Penentuan Awal & Akhir Ramadhan; Ikhtilaf, Hujjah & Realitas
Walaupun sebenarnya ada perbedaan pendapat para
‘Ulama tentang bagaimana menentukan awal & akhir Ramadhan, namun
tetap terasa kurang sreg ketika menyaksikan perbedaan ini semakin jauh
hingga bisa terjadi 3 hari yang berbeda bagi umat Islam untuk memulai
dan mengakhiri Ramadhan, padahal sehari semalam hanya 24 jam, rembulan
hanya ada satu buah, buminya satu buah, serta matahari untuk bumi ini
juga satu buah. Orang yang berfikir tentunya bisa melihat bahwa pasti
ada yg kurang tepat dalam hal ini. Tulisan ini berupaya mengajak pembaca
melihat perbedaan pendapat para ‘ulama dalam masalah ini, melihat
hujjah/alasan mereka, dan melihat realitas yg mereka bahas (manâth al hukm) yakni realitas terjadinya bulan baru (hilal) dari aspek astronomi.
Tulisan ini bukan bermaksud mengecilkan yg berbeda
pendapat, namun kami tulis karena kami merasa perlu menulisnya, dg
harapan semoga bermanfa’at bagi yang sedang mengkajinya, untuk kemudian
mengambil pendapat yang dianggap kuat, tanpa meremehkan apalagi
melecehkan pihak lain.
Garis besarnya ada dua pendapat ‘ulama yang berbeda dalam menyikapi mathla’ (tempat terbitnya hilal).
Pertama, tidak ada pengaruh
perbedaan mathla’ dalam penentuan awal akhir Ramadhan. Maksudnya, jika
pada suatu wilayah penduduknya sudah melihat hilal (Ramadhan), maka
wajib hukumnya wilayah yang lain yang belum melihat hilal mengikuti
hasil ru’yah negara tersebut, baik wilayah tersebut dekat atau jauh. Ini
adalah pendapat mayoritas ulama, yakni pendapat yang mu’tamad dari
kalangan Hanafiyyah[2], Imam Malik[3] (wafat 179 H), Al Laits bin Sa’ad (wafat 175 H), Imam As Syafi’i[4](wafat 204 H), sebagian kecil kalangan Syafi’yyah seperti Abu Thayyib[5]
(wafat 341 H), Imam Ahmad (wafat 241 H), juga pendapