memaksakan) sesuatu kepada Allah.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syura: 11)

3.   Memberikan kebebasan kepada akal untuk membahas segala sesuatu, termasuk yang tidak dapat diindera
Ini menjadi salah satu kesalahan ahli kalam, karena mereka tidak mengetahui hakikat batasan akal. Sesuatu yang tidak bisa diindera, tidak akan bisa dipikirkan. Tetapi para ahli kalam, telah memberikan kebebasan kepada akal untuk membahas segala hal, baik yang bisa diindera maupun yang tidak bisa diindera. Akibatnya, mereka tenggelam dalam berbagai khayalan-khayalan konyol yang tidak berujung pangkal, selain berhenti pada kesalahan-kesalahan yang berlawanan dengan fakta.

Contohnya:
Mereka membahas Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya. Sebagian mereka mengatakan bahwa sifat itu hal yang lain dan dzat itu hal yang lain lagi. Sehingga, sifat dan dzat adalah dua hal yang berbeda.

Pembahasan ini adalah pembahasan yang tidak bisa dijangkau oleh indera. Pembahasan ini adalah pembahasan atas suatu perkara yang gaib, sehingga membahasnya, justru akan menghasilkan kesia-siaan belaka. Karena itu, akal tidak diperbolehkan membahas hal yang seperti ini, atau yang sejenisnya.


4.   Menjadikan akal sebagai dasar (asas) untuk membahas persoalan apapun tentang keimanan
Sebagai konsekuensinya, mereka menjadikan akal sebagai asas bagi Alquran, bukan menjadikan Alquran sebagai asas bagi akal. Mereka menjadikan akal sebagai hakim (penentu) terhadap ayat-ayat yang terkesan ‘kontradiktif’ dan menjadikan akal sebagai ukuran untuk ayat-ayat mutasyabihat. Mereka kemudian melakukan ta’wil atas ayat-ayat yang tidak sesuai dengan pendapat-pendapat mereka. Akhirnya, ta’wil dalam ayat-ayat akidah pun menjadi salah satu metode para ahli kalam dalam memahami akidah, disesuaikan dengan pendapat-pendapat mereka.

Memang benar, iman bahwa Alquran itu kalamullah dibangun berlandaskan akal. Akan tetapi setelah diimani, Alquran itu sendiri menjadi asas untuk mengimani apa pun yang dibawanya, bukan lagi akal. Karena itu jika terdapat ayat-ayat Alquran, akal tidak berhak memutuskan benar atau tidak maknanya. Yang berhak memutuskan (benar atau tidak maknanya) adalah ayat-ayat itu sendiri. Akal dalam hal ini fungsinya sebatas memahami saja. Sayangnya, mutakallimin tidak melakukan hal itu. Mereka jadikan akal sebagai asas bagi Alquran. Akibatnya terjadi pentakwilan terhadap ayat-ayat Alquran dalam bidang akidah.

5.   Membahas pertentangan antarfilosof
Ini termasuk di antara kesalahan-kesalahan fatal yang dilakukan para mutakallimin. Para filosof Yunani telah terlibat dalam polemik seputar filsafat di dalam diri mereka sendiri. Tetapi celakanya, para ulama mutakallimin justru terlibat untuk membahasnya. Akhirnya, diadopsilah berbagai filsafat-filsafat Yunani yang dibumbui dengan ayat-ayat Alquran dan sunah. Kemudian oleh orang-orang pada masa sekarang, hal itu disebut dengan filsafat Islam. Padahal itu merupakan suatu kesesatan yang luar biasa. Muktazilah mengambil pendapat dari para filosof kemudian dikritik. Lalu, Ahlussunnah dan Jabbariyah mengkritik Muktazilah, dengan mengambil pendapat dari para filosof Yunani lain.

Lalu jadilah mereka saling berpolemik, atas sesuatu yang tidak berguna. Polemik ini telah membuat kaum muslimin lelah, buang-buang waktu, dan tidak bermanfaat sedikit pun.

Sikap Kita
Berkaitan dengan fakta-fakta di atas, menurut saya sikap kita adalah kita harus menghentikan semua pembahasan yang ada dalam ilmu kalam. Artinya, semua objek-objek yang menjadi pembahasan dalam ilmu kalam, tidak boleh diteruskan untuk dibahas. Segala pembahasan tentang hal tersebut, harus dihentikan. Mengapa? Sebab, ilmu kalam menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Ilmu kalam menampatkan akal pada porsi yang tidak benar.

