Kesalahan-Kesalahan Ilmu Kalam
Motif
Harus diakui, ilmu kalam memang telah menjadi kontradiksi di kalangan
para ulama, mengingat begitu besarnya pengaruh ilmu kalam dalam
perjalanan sejarah kaum muslimin. Bahkan, karena saking kontroversialnya
ilmu kalam ini, terjadi perbedaan pandangan tentang hukum
mempelajarinya. Ada yang mengharamkan, ada yang memperbolehkannya, dan
ada pula yang memperbolehkan untuk mempelajarinya, tetapi dengan syarat.
Terlepas dari semua itu, menurut saya tidak ada salahnya kita
mempelajari ilmu kalam, tetapi untuk mengetahui kesalahan-kesalahannya,
bukan untuk mengamalkannya. Mengapa (harus) dari sisi
kesalahan-kesalahannya? Sebab, ilmu kalam memang salah. Salah, dari sisi
objek pembahasannya dan metodologinya. Sehingga untuk menjadi salah
satu bidang keilmuan dalam Islam, ilmu kalam harus diposisikan secara
khusus, agar orang tidak terjebak dalam kesalahan-kesalahan yang telah
diperbuat para mutakallimin (ahli ilmu kalam).
Namun, kajian tentang ilmu kalam, untuk beberapa orang (termasuk
saya) tidaklah mudah. Sebab, bahasanya sulit dimengerti dan
pembahasannya terkesan berat. Sehingga, orang menjadi malas untuk
mempelajarinya. Padahal, jika tidak dipelajari, niscaya kita tidak akan
mengetahui kesalahan-kesalahan ilmu kalam itu seperti apa. Jika kita
tidak mengetahui kesalahan-kesalahannya, maka kita akan berpotensi untuk
jatuh ke dalamnya (pembahasan ilmu kalam).
Bahkan ada sebagian kaum muslim (karena pemahamannya
setengah-setengah), justru memfitnah para mutakallimin dan pihak lain
yang mempelajari ilmu kalam (bukan untuk diamalkan, tetapi untuk
diketahui kesalahan-kesalahannya). Ini tentu sikap yang tidak adil.
Padahal, tidak adil dalam pandangan Islam adalah suatu kezaliman.
Inilah yang menjadi motivasi saya dalam membuat catatan ini. Saya
buat dengan bahasa yang lugas, agar mudah dimengerti dan Anda bisa
mengetahui duduk persoalannya seperti apa, agar kita tidak terjebak
dalam fitnah. Dengan adanya bahasa yang mudah dimengerti, insya Allah,
Anda akan mendapatkan gambaran riil tentang ilmu kalam. Atau dengan kata
lain, saya meringkas kembali materi ilmu kalam ini dari beberapa
literatur, hanya saja tuangkan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami.
Bagi Anda yang kuliah di STAIN atau IAIN, kemungkinan akan
mendapatkan materi tentang ini. Tetapi jika tidak tertarik, mungkin akan
terkantuk-kantuk saat mengikuti perkuliahannya. Sebab, materinya yang
memang sulit dan berat. Catatan ini saya buat ringkas, agar Anda tidak
jemu dalam membacanya. Sebab, jika kita ingin membahas tentang ilmu
kalam (walau hanya untuk mengetahui kesalahan-kesalahannya), tentu akan
membutuhkan kajian yang sangat panjang. Tidak bisa selesai dalam satu
atau dua catatan. Mohon maaf jika ada kesalahan.
Kaum Muslim Bersinggungan Dengan Pemikiran Selain Islam
Setelah Rasulullah saw. wafat, kekuasaan Islam semakin meluas.
Kekuasaan Islam itu meliputi banyak wilayah di luar jazirah Arab. Ada
wilayah Syam, Mesir, Irak, dan lain-lain. Pada umumnya, wilayah-wilayah
yang telah ditaklukkan kaum muslimin itu adalah wilayah-wilayah yang
pernah berkembang suatu peradaban yang maju, dan umumnya bekas jajahan
Imperium Persia dan Romawi, yang memiliki peradaban (hadharah) yang
khas.
Wilayah jazirah Arab berhasil dibebaskan Rasulullah saw. pada tahun
610-632 M. Kemudian sepeninggal beliau, wilayah Al Hirah (Irak)
dibebaskan oleh penerus beliau, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq. Lalu
pembebasan berikutnya dilakukan oleh Umar bin Khathab dengan membebaskan
wilayah-wilayah seperti Barah dan Ba’albak (Irak), Damaskus (termasuk
Harran, Qinassrin, Nasibis, dan Edessa) seta Hims/Homs (Syam). Termasuk
juga wilayah Babilonia, Madain Barat, Halwan, Baysan (Yordania),
Thabariyyah, Halab (Aleppo), Antakiyyah (Antiokia/Antioch), Armenia,
Baitul Maqdis, Sabastiyah, Nablus, Awamis, Baitul Jibrin, Marajul Uyun,
dan Alexandria (Iskandariyah). Kemudian pada masa Kekhalifahan Umayyah,
dua kawasan di Asia seperti Punjab dan Sind (kawasan Asia Selatan),
berhasil dibebaskan pula.
Kalau kita melihat berbagai wilayah di atas, sesungguhnya,
wilayah-wilayah tersebut adalah wilayah-wilayah yang pernah menjadi
jajahan bangsa Romawi dan Persia. Penjajahan tersebut, tentu tidak
sekadar menjajah, tetapi juga meninggalkan suatu peradaban tertentu
(khas) yang membekas dalam diri rakyat tanah taklukan. Umat-umat
non-Islam yang telah dibebaskan kaum muslim, ada yang masuk Islam, ada
yang masih memeluk agama mereka yang lama, dan ada juga yang masuk Islam
tetapi hanya untuk berpura-pura.
Mesir merupakan wilayah yang banyak bersentuhan dengan filsafat
Yunani, khususnya wilayah Iskandariyah (Alexandria). Wilayah ini
tergolong paling maju dalam bidang filsafat jika dibandingkan dengan
wilayah lain. Bahkan menurut Syaikh Abu Zahrah, di daerah ini telah
terdapat sekolah filsafat. Salah seorang filosof yang sangat terwarnai
pemikiran Plato dari wilayah Iskandariyah adalah Claudius Galenius.
Beberapa buku filsafat Yunani yang sudah banyak diterjemahkan dalam
bahasa Arab dan Syiria untuk dipelajari orang Mesir antara lain karya
Plato seperti Sophist, Parmanides, Cyratylus, Euthydemus, Timaeus, Statesman, Republic, dan Laws.
Tidak hanya Mesir. Suriah dan Irak juga merupakan wilayah yang kental
dengan filsafat Yunani. Kota-kota seperti Antakiyyah, Harran, Edessa,
Qinasrin, Nasibin, dan Rasa’ina, adalah contoh wilayah yang sangat
terpengaruh filsafat Yunani. Edessa, Nassibin, Madain, dan Gundisapur
adalah kota filsafat yang dikembangkan oleh kalangan Kristen Nestorian.
Kristen Nestorian adalah sekte agama Kristen yang dipimpin oleh Nestor.
Sekte ini berpendapat bahwa Maryam tidak melahirkan Tuhan, tetapi
melahirkan manusia, hanya saja kehendaknya sama dengan kehendak Tuhan,
sedangkan zatnya berbeda antara manusia dengan Tuhan.
Kota Antakiyyah dan Amid adalah pusat kajian filsafat yang
dikembangkan oleh kaum Kristen Jacobit. Kaum Kristen Jacobit meyakini
‘kebenaran’ Trinitas. Di Antakiyyah telah berdiri sekolah filsafat pada
tahun 280 M. Pemimpin Iskandariyah, pernah masuk Islam pada masa Amirul
Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Tetapi setelah itu, dia kemudian
memindahkan pusat studi filsafat dari Iskandariyah ke Antakiyyah.
Pelajaran yang diajarkan di pusat studi itu adalah filsafat Aristoteles
dan Plato. Sedangkan kota Harran adalah kota tempat berkumpulnya kaum
Sabi’ah yang sangat terpengaruh filsafat Yunani.
Penyesatan Terhadap Kaum Muslimin
Kemunculan mutakallimin (ahli kalam), pada awalnya, tidak lain karena
mereka ingin menjawab lawan-lawan diskusi mereka berkaitan dengan
pemikiran Islam. Mereka ingin mengkonter segala sesuatu yang mereka
anggap dapat merusak akidah Islam. Pemikiran merusak yang dimaksud tidak
lain adalah filsafat-filsafat Yunani yang mencoba merongrong pemikiran
Islam. Para filosof itu menyebarkan berbagai keraguan dan kerancuan
kepada umat Islam. Di saat itulah mutakallimin muncul, dengan niat awal
ingin mengkonter para filosof Yunani.
Di antara keraguan yang coba dimunculkan adalah pertanyaan-pertanyaan
seputar asma’ wa sifat, perbuatan manusia, takdir, rezeki, kematian,
serta hidayah dan dhalalah (kesesatan).
Misalnya, mereka (orang-orang kafir itu) bertanya kepada kaum muslim
tentang asma’ dan sifat Allah. Contohnya begini: Bukankah Allah Maha
Melihat? Jika iya, bagaimana cara Allah melihat? Kemudian ditanya lagi:
Bukankah Allah Maha Mendengar? Jika iya, bagaimana cara Allah mendengar?
Apakah Allah melihat dengan menggunakan mata sebagaimana mata manusia?
Dan apakah Allah mendengar dengan menggunakan telinga sebagaimana
telinga manusia? Ataukah Allah melihat dan mendengar tetapi tidak sama
dengan cara manusia melihat dan mendengar?
Jika hal tersebut ditanyakan kepada Anda, kira-kira Anda akan menjawab apa?
Jika Anda menjawab: Tidak. Berarti Anda telah menentukan bahwa Allah
melihat dan mendengar, tetapi tidak sama seperti melihat dan
mendengarnya manusia. Pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana Anda tahu
bahwa Allah melihat dan mendengar, tidak sama seperti melihat dan
mendengarnya manusia?
Apakah Anda akan mengatakan: pokoknya ya begitu itu. Begitu? Ataukah
Anda akan mengatakan: Ada dalilnya dalam Alquran! Lho, bukankah yang
bertanya (orang kafir) tidak memiliki keimanan terhadap Alquran?
Jadi serba salah kan? Dijawab tidak, salah. Dijawab ya, juga salah. Tidak dijawab, juga salah. Terus bagaimana dong?
Mereka juga bertanya tentang perbuatan manusia; yaitu apakah manusia
yang menciptakan sendiri perbuatannya ataukah perbuatan manusia itu atas
kendali Allah? Misalnya, saya berbuat begini dan begitu, apakah itu
sudah takdir saya (ditakdirkan Allah) ataukah itu karena perbuatan saya
sendiri?
Mereka (para orang-orang sesat itu) pun bertanya kepada umat Islam
tentang konsep rezeki: apakah rezeki itu yang mendatangkan Allah ataukah
itu hasil dari jerih payah manusia sendiri dan tidak ada campur tangan
Allah?
Mereka bertanya kepada kaum muslimin tentang ajal: Apakah ajal itu
karena Allah atau karena disebabkan faktor yang lain? Seperti tertusuk
pedang, kecelakaan, dan lain sebagainya.
Bahkan mereka juga bertanya kepada kaum muslimin: Siapakah yang
berhak memberikan hidayah dan kesesatan? Apakah Allah atau manusia itu
sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya dicoba dijawab sebagai bentuk counter
atas pemikiran filsafat yang telah menyusup dalam benak kaum muslimin.
Kemudian mulailah muncul bantahan-bantahan dari kaum muslim. Kaum muslim
pun larut dalam kajian filsafat sesat Yunani. Niat baik mereka
terwarnai oleh aroma kesesatan filsafat Barat. Kemudian penyesatan itu
mulai berkembang menjadi kesesatan-kesesatan, yang kemudian memunculkan
pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini.
Misalnya tentang perbuatan manusia, apakah diciptakan Allah atau
manusia itu sendiri? Jika Allah yang menciptakan perbuatan manusia,
berarti Allah juga melakukan perbuatan-perbuatan buruk seperti
terjadinya penindasan, kezaliman, terjadinya kelaparan, korupsi,
pemerkosaan, pencurian, terjadinya ketimpangan sosial, terjadinya
pembunuhan, perzinaan, perampokan, dan penistaan. Jika benar bahwa Allah
yang menciptakan perbuatan manusia, berarti Allah telah berbuat jahat
juga. Apakah demikian?
Bagaimana menurut Anda? Sampai di sini, silahkan direnungkan terlebih dahulu.
Ada juga yang menyatakan bahwa rezeki itu berasal dari manusia
sendiri. Manusialah yang menentukan rezekinya. Manusia bekerja, maka
manusia akan mendapat upah. Dengan demikian, manusialah yang menentukan
rezekinya. Sebab, tanpa bekerja, manusia tidak akan dapat apa-apa. Tanpa
adanya usaha, manusia tidak akan mendapat apa-apa. Apakah demikian?
Bagaimana menurut Anda?
Ada yang lain. Misalnya tentang ajal. Bahwa manusia itu mati, karena
sebab-sebab yang menyertainya, misalnya mati tertimpa sesuatu, mati
karena jatuh dari tempat yang tinggi, atau yang lainnya. Intinya,
kejadian yang menyertai kematian seseorang, itulah sebab-sebab
kematiannya. Benarkah demikian?
Bagaimana menurut Anda? Silahkan kembali direnungkan pertanyaan di atas.
Juga pertanyaan-pertanyaan lain seperti petunjuk dan kesesatan.
Apakah petunjuk itu dianugerahkan oleh Allah atau petunjuk itu hasil
dari perbuatan manusia, atau karena yang lainnya? Demikian pula
kesesatan. Apakah ia diberikan oleh Allah, ataukah karena faktor
manusianya?
Pertanyaan-pertanyaan seputar ini semua, telah membingungkan kaum
muslim. Masing-masing kelompok (Muktazilah, Jabbariyah, dan Ahlussunnah
Asy’ariyah), telah terlibat dalam pembahasan dan perdebatan melelahkan
yang tidak bertepi.
Respon Kaum Muslimin
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitabnya Syakhshiyyah Al
Islamiyyah jilid I menjelaskan, ada dua alasan yang membuat kenapa kaum
muslim lebih memilih untuk mempelajari filsafat daripada memusatkan
perhatian mereka pada pengembangan dakwah Islam.
Pertama, selain mengajak pada ketauhidan, Alquran juga
memaparkan tentang aliran-aliran dan agama-agama yang telah tersebar
pada masa Nabi Muhammad saw. Tidak hanya itu. Alquran tidak hanya
memaparkan, tetapi juga menjelaskan kesalahan-kesalahan agama-agama
selain Islam. Alquran membantahnya.
Di antara kaum musyrik ada yang menjadikan bintang-bintang sebagai
tuhan dan menjadikannya sekutu bagi Allah. Alquran pun membantahnya. Di
antara mereka ada pula yang menyembah patung-patung dan mereka
menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah. Alquran pun membantahnya.
Sebagian mereka ada yang mengingkari kenabian. Alquran pun membantahnya.
Di antara mereka ada yang mengingkari kenabian Muhammad. Alquran pun
membantahnya. Sebagian mereka ada yang mengingkari hari kebangkitan.
Alquran pun membantahnya. Sebagian mereka ada yang menjadikan Nabi Isa
as. sebagai tuhan atau menjadikannya sebagai anak Allah. Alquran pun
membantahnya.
Tidak cukup dengan itu Rasulullah saw memerintahkan untuk berdebat dengan mereka.
“Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 46)
Hal ini pula yang membuat kaum muslim berupaya untuk mengkonter balik
pemikiran filsafat sesat Yunani. Karena itu merupakan hal yang wajar
jika mereka berdiskusi dengan para pemeluk agama lain dan mengajak
mereka terlibat dalam pergolakan pemikiran. Artinya, ketika ada
pihak-pihak yang ingin menikam pemikiran Islam, tentu akan ada
pihak-pihak yang mengkonternya. Siapa? Yaitu umat Islam itu sendiri.
Kedua, masuknya filsafat teologi Nasrani Nasathirah
(Nestorian) dan yang sejenisnya ke dalam pemikiran umat Islam, termasuk
juga logika (mantiq) Aristoteles. Hal ini memotivasi kaum
mutakallimin untuk mengkonter pendapat-pendapat mereka. Walaupun ‘niat
baik’ ini mereka lakukan, namun pada akhirnya mereka sendiri justru
tenggelam dalam berbagai kesalahan yang sangat fatal.
Akhirnya kaum muslim pun benar-benar mempelajari filsafat. Mereka pun
tenggelam dalam ‘keasyikan’ mempelajari filsafat Yunani itu. Tetapi
kaum mutakallimin (para ahli kalam), ketika mempelajari filsafat, bukan
semata-mata karena ingin mempelajarinya, atau karena kenikmatan
intelektual atau kelezatan ilmu. Tidak. Tetapi, mereka mempelajari
filsafat karena adanya dorongan untuk membantah tuduhan-tuduhan
pemikiran filsafat. Sebab, tidak mungkin membantah orang-orang Nasrani
dan Yahudi yang terpengaruh filsafat Yunani, kecuali dengan mempelajari
filsafat Yunaninya. Khususnya yang berhubungan dengan mantiq (logika).
Ini bukanlah pembelaan terhadap para ahli kalam. Tidak. Ini saya
hanya menunjukkan fakta saja bahwa untuk membantah orang-orang Nasrani
dan Yahudi yang terpengaruh filsafat Yunani, tanpa mempelajari filsafat,
tentu akan sulit, kalau tidak dikatakan tidak bisa. Itulah yang
mendorong mereka untuk mempelajari pemikiran-pemikiran asing serta
berbagai argumentasinya.
Tetapi celakanya, pemikiran-pemikiran filsafat yang dipelajari kaum
muslim, ternyata sangat mempengaruhi diri mereka dalam beristidlal
(berdalil) dan mempengaruhi sebagian pemikiran-pemikiran mereka.
Peristiwa ini benar-benar telah menimbulkan polemik yang berkepanjangan
di dalam tubuh umat.
Apa Itu Ilmu Kalam ?
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu kalam adalah pengetahuan yang berisi
berbagai argumentasi mengenai akidah keimanan berdasarkan dalil-dalil
rasional, serta kritik terhadap ahli bid’ah yang melakukan penyimpangan
teologis dari mazhab salaf dan ahlus sunnah.
Maksud dari ‘pengetahuan yang berisi berbagai argumentasi mengenai akidah’ meliputi semua bentuk pengetahuan, baik yang diperoleh dengan cara ma’qulah (penalaran) seperti mantiq (logika); apakah dengan teknik analogi atau tamtsil (permisalan), atau dengan penginderaan (mahsusah).
Kemudian yang dimaksud dengan ‘argumentasi mengenai akidah’ memiliki arti bahwa argumentasi yang digunakan dalam masalah tersebut tidak harus berupa argumentasi teologis yang qath’i (pasti, mutlak), tetapi kadangkala berbentuk zhanni
(dugaan) dan qath’i. Selain itu, definisi ini juga mengkhususkan
pembahasan ilmu kalam hanyalah dalam lingkup akidah, bukan syariah.
Kemudian batasan ‘dalil-dalil rasional’ menunjukkan kepada
kita bahwa akal-lah yang menjadi standar untuk menentukan (menghukumi).
Dengan kata lain, dalil naqli (Alquran dan sunah) merupakan dalil
pembenaran (yang membenarkan) segala argumentasi yang ada.
Penjelasan dari definisi ini, semuanya ditarik berdasarkan kenyataan
(realitas/fakta) yang ada dalam penerapan ilmu kalam itu sendiri, dimana
pembahasan ilmu kalam hanya berkutat pada persoalan akidah dan mengagungkan akal di atas dalil naqli.
Objek Pembahasan Ilmu Kalam
Dengan melihat realitas yang terjadi dalam pembahasan ilmu kalam di
antara mutakallimin, maka Muhammad Maghfur Wahid dalam bukunya Koreksi
atas Kesalahan Pemikiran Ilmu Kalam dan Filsafat Islam telah merinci
tentang objek kajian ilmu kalam. Objek-objek pembahasan ilmu kalam
antara lain sebagai berikut.
1) Permasalahan ma’rifah (pengetahuan) dan cara pembahasannya
Permasalahan ini membahas tentang pengetahuan-pengetahuan informatif,
khususnya yang dibawa oleh Rasul. Pembahasan tentang hal ini dilakukan
untuk membantah pandangan Thumamiyah dan Safsata’iyah yang menolak
pengetahuan informatif. Thumamiyah adalah salah satu sekte Muktazilah
yang dibawa oleh Thumamah bin Asyras An Namiri, yang memiliki pandangan
bahwa pengetahuan (al ma’rifah) itu bersifat pasti (dharuri),
sehingga siapa pun yang tidak mengenali Allah secara pasti, ia tidak
diperintahkan untuk mengenal-Nya dan juga tidak dilarang untuk
mengkufuri-Nya.
2) Permasalahan baru tidaknya alam
Hal ini dijadkan objek pemahasan ilmu kalam adalah untuk membuktikan
‘wujud’ Dzat Yang Maha Pencipta. Pembahasan ini dilakukan untuk
mengkonter pemikiran tentang materialisme. Materialisme menganggap bahwa
alam semesta itu bersifat qadim (dahulu). Maksudnya adalah bahwa alam
semesta itu sejak dahulu telah ada, tanpa ada yang menciptakannya.
3) Permasalahan keesaan Allah
Permasalahan keesaan Allah juga menjadi objek pembicaraan para ahli
kalam; apakah Allah itu esa (tunggal) ataukah jamak. Pembahasan ini
digunakan untuk mengkonter pandangan Tsanawiyah yang menyatakan bahwa
Tuhan itu ada dua, yaitu Tuhan cahaya dan Tuhan kegelapan. Tsanawiyah
adalah kelompok yang terpengaruh oleh agama Zoroaster (Zarathustra),
yang menyatakan bahwa alam semesta ini dikuasai oleh dua Tuhan, yaitu
Ahura Mazda (Tuhan atau Penguasa kebaikan/cahaya) dan Ahriman (Tuhan
atau Penguasa keburukan/kegelapan).
4) Permasalahan kesucian Zat Allah
Permasalahan ini membahas tentang Zat Allah, apakah memiliki sifat
sebagaimana sifat manusia ataukah Zat Allah itu suci dari segala
sifat-sifat manusia. Pembahasan tentang hal ini bertujuan untuk
membantah orang-orang Yahudi yang mensifati Tuhan mereka seperti sifat
manusia.
5) Permasalahan sifat-sifat Allah, apakah Zat Allah itu sama dengan sifat yang dimiliki Allah
Permasalahan ini dibahas oleh orang ahli kalam untuk membantah
orang-orang Muktazilah yang menganggap bahwa Allah tidak memiliki sifat
sebagaimana yang terdapat dalam Alquran. Sebenarnya, Muktazilah ingin
mensucikan Allah dari sifat seperti sifat makhluk (seperti melihat,
mendengar, berfirman, dan lain-lain), tetapi Muktazilah kebablasan.
Muktazilah ingin membantah pendapat orang Kristen yang terpengaruh
filsafat Yunani tentang sifat Tuhan aqnumiyah (tiga oknum yang berada
dalam satu jasad Tuhan), atau kita kenal dengan Trinitas. Dimana Tuhan
itu ada tiga pihak, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak (Yesus), dan Roh
Kudus.
6) Permasalahan kalam Allah; apakah kalam Allah itu huduts (baru) atau qadim (terdahulu)
Pembahasan ini terdapat dalam ilmu kalam. Pembahasan ini muncul,
karena terpengaruh oleh pandangan sesat orang Kristen mengenai Al Masih,
yang dianggap sebagai kalimatullah. Menurut orang-orang Kristen, Al
Masih adalah Tuhan. Sedangkan menurut Islam, Al Masih adalah
kalimatullah. Kemudian Yuhana Al Damsyiqi, berusaha membuat sintesis
dari pandangan Kristen dan Islam. Tujuan Yuhana adalah untuk
menjustifikasi (melakukan pembenaran) atas kosep teologinya (konsep
ketuhanannya).
Yuhana menyatakan: jika (menurut orang Islam) Al Masih adalah kalimatullah, dan kalimatullah adalah qadim, berarti Al Masih adalah qadim,
dengan demikian Al Masih adalah Tuhan. Dalam konteks inilah muncul
bantahan dari kalangan ulama’ seperti Ja’d bin Dirham, Jahm bin Shafwan
(Jabbariyah), Washil bin ‘Atha’ (Muktazilah) yang menyatakan bahwa kalam
Allah adalah makhluk dan bersifat baru.
7) Masalah kenabian
Permasalahan ini juga diangkat oleh kaum mutakallimin untuk membantah
sekte Sabi’ah dan Brahmana Hindu yang menolak kebutuhan manusia akan
adanya nabi.
8) Masalah kemaksuman para nabi
Ini juga dibahas oleh orang ahli kalam untuk membantah
pendapat-pendapat orang Yahudi, bahwa Nabi Muhammad itu tidak maksum
(suci), dan mengandung kelemahan-kelemahan.
9) Permasalahan tentang adanya tempat kembali
Ini juga turut dibahas untuk membantah agama Hindu yang menyatakan
adanya proses reinkarnasi. Jadi, manusia yang telah mati, suatu saat
akan dihidupkan kembali dalam ruang dan waktu yang berbeda.
10) Permasalahan jabr wal ikhtiyar (keterpaksaan dan kebebasan berkehendak)
Hal ini juga turut dibahas oleh orang-orang ahli kalam, untuk
mengkonter pendapapendpaat filosof Yunai seperti pemikiran kebebasan
berkehendak (freewill) yang dicetuskan oleh filosof Yunani,
Epicurus. Oleh karena itu pemikirannya disebut Epicurianisme
(Abiquriyyah). Epicurianisme menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak. Ini dibuktikan dengan adanya akal.
Juga berkaitan dengan paham fatalis yang dikemukakan oleh Zeno dengan
pahamnya Stoisisme, yang menyatakan bahwa perbuatan manusia itu
terikat. Artinya, manusia hanya memiliki keterpaksaan dan tidak memiliki
kebebasan berkehendak.
Demikianlah objek pembahasan ilmu kalam. Objek pembahasan ini terlalu
jauh sehingga membuat orang-orang mutakallimin semakin jauh menyimpang
dari jalan yang seharusnya. Untuk mengetahui kesalahan-kesalahan para
mutakallimin, kita juga harus mengetahui metode-metode yang digunakan
untuk membahas berbagai objek-objek di atas.
Metode Mutakallimin
Secara umum, metode yang digunakan oleh para mutakallimin alam ilmu kalam adalah sebagai berikut.
a. Mantiq (logika)
Metode ini, bisa dikatakan sebagai metode yang mendominasi berbagai
pembahasan dalam ilmu kalam. Jadi, objek-objek yang dijadikan pembahasan
dalam ilmu kalam, kebanyakan dipahami dengan menggunakan metode mantiq
(logika). Apa itu logika? Logika adalah suatu pengumpulan
informasi-informasi yang satu dengan informasi yang lain untuk
menghasilkan suatu kesimpulan (natijah). Masing-masing
informasi ini sering disebut dengan premis. Premis yang pertama
kadang-kadang disebut dengan premis mayor sedangkan premis yang kedua
disebut premis minor.
Contoh:
Premis pertama menyatakan bahwa pensil itu terbuat dari kayu. Premis
kedua menyatakan bahwa kayu itu bisa terbakar. Jadi kesimpulannya,
pensil bisa terbakar. Contoh lain: premis pertama menyatakan bahwa semua
hewan akan mati. Kemudian premis kedua menyatakan bahwa anjing adalah
hewan. Kesimpulannya (natijah-nya) adalah, bahwa anjing akan mati.
Contoh yang lain:
Amerika adalah negeri kapitalis. Penjajahan adalah metode baku negeri
kapitalis untuk memperbesar negerinya. Kesimpulannya, Amerika adalah
penjajah.
Mantiq (logika) ada tiga jenis, yaitu istiqra’ (induksi), istintaj (deduksi), dan butlanul dalil yu’dhin bi butlanul madlul. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Istiqra’ (induksi), kaidah ini merupakan kaidah penarikan
kesimpulan, dari bagian-bagian tertentu (khusus) kepada keseluruhan
(umum). Contoh: Agus Trisa adalah manusia. Manusia akan mati. Jadi, Agus
Trisa pasti akan mati.
Istintaj (deduksi), kaidah ini adalah kaidah logika bentuk
penarikan kesimpulan dari keseluruhan (umum) kepada bagian-bagian
(khusus). Misalnya: Semua manusia akan mati. Agus Trisa adalah manusia.
Jadi, Agus Trisa juga pasti akan mati.
Sedangkan butlanul dalil yu’dhin bi butlanul madlul, adalah
suatu pengambilan kesimpulan yang salah akibat ketiadaan atau kesalahan
informasi yang mendukungnya. Dalam kasus ini, ada dua tahapan untuk
membuktikannya. Pertama, menetapkan argumentasi pembuktian yang
digunakan. Kedua, menetapkan kesalahan bukti yang membuktikannya.
Contoh:
anak yang mendapat ranking satu, adalah anak yang pintar. Kesimpulan
ini salah. Mengapa? Sebab, bertentangan dengan fakta (realitas). Untuk
menjadi ranking satu, tidak melulu harus pintar. Mencontek, kerja sama
dengan teman, menyuap guru, juga bisa mengantarkan seorang anak menjadi
ranking satu. Ini tahapan yang pertama.
Tahapan kedua menyatakan, bahwa anak yang pintar tidak harus nomor
ranking satu. Lihatlah, betapa banyak anak-anak yang rankingnya tidak
pernah mendapat satu, ternyata juga bisa pintar dalam berbagai hal.
Contoh lain.
Pemerintahan demokrasi, bukanlah pemerintahan diktator. Kesimpulan
ini salah. Mengapa? Apa kira-kira jawaban Anda? Ya, jelas saja salah.
Sebab, pemerintahan sistem negara khilafah itu bukan demokrasi, tetapi
juga tidak diktator. Ini tahapan yang pertama.
Pada tahapan yang kedua, Indonesia itu mengaku sebagai negara
demokrasi, tetapi jika ada pihak-pihak yang berbeda pandangan, selalu
dituduh teroris atau mengancam keutuhan NKRI. Ini adalah
tindakan-tindakan diktatorisme.
Jadi, kesimpulan dari kaidah butlanul dalil yu’dhin bi butlanul madlul,
adalah bahwa tahapan pertama bermakna menjelaskan bukti fakta. Dan
tahapan kedua, menjelaskan tentang bantahan atas argumentasi pada
tahapan pertama.
b. Analogi/membandingkan (Qiyas)
Ini juga merupakan metode yang digunakan para mutakallimin dalam ilmu
kalam. Metode ini adalah dengan cara membandingkan satu kasus dengan
kasus yag lain, kemudian mengambil kesimpulan. Ketika ada persamaan
antara kedua kasus, berarti ada kemungkinan kedua kasus juga memiliki
kesamaan dalam ciri-ciri yang lain.
Dalam ilmu kalam, metode analogi/perbandingan (qiyas) ini dibagi menjadi beberapa bagian.
Pertama: Qiyasul ghaib ‘alal syahid
Analogi ini ingin menyamakan antara sesuatu yang gaib (nomena) dengan
sesuatu yang tampak (fenomena), tetapi tidak semata-mata memiliki
kesamaan sifat (ciri-ciri). Maksudnya adalah, kedua kasus (hal yang
dibandingkan), bukan semata-mata memiliki kesamaan ciri-ciri, tetapi
juga harus memiliki kesamaan ‘illat antara yang gaib dengan yang tampak.
Contoh:
Allah memiliki sifat. Semua sifat, sama dengan zat-Nya. Maka sifat
Allah, sama dengan zat-Nya. Contoh lain: Jin itu (dari sisi keimanannya)
ada yang muslim ada yang kafir. Manusia itu (dari sisi keimanannya)
juga ada yang muslim dan yang kafir. Maka jin dan manusia itu memiliki
kesamaan, dari sisi keimanannya.
Kedua, Qiyasul aula
Kaidah ini merupakan bentuk pengambilan kesimpulan dengan
menganalogikan ciri-ciri persamaan antara kasus satu dengan yang lain.
Caranya: yaitu dengan melebihkan salah satu dari keduanya, karena
kedudukannya yang lebih dibandingkan yang lain.
Misalnya: analogi (perbandingan) antara yang diciptakan dengan yang menciptakan.
Contoh:
robot mampu melakukan perbuatan-perbuatan manusia. Maka berarti,
manusia lebih bisa melakukan berbagai perbuatan-perbuatan melebihi
robot. Sebab, robot diciptakan manusia, dan manusia adalah pencipta
robot.
Contoh lain:
manusia mampu menguasai alam. Maka pastinya, Allah lebih mempunyai
kemampuan untuk menguasai alam. Mengapa? Sebab, manusia adalah ciptaan
Allah, dan Allah yang menciptakan manusia.
Ketiga, Qiyas syumuli
Ini merupakan bentuk pengambilan kesimpulan melalui adanya persamaan
pada bagian (yang khusus) pada kasus tertentu yang digunakan untuk
menarik kesimpulan secara umum, bahwa semua kasus tersebut adalah sama.
Contoh:
Kristen adalah agama yang tidak memiliki sistem kehidupan. Islam juga
agama, sama dengan Kristen. Jadi, kesimpulannya, Islam juga tidak
memiliki sistem kehidupan.
Keempat, Qiyasul ikhraj
Qiyas ini merupakan pengambilan kesimpulan dengan mengambil
perbedaan dari ciri-ciri persamaan antara kasus-kasus yang dianggap sama
untuk membantah, bahwa keduanya adalah sama.
Misalnya: Jika Islam merupakan agama yang mengajarkan kehidupan
dunia, sedangkan Kristen sebagai agama tidak mengajarkan hal tersebut,
maka dalam konteks agama, Islam tidak dapat disamakan dengan Kristen.
Kelima, Qiyasul talazum
Ini merupakan bentuk pengambilan kesimpulan berdasarkan hasil analogi
terhadap segala hal yang membawa konsekuensi dalam segala keadaan.
Contoh:
Jika manusia adalah makhluk, konsekuensi logisnya adalah, bahwa
manusia pasti diciptakan oleh yang lain. Dan karena itu, pasti ada
pencipta yang menciptakannya.
c. Naqliyyah-zhanniyyah
Metode ini memungkinkan para ahli kalam untuk mengambil dalil-dalil akidah dari dalil-dalil yang bersifat zhanniyyah. Zhanniyyah itu ada dua, zhanniyyuts tsubut dan zhanniyyud dalalah.
Pertama, zhanniyuts tsubut
Maksudnya adalah dalil yang digunakan berasal dari dalil yang zhanni
sumbernya. Artinya, sumbernya bersifat dugaan, tidak pasti, dan masih
ada kemungkinan untuk diperdebatkan. Ini berarti, para ahli kalam juga
membahas masalah akidah dari dalil-dalil, selain Alquran dan hadis
mutawatir.
Contoh: Imam Al Asyari, yang mengaku sebagai kelompok Ahlussunnah
menggunakan hadis ahad yang sanadnya bersumber dari Umar bin Khathab
untuk menjelaskan tentang ‘tangan’ Allah.
“Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya, lalu mengusap
belakangnya dengan tangan-Nya, kemudian mengeluarkan daripadanya
zuriyyat-nya.” (HR. Abu Dawud)
Kedua, zhanniyyud dalalah
Maksudnya adalah bahwa dalil-dalil yang digunakan para ahli kalam
memiliki makna yang masih bisa diperdebatkan, sekali pun sumbernya
bersifat qath’i (pasti, mutlak) atau mutawatir. Dalam kasus ini, para ahli kalam banyak menggunakan ayat-ayat mutasyabihat.
Contoh:
Imam Al Asyari menggunakan ayat Alquran yang bermakna zhanni (dugaan) untuk menjelaskan ‘mata’ Allah.
“Dan bersabarlah (dalam menunggu) keputusan Tuhanmu, sebab sesungguhnya kamu dalam pengawasan Kami.” (QS. At Thur: 48)
d. Ta’wil
Ini juga merupakan metode yang khas yang digunakan oleh para
mutakallimin untuk membahas masalah akidah. Menurut Imam Al Jurjani, ta’wil
berarti mengalihkan makna lafal, dari makna lahir kepada makna yang
dikehendaki. Maksud makna lahir adalah makna yang apa adanya.
“(Dia) mengeluarkan makhluk yang hidup dari benda mati.” (QS. Al An'am: 95)
Jika diartikan dengan “(Dia) mengeluarkan burung-burung dari telur”
berarti itu merupakan bentuk tafsir. Tetapi jika ayat itu diartikan
“(Dia) mengeluarkan orang mukmin dari kekufuran, atau mengeluarkan orang
alim dari kebodohan” ini merupakan ta’wil. Karena itu, hasil pena’wilan antara satu orang dengan orang lain, selalu berbeda.
Demikianlah beberapa metodologi yang digunakan oleh para ahli kalam
untuk mengokohkan pandangan-pandangannya dalam bidang akidah. Dengan
memperhatikan metode pembahasan dan objek yang dibahas, maka kita akan
bisa memberikan penilaian, apakah metodologinya benar dan objek
pembahasannya benar ataukah salah; jika kita sudah mempelajari
batasan-batasan akal. Lalu apa hubungannya dengan pembahasan tentang
akal? Ingat, asas yang digunakan para mutakallimin tidak terlepas dari
peran akal. Bahkan ini yang paling mendasar. Oleh karena itu, kita juga
harus membahas tentang hakikat akal. Agar kita bisa mengetahui letak
kesalahan-kesalahannya.
Akal Manusia Terba
Mengapa kita perlu membahas hakikat akal dan proses berpikir, sebelum
menjelaskan kesalahan-kesalahan mutakallimin? Sebab, yang akan kita
bahas adalah sesuatu yang memang memerlukan proses pemikiran. Ingat,
asas mereka (para mutakallimin) dalam membahas berbagai objek-objek di
atas adalah dengan menggunakan akal. Maka kita harus memahami hakikat
akal, agar kita tidak terjebak dalam pengagung-agungan akal. Di sini
kita juga akan menunjukkan kesalahan metode berpikir orang-orang
Komunis.
Kita sadar bahwa dalam kehidupan ini hanya ada dua pihak, yaitu Yang
Menciptakan dan yang diciptakan. Allah adalah pihak yang menciptakan,
maka Allah disebut Al Khalik. Sedangkan manusia, alam semesta, dan
kehidupan adalah pihak yang diciptakan, maka ketiganya disebut dengan
makhluk. Al Khalik memiliki sifat yang berbeda dengan sifat makhluk.
Jika makhluk bersifat lemah, terbatas, dan membutuhkan, maka Al
Khalik bersifat berlawanan; yaitu tidak lemah, tidak terbatas, dan tidak
membutuhkan. Atau dengan kata lain, Al Khalik memiliki sifat Maha
Sempurna.
Demikian pula dengan makhluk. Makhluk, memiliki sifat lemah terbatas,
dan serba membutuhkan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dihasilkan
makhluk hidup dan segala yang berkaitan dengan makhluk hidup, selalu
bersifat lemah, terbatas, dan membutuhkan. Jadi, akal manusia (secerdas
apa pun manusia) akan tetap lemah, dan terbatas.
Kelemahan akal, terlihat pada sesuatu yang hanya bisa dijangkau
indera. Artinya, segala sesuatu yang bisa diindera manusia, pasti bisa
dijangkau akal (bisa dipikirkan). Tetapi jika ada sesuatu yang tidak
bisa dijangkau indera manusia, tentu tidak akan bisa dijangkau akal
(tidak akan bisa dipikirkan). Karena tidak bisa dijangkau akal, maka
sekeras apapun usaha akal manusia untuk memikirkannya, tetap tidak akan
bisa menghasilkan apapun.
Lalu, apa saja yang bisa diindera manusia? Tidak lain adalah makhluk
hidup, yang meliputi alam semesta, manusia, dan kehidupan. Ketiga hal
tersebut bisa dijangkau akal. Oleh karena itu bisa dipikirkan, baik
berkaitan dengan substansinya atau yang lainnya. Ketiganya juga
merupakan fakta terindera. Dengan adanya fakta terindera itulah, akal
berfungsi. Jika tidak ada fakta terindra, maka tidak akan terjadi proses
berpikir. Ya jelas saja. Kalau tidak ada fakta terindera atau objek
yang akan dipikirkan, Anda mau memikirkan apa? Jika Anda nekat
memikirkan sesuatu yang tidak bisa diindera, berarti Anda sedang
berkhayal.
Lalu apa yang dimaksud dengan akal?
HAKIKAT AKAL
Kata Al ‘Aql (akal), dalam bahasa Arab, satu makna dengan kata Al Idrak (kesadaran) atau Al Fikr
(pemikiran). Akal merupakan sebuah kemampuan (keistimewaan) yang
diberikan Allah kepada otak manusia. Otak manusia mempunyai keistimewaan
untuk mengaitkan fakta yang terindera dengan informasi yang dimiliki.
Ini berbeda dengan otak hewan. Otak hewan tidak memiliki kemampuan
(potensi) untuk mengaitkan realitas dengan informasi yang dimiliki.
Oleh karena itu, hewan (binatang) tidak dapat diajari tingkah laku
seperti sopan-santun. Padahal hewan memiliki otak, indera, mampu
menerima informasi, dan diberikan fakta. Tetapi tetap saja hewan tidak
bisa berpikir.Ini semua terjadi, karena hewan memang tidak bisa
mengaitkan antara fakta terindera dengan informasi yang dimilikinya.
Inilah perbedaan antara otak manusia dengan otak hewan.
Jadi, Anda salah, ketika Anda membahas akal, tetapi akal yang Anda
maksud adalah organ fisik yang berada di dalam kepala. Atau juga
menyatakan bahwa akal ada di dalam dada dengan argumen bahwa ‘hati ada
di dalam dada’. Mengapa salah? Karena fakta membuktikan bahwa hewan juga
mempunyai ‘hati’ yang ada di dalam tubuh mereka, namun hewan tetap
tidak mampu menghukumi sesuatu.
Karena itu, yang dimaksud dengan akal adalah ‘kekuatan untuk
menghasilkan keputusan (kesimpulan) tentang sesuatu’. Kekuatan ini bukan
merupakan kerja satu organ tubuh manusia, seperti otak, sehingga akal
dianggap sama dengan otak, lalu disimpulkan bahwa akal tempatnya ada di
kepala atau di dada. Ini kesimpulan yang salah. Jadi, yang terjadi pada
akal manusia adalah transformasi objek (fakta terindera) ke dalam otak
dalam bentuk memori.
Kesalahan Orang Komunis Dalam Memahami Hakikat Berfikir
Ini berbeda dengan pemahaman orang Sosialis dan Komunis. Mereka
menganggap bahwa proses berpikir adalah refleksi objek (fakta terindera)
ke dalam otak. Orang-orang Komunis mengatakan, akal merupakan kekuatan
yang dihasilkan melalui proses merefleksikan/memantulkan realitas/fakta
ke dalam otak atau otak.
Mereka (orang-orang Komunis) sengaja menolak informasi awal ketika
memberikan gambaran mengenai akal. Sebab, jika informasi awal ini masuk
dalam pembahasan proses berpikir, berarti ada pihak yang memberikan
informasi. Padahal, menurut mereka, yang disebut ‘pihak’ itu tidak ada.
Oleh karena itu, mereka menyusun argumentasi, bahwa akal merupakan
kekuatan hasil refleksi/pemantulan. Lalu, benarkah akal merupakan
kekuatan hasil refleksi otak ke dalam realitas atau sebaliknya?
Jawabannya, jelas tidak.
Sebab, otak maupun fakta terindera, sama-sama tidak dapat melakukan
refleksi atau pantulan layaknya cermin. Yang membawa pantulan objek ke
dalam otak sebenarnya adalah, indera. Ini terbukti ketika indera yang
digunakan untuk menangkap objek itu adalah mata, maka memori yang
tersimpan dalam otak adalah gambar (visual). Berbeda ketika yang
menangkap objek tadi adalah hidung, seperti bau busuk, maka memori yang
terekam dalam otak berbentuk bau busuk. Juga berbeda ketika objek yang
ada ditangkap dengan telinga, seperti bunyi mobil, maka memori yang
tersimpan dalam otak pun berbentuk bunyi. Demikian seterusnya.
Dengan pandangan tersebut, sebenarnya intelektual Sosialis mengakui
bahwa komponen akal yang dapat digunakan untuk berfikir tersebut adalah:
(1) otak, (2) realitas yang dapat diindera, dan (3) penginderaan, yang
mereka sebut dengan “refleksi”.
Sedangkan alasan orang-orang Komunis menolak adanya informasi awal,
sebenarnya lebih disebabkan karena akidah mereka yang tidak mengakui
eksistensi Tuhan. Sebab, mengakui adanya informasi awal, berarti
mengakui bahwa adanya pemikiran lebih dahulu dibanding dengan adanya
realitas (fakta terindera). Dari sini akan muncul pertanyaan; dari mana
datangnya pemikiran manusia yang pertama?
Sebab, kalau hal itu diakui, berarti harus ada ‘Sesuatu’ di luar diri
manusia yang memberikan pemikiran tersebut, dan ‘Sesuatu’ itu juga
bukan merupakan realitas itu sendiri. Tentu saja ini bertentangan dengan
akidah mereka yang menyatakan, bahwa alam atau realitas yang ada adalah
azali, tidak memerlukan ‘Sesuatu’ di luar dirinya. Dengan demikian
mereka membuat pengandaian, bahwa manusia pertama telah melakukan
eksperimen untuk mendapatkan informasi.
Hakikat Proses Berfikir
Berkaitan dengan hal di atas, pertanyaannya adalah: Benarkah manusia
bisa berpikir tanpa adanya informasi awal? Kita uji. Anak kecil memiliki
otak yang tidak sempurna. Otak dari anak kecil itu tidak bisa digunakan
untuk mengaitkan informasi awal dengan fakta terindera. Kalau pun bisa,
itu masih belum sempurna. Akibatnya, anak kecil itu tidak bisa
membedakan fakta yang sedang diinderanya. Misalnya, anak kecil yang
belum tahu apa-apa itu, dikasih sebuah granat di tangan kiri dan roti di
tangan kanan. Kemudian, kita katakan kepadanya bahwa yang ada di tangan
kiri itu adalah roti (bukannya granat), sedangkan yang ada di tangan
kanan adalah granat. Maka, di lain waktu, dia akan mengatakan bahwa roti
adalah granat, dan granat adalah roti.
Coba, Anda suruh anak kecil itu melempar rotinya kepada Anda. Pasti
Anda akan lari. Kenapa? Sebab yang dilemparnya, adalah granat.
Jadi, mau tidak mau memang harus ada informasi awal untuk bisa
menghukumi atau mengambil sebuah keputusan. Gambaran ini terlihat dari
penjelasan Allah kepada Malaikat, ketika mereka memprotes Allah SWT
terhadap penciptaan Adam. Menurut mereka, manusia hanya akan menimbulkan
kerusuhan di muka bumi. Allah kemudian membantah seraya menyatakan:
“Aku Maha Tahu tentang apa yang kamu tidak tahu.” Allah pun kemudian
membuktikan pernyataan-Nya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian
mengajukannya kepada Malaikat seraya berfirman: ‘Beritahukanlah
kepada-Ku nama-nama mereka semuanya jika kamu benar (dengan tuduhan
kamu, bahwa kamu lebih tahu).” Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau, kami
tidak mempunyai ilmu sedikit pun, kecuali apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Bijaksana.’ Dia
berfirman: ‘Wahai Adam, sampaikanlah kepada mereka nama-nama mereka
semua.’ Apabila Adam selesai menyebutkan kepada mereka nama-nama
semuanya itu, Dia berfirman: ‘Bukankah Aku telah beritahukan kepada
kamu, bahwa Aku Maha Tahu perkara gaib di langit dan di bumi, serta Maha
Tahu apa yang kamu kemukakan dan apa yang kamu sembunyikan.” (QS. Al Baqarah: 31-33).
Ayat di atas, dengan jelas membuktikan, bahwa malaikat tidak bisa
membuat kesimpulan mengenai realitas (objek) yang ditunjukkan oleh
Allah, sedangkan Adam dapat melakukannya setelah Adam diberi informasi
oleh Allah, sedangkan malaikat tidak diberi informasi terlebih dahulu
oleh Allah. Dengan demikian jelas, bahwa tidak ada satu pun manusia yang
dapat mengambil kesimpulan tanpa mempunyai informasi awal.
Jadi, ada empat unsur untuk terbentuknya sebuah pemikiran, yaitu (1)
Akal atau otak yang sehat, (2) Indera yang sehat, (3) Objek atau fakta
terindera, dan (4) Informasi awal.
Contoh sekali lagi, mungkin akan memantapkan Anda. Misalnya di
hadapan kita ada sebuah handphone. Pertanyaannya: mengapa kita
menamakannya handphone, bukan sepatu? Kita bisa menghukumi bahwa itu
adalah handphone, karena kita telah mendapatkan informasi sebelumnya
bahwa sebuah benda dengan wujud seperti itu dan dengan fungsi seperti
itu adalah handphone, bukannya sepatu.
Objek ada. Indera kita juga sehat. Akal kita juga sehat. Informasi
awal kita miliki. Pada awalnya indera kita melihat sebuah fakta
(handphone). Kita kemudian memindahkan memori tentang fakta itu ke dalam
otak kita. Setelah itu kita mengasosiasikan (mengaitkan) dengan
informasi awal yang kita miliki. Maka jadilah kita mengambil kesimpulan,
bahwa benda yang ada di depan mata kita adalah handphone. Jadi, kita
hanya memang bisa memikirkan sesuatu yang memang bisa diindera. Inilah
metode berpikir rasional.
Namun demikian, terdapat sejumlah objek yang mempunyai fakta, tetapi
hakikat zatnya tidak bisa kita pindahkan ke dalam otak dalam bentuk
memori. Tetapi, pengaruh atau bekas dari fakta itu bisa diindera manusia
dan bisa ditransfer ke dalam otak melalui proses penginderaan. Pada
kasus yang seperti ini, kita bisa memikirkannya. Akan tetapi, proses
berpikir yang terjadi, hanya terbatas pada eksistensi (keberadaan) dari
objek itu. Bukan fakta atau zat dari objek itu. Mengapa? Sebab, yang
ditransfer hanyalah bekas atau pengaruh dari objek tersebut. Bukan
hakikat dari objek tersebut.
Contoh:
Saat ini, Anda ada di dalam rumah. Kemudian Anda mendengar suara
pesawat terbang. Sekali pun Anda tidak bisa melihat pesawatnya, tetapi
Anda sudah berkesimpulan bahwa ada pesawat terbang yang sedang melintas.
Darimana? Tentu dari bekas atau pengaruh yang ditimbulkannya. Apa itu?
Yaitu suara pesawatnya. Ya kan?
Contoh lagi: Suatu ketika, Anda pulang dari bepergian, kemudian Anda
melihat jalan-jalan basah, sungai mengalir deras airnya, pepohonan
basah, genting-genting rumah tetangga basah, dan dimana mana basah. Apa
kesimpulan Anda? Pasti habis ada hujan. Tentu saja, hujan habis turun.
Mengapa? Ya jelas saja, bekas atau pengaruhnya bisa kita indera.
Sekalipun kita tidak melihat hujannya, tetapi kita bisa berkesimpulan
bahwa hujan memang ada, dari bekas yang ditimbulkannya.
Dengan demikian, kesimpulan yang kita dapat dari pembahasan tentang akal adalah:
1) Akal manusia terbatas pada hal-hal yang bisa diinderanya, dan
bekas-bekas dari keberadaan sesuatu, sekalipun hakikatnya tidak bisa
diindera.
2) Akal manusia tidak akan bisa membahas sesuatu yang tidak bisa diindera
3) Secerdas apa pun manusia, akal manusa tetap terbatas.
Kesalahan-Kesalahan Metode Mutakallimin
Dengan melihat realitas metodologi ilmu kalam dan fakta akal, maka
kita bisa memberikan penilaian-penilaian atas kesalahan-kesalahan mereka
(para mutakallimin). Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya
Syakhshiyyah Al Islamiyyah telah menjelaskan kesalahan-kesalahan para
ahli kalam. Kesalahan-kesalahan itu antara lain sebagai berikut.
1. Penggunaan mantiq (logika) sebagai metode berpikir
Memang benar, logika sangat berhubungan dengan pemikiran. Akan tetapi
menjadikan logika sebagai metode berpikir, itu tidak benar. Dan kaum
mutakallimin justru menggunakannya. Metode berpikir yang benar adalah
sebagaimana yang telah disampaikan di atas, yaitu melalui penginderaan
terhadap fakta kemudian mengaitkannya dengan informasi awal. Dari
sanalah diambil kesimpulan.
Tetapi tidak bagi mantiq. Mantiq (logika) memang bisa menghasilkan kesimpulan yang benar. Tetapi mantiq
juga bisa menghasilkan pada kesimpulan yang salah. Apalagi, ilmu kalam,
fokusnya membahas tentang akidah. Padahal, akidah harus menghasilkan
sesuatu yang benar, bukan sesuatu yang salah.
Kita ambil contoh di atas: Pensil itu terbuat dari kayu. Kayu bisa
terbakar. Kesimpulannya, pensil bisa terbakar. Ini kesimpulan yang
benar. Tetapi coba perhatikan contoh sesat berikut ini: Alquran adalah
kalamullah yang diturunkan dalam bahasa Arab. Bahasa Arab adalah sesuatu
yang sifatnya baru (hadist). Padahal, sesuatu yang baru adalah makhluk.
Kesimpulannya: Alquran adalah makhluk! Na’udzubillah..
Sekalipun dengan mantiq (logika) pula kita bisa mengambil
kesimpulan yang benar. Contoh: Alquran itu adalah kalam Allah dan itu
merupakan sifat bagi-Nya. Segala hal yang merupakan sifat Allah itu
adalah qadim (terdahulu/kekal). Maka kesimpulannya adalah bahwa Alquran itu qadim (terdahulu/kekal), bukan makhluk.
Anda bisa melihat kan? Betapa sangat jelas terdapat kontradiksi di dalam mantiq
pada topik permasalahan yang sama. Demikian pula di dalam banyak hal
yang mengikuti runutan sistematika logika rasio di atas rasio akan
menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang kontradiktif dan sangat aneh.
Kadang-kadang suatu premis itu benar, tetapi faktanya salah, dan
disangka premis itu benar. Lalu bisa juga, kesimpulannya benar tetapi
premis-premisnya salah. Sehingga kesimpulan tersebut diduga benar,
karena runutan atau sistematikanya juga benar.
Contohnya begini:
Penduduk Spanyol bukan muslim (ini premis pertama). Dan setiap negeri
yang penduduknya bukan muslim, bukanlah negeri Islam (ini premis
kedua). Maka kesimpulannya Spanyol itu bukanlah negeri Islam. Kesimpulan
ini salah. Kesalahan muncul dari kesalahan premis yang kedua. Perkataan
‘setiap negeri yang penduduknya bukan muslim bukanlah negeri Islam’
adalah pernyataan yang salah, karena suatu negeri termasuk negeri Islam
apabila diperintah dengan hukum-hukum Islam atau apabila mayoritas
penduduknya muslim. Jadi, kesimpulan tersebut salah karena Spanyol
adalah negeri Islam.
Contoh lain:
Amerika adalah negeri yang aspek ekonominya maju (ini premis
pertama). Setiap negara yang aspek ekonominya maju adalah negara yang
(mampu) bangkit (ini premis kedua). Maka kesimpulannya adalah Amerika
negara yang (mampu) bangkit. Kesimpulan ini benar, jika disandarkan
kepada Amerika. Padahal salah satu premisnya tidak benar. Kenyataannya
(faktanya), tidak setiap negara yang maju aspek ekonominya itu adalah
negara yang (mampu) bangkit. Negara yang (mampu) bangkit adalah negara
yang maju aspek pemikirannya. Dari sini muncul dugaan dari premis yang
menghasilkan kesimpulan benar bahwa premis-premis yang menyusunnya itu
adalah benar. Maka muncul pula anggapan bahwa Kuwait, Qatar, Saudi
Arabia, masing-masing adalah negeri yang (mampu) bangkit, karena aspek
ekonominya maju. Padahal sebenarnya negeri-negeri tersebut tidak
tergolong negeri-negeri yang (mampu) bangkit.
Sehingga, kesalahan pertama ini hendaknya tidak membuat kita
terperosok ke dalam lubang-lubang pemikiran yang tidak benar. Ingat,
hanya dengan metode berpikir rasional (sebagaimana telah dijelaskan di
atas), akidah Islam dibangun secara kokoh, bukan dengan mantiq (logika).
2. Para Mutakallimin telah membandingkan antara sesuatu yang gaib dengan yang bisa diindera
Kesalahan para mutakallimin selanjutnya adalah mereka berani membahas
sesuatu yang memang tidak bisa diindera. Sebagaimana telah kita bahas
bersama, bahwa akal manusia hanya bisa membahas segala sesuatu yang bisa
diindera. Artinya, segala sesuatu yang bisa diindera itu bisa
dipikirkan. Tetapi para ahli kalam telah jauh tersesat, ketika mereka
‘ditantang’ orang Kristen untuk membahas Zat Allah, justru mereka (para
hali kalam itu) ikut larut membahasnya. Padahal, yang bisa kita jangkau
(bisa kita pikirkan) hanyalah keberadaan Allah saja, sedangkan Zat-Nya
atau sifat-Nya, jelas tidak akan bisa dibahas.
Mereka mencampuradukkan antara sesuatu yang tidak bisa diindera (yang gaib) dengan sesuatu yang bisa diindera (syahid,
dapat disaksikan). Maksudnya adalah mereka (para ahli kalam itu)
mensifati Allah sebagaimana mereka mensifati manusia. Mereka mewajibkan
atas Allah sifat adil seperti yang dibayangkan oleh manusia di dunia,
mengharuskan Allah untuk melakukan perbuatan baik, bahkan sebagian
mereka mewajibkan kepada Allah untuk melakukan sesuatu yang paling baik,
karena Allah bersifat Hakim (Maha Bijaksana), tidak melakukan suatu
perbuatan kecuali karena suatu tujuan atau hikmah.
Perbuatan yang tidak memiliki tujuan adalah kebodohan dan sia-sia.
Sedangkan orang yang bijaksana adalah yang memberi kebaikan (manfaat)
kepadanya atau kepada orang lain. Karena Allah itu terbebas (Maha Suci)
dari mengambil manfaat (untuk diri-Nya), maka berarti Dia melakukan
suatu perbuatan agar orang lain dapat mengambil manfaatnya.
Inilah yang menyebabkan mereka berkutat membahas perkara yang tidak
bisa diindera dan tidak mungkin bisa ditentukan hukumnya melalui proses
akal. Mereka terperosok di dalam perkara tersebut. Mereka lengah bahwa
perkara yang bisa diindera itu dapat dijangkau, sedangkan Dzat Allah
tidak bisa dijangkau. Karena itu tidak bisa diperbandingkan salah satu
di antara keduanya terhadap yang lainnya.
Karena itu tidak benar menganalogikan Allah dengan manusia, dan tidak boleh mewajibkan (memaksakan) sesuatu kepada Allah.
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy Syura: 11)
3. Memberikan kebebasan kepada akal untuk membahas segala sesuatu, termasuk yang tidak dapat diindera
Ini menjadi salah satu kesalahan ahli kalam, karena mereka tidak
mengetahui hakikat batasan akal. Sesuatu yang tidak bisa diindera, tidak
akan bisa dipikirkan. Tetapi para ahli kalam, telah memberikan
kebebasan kepada akal untuk membahas segala hal, baik yang bisa diindera
maupun yang tidak bisa diindera. Akibatnya, mereka tenggelam dalam
berbagai khayalan-khayalan konyol yang tidak berujung pangkal, selain
berhenti pada kesalahan-kesalahan yang berlawanan dengan fakta.
Contohnya:
Mereka membahas Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya. Sebagian mereka
mengatakan bahwa sifat itu hal yang lain dan dzat itu hal yang lain
lagi. Sehingga, sifat dan dzat adalah dua hal yang berbeda.
Pembahasan ini adalah pembahasan yang tidak bisa dijangkau oleh
indera. Pembahasan ini adalah pembahasan atas suatu perkara yang gaib,
sehingga membahasnya, justru akan menghasilkan kesia-siaan belaka.
Karena itu, akal tidak diperbolehkan membahas hal yang seperti ini, atau
yang sejenisnya.
4. Menjadikan akal sebagai dasar (asas) untuk membahas persoalan apapun tentang keimanan
Sebagai konsekuensinya, mereka menjadikan akal sebagai asas bagi
Alquran, bukan menjadikan Alquran sebagai asas bagi akal. Mereka
menjadikan akal sebagai hakim (penentu) terhadap ayat-ayat yang terkesan
‘kontradiktif’ dan menjadikan akal sebagai ukuran untuk ayat-ayat
mutasyabihat. Mereka kemudian melakukan ta’wil atas ayat-ayat yang tidak sesuai dengan pendapat-pendapat mereka. Akhirnya, ta’wil
dalam ayat-ayat akidah pun menjadi salah satu metode para ahli kalam
dalam memahami akidah, disesuaikan dengan pendapat-pendapat mereka.
Memang benar, iman bahwa Alquran itu kalamullah dibangun berlandaskan
akal. Akan tetapi setelah diimani, Alquran itu sendiri menjadi asas
untuk mengimani apa pun yang dibawanya, bukan lagi akal. Karena itu jika
terdapat ayat-ayat Alquran, akal tidak berhak memutuskan benar atau
tidak maknanya. Yang berhak memutuskan (benar atau tidak maknanya)
adalah ayat-ayat itu sendiri. Akal dalam hal ini fungsinya sebatas
memahami saja. Sayangnya, mutakallimin tidak melakukan hal itu. Mereka
jadikan akal sebagai asas bagi Alquran. Akibatnya terjadi pentakwilan
terhadap ayat-ayat Alquran dalam bidang akidah.
5. Membahas pertentangan antarfilosof
Ini termasuk di antara kesalahan-kesalahan fatal yang dilakukan para
mutakallimin. Para filosof Yunani telah terlibat dalam polemik seputar
filsafat di dalam diri mereka sendiri. Tetapi celakanya, para ulama
mutakallimin justru terlibat untuk membahasnya. Akhirnya, diadopsilah
berbagai filsafat-filsafat Yunani yang dibumbui dengan ayat-ayat Alquran
dan sunah. Kemudian oleh orang-orang pada masa sekarang, hal itu
disebut dengan filsafat Islam. Padahal itu merupakan suatu kesesatan
yang luar biasa. Muktazilah mengambil pendapat dari para filosof
kemudian dikritik. Lalu, Ahlussunnah dan Jabbariyah mengkritik
Muktazilah, dengan mengambil pendapat dari para filosof Yunani lain.
Lalu jadilah mereka saling berpolemik, atas sesuatu yang tidak
berguna. Polemik ini telah membuat kaum muslimin lelah, buang-buang
waktu, dan tidak bermanfaat sedikit pun.
Sikap Kita
Berkaitan dengan fakta-fakta di atas, menurut saya sikap kita adalah
kita harus menghentikan semua pembahasan yang ada dalam ilmu kalam.
Artinya, semua objek-objek yang menjadi pembahasan dalam ilmu kalam,
tidak boleh diteruskan untuk dibahas. Segala pembahasan tentang hal
tersebut, harus dihentikan. Mengapa? Sebab, ilmu kalam menempatkan
sesuatu tidak pada tempatnya. Ilmu kalam menampatkan akal pada porsi
yang tidak benar.
Ilmu kalam menempatkan akal tidak pada tempatnya. Ilmu kalam menempatkan akal, di atas dalil-dalil qath’i.
Ilmu kalam telah ‘memaksa’ akal untuk ‘bekerja’ di luar kemampuannya.
Akal tidak mampu menjangkau hal-hal yang tidak terindera, tetapi ilmu
kalam memaksanya. Ini tidak benar.
Oleh karena itu, setelah kita mengetahui hakikat akal dan proses
berpikir, maka seandainya ada pertanyaan sebagaimana yang dipertanyakan
orang-orang kepada mutakallimin, maka jawabkita adalah bahwa membahas
hal itu adalah sia-sia. Sebab, untuk apa dipertanyakan dan untuk apa di
bahas, sedangkan akal tidak mampu menjangkaunya? Apa yang mau dibahas,
jika hakikat dari objek yang ada tidak dapat diindera? Jika ada yang
masih mau membahasnya, tentu dia telah terjebak dalam pemikiran khayali
dan tidak realistis. Dia hanya berangan-angan, seperti orang bermimpi.
Coba Anda pikir, bagaimana bisa orang membahas nama dan sifat Allah,
sedangkan dia tidak mengetahui hakikat-Nya? Bahkan ada yang mencoba
mencari ‘jalan tengah’ dengan menakwilkannya, seperti tangan Allah
dita’wilkan sebagai kekuasaan-Nya. Pertanyaannya: Darimana dia tahu
bahwa ‘tangan’ Allah adalah kekuasaan-Nya? Dan apakah dia yakin dengan
hal tersebut?
Oleh karena itu, terlibat dalam polemik pembahasan asma’ wa sifat,
adalah suatu kekeliruan. Allah memang memiliki sifat-sifat sebagaimana
yang terdapat dalam Alquran. Namun, biarkan semua apa adanya. Kita tidak
perlu membahasnya dan mempertanyakannya. Toh, yang Allah tuntut dari
manusia adalah penghambaan diri secara total atas keberadaan Allah.
Allah tidak menuntut kita memahami Zat-Nya (hakikat-Nya).
Tidak heran, ketika Imam Malik ditanya seseorang tentang sesuatu yang
tidak dapat diindera, beliau kebingungan dan akhirnya, beliau
memberikan peringatan yang tegas kepada si penanya.
Ketika Imam Malik ditanya tentang makna "persemayaman-Nya"
(istiwaa'), beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat.
Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata:
“Persemayaman itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah
(cara)nya bukanlah hal yang dapat dipahami. Sedangkan mengimaninya
adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah bid'ah/salah.”
Imam Ibnul Qayyim berkata:
"Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka
itu adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah,
mereka tidak pernah terlibat bertentangan paham satu sama lainnya dalam
menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya.
Mereka menetapkan apa yang diutarakan Alquran dengan suara bulat. Mereka
tidak menta'wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya."
Jadi, segala macam pembahasan tentang sesuatu yang tidak dapat
diindera, harus dihentikan. Tidak perlu menetapkan ini itu. Tidak perlu
menta’wilkan. Tidak perlu mengatakan bahwa Allah Maha Melihat tetapi
caranya melihat tidak sama seperti manusia. Tidak perlu mengatakan itu.
Sebab tidak ada gunanya. Jika masih menanggapinya, maka itu sudah
termasuk membahas. Oleh karena itu, tidak perlu dibahas, tetapi cukup
diimani saja.
Membahas ilmu kalam, sah-sah saja, jika ilmu kalam dipelajari untuk
diketahui kesalahannya, dan menjauhkan umat dari pembahasan ilmu kalam.
Ini sah-sah saja. Tetapi jika, ilmu kalam dipelajari sebagai kenikmatan
intelektual atau sekedar membahas, tanpa memiliki standar benar atau
salah, maka mempelajari ilmu kalam berarti telah menjatuhkan diri dalam
kesesatan yang nyata.
Dengan menjauhkan diri dari ilmu kalam, dan menerapkan metode
berpikir yang benar, maka kita akan dapat berpikir secara benar pula.
Wallahu a’lam..
Rujukan:
1) Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Mohammad Maghfur Wahid.
2) Islam Politik dan Spiritual, Hafidz Abdurrahman.
3) Syakhshiyyah Al Islamiyah jilid I, Taqiyuddin An Nabhani.
4) At Tafkir, Taqiyuddin An Nabhani
5) Sejarah Daulah Khulafaur Rasyidin, Jusuf Syuaib
6) Sejarah Kebudayaan Islam Jilid II, Hasan Ibrahim Hasan
7) Aliran dan Teori Filsafat Islam, Dr. Ibrahim Madkour
8) Usus An Nahdhah Ar Rasyidah, Ahmad Al Qashash [Agus Trisa]
Posting Komentar untuk "Kesalahan-Kesalahan Ilmu Kalam"