Ilmu kalam menempatkan akal tidak pada tempatnya. Ilmu kalam menempatkan akal, di atas dalil-dalil qath’i. Ilmu kalam telah ‘memaksa’ akal untuk ‘bekerja’ di luar kemampuannya. Akal tidak mampu menjangkau hal-hal yang tidak terindera, tetapi ilmu kalam memaksanya. Ini tidak benar.

Oleh karena itu, setelah kita mengetahui hakikat akal dan proses berpikir, maka seandainya ada pertanyaan sebagaimana yang dipertanyakan orang-orang kepada mutakallimin, maka jawabkita adalah bahwa membahas hal itu adalah sia-sia. Sebab, untuk apa dipertanyakan dan untuk apa di bahas, sedangkan akal tidak mampu menjangkaunya? Apa yang mau dibahas, jika hakikat dari objek yang ada tidak dapat diindera? Jika ada yang masih mau membahasnya, tentu dia telah terjebak dalam pemikiran khayali dan tidak realistis. Dia hanya berangan-angan, seperti orang bermimpi.

Coba Anda pikir, bagaimana bisa orang membahas nama dan sifat Allah, sedangkan dia tidak mengetahui hakikat-Nya? Bahkan ada yang mencoba mencari ‘jalan tengah’ dengan menakwilkannya, seperti tangan Allah dita’wilkan sebagai kekuasaan-Nya. Pertanyaannya: Darimana dia tahu bahwa ‘tangan’ Allah adalah kekuasaan-Nya? Dan apakah dia yakin dengan hal tersebut?

Oleh karena itu, terlibat dalam polemik pembahasan asma’ wa sifat, adalah suatu kekeliruan. Allah memang memiliki sifat-sifat sebagaimana yang terdapat dalam Alquran. Namun, biarkan semua apa adanya. Kita tidak perlu membahasnya dan mempertanyakannya. Toh, yang Allah tuntut dari manusia adalah penghambaan diri secara total atas keberadaan Allah. Allah tidak menuntut kita memahami Zat-Nya (hakikat-Nya).

Tidak heran, ketika Imam Malik ditanya seseorang tentang sesuatu yang tidak dapat diindera, beliau kebingungan dan akhirnya, beliau memberikan peringatan yang tegas kepada si penanya.
Ketika Imam Malik ditanya tentang makna "persemayaman-Nya" (istiwaa'), beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata:
“Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat dipahami. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid'ah/salah.”

Imam Ibnul Qayyim berkata:
"Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan paham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Alquran dengan suara bulat. Mereka tidak menta'wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya."

Jadi, segala macam pembahasan tentang sesuatu yang tidak dapat diindera, harus dihentikan. Tidak perlu menetapkan ini itu. Tidak perlu menta’wilkan. Tidak perlu mengatakan bahwa Allah Maha Melihat tetapi caranya melihat tidak sama seperti manusia. Tidak perlu mengatakan itu. Sebab tidak ada gunanya. Jika masih menanggapinya, maka itu sudah termasuk membahas. Oleh karena itu, tidak perlu dibahas, tetapi cukup diimani saja.

Membahas ilmu kalam, sah-sah saja, jika ilmu kalam dipelajari untuk diketahui kesalahannya, dan menjauhkan umat dari pembahasan ilmu kalam. Ini sah-sah saja. Tetapi jika, ilmu kalam dipelajari sebagai kenikmatan intelektual atau sekedar membahas, tanpa memiliki standar benar atau salah, maka mempelajari ilmu kalam berarti telah menjatuhkan diri dalam kesesatan yang nyata.

Dengan menjauhkan diri dari ilmu kalam, dan menerapkan metode berpikir yang benar, maka kita akan dapat berpikir secara benar pula.
Wallahu a’lam..

Rujukan:
1)   Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Mohammad Maghfur Wahid.
2)   Islam Politik dan Spiritual, Hafidz Abdurrahman.
3)   Syakhshiyyah Al Islamiyah jilid I, Taqiyuddin An Nabhani.
4)   At Tafkir, Taqiyuddin An Nabhani
5)   Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin, Jusuf Syuaib
6)   Sejarah Kebudayaan Islam Jilid II, Hasan Ibrahim Hasan
7)   Aliran dan Teori Filsafat Islam, Dr. Ibrahim Madkour
8)   Usus An Nahdhah Ar Rasyidah, Ahmad Al Qashash [Agus Trisa]

Posting Komentar untuk "Kesalahan-Kesalahan Ilmu Kalam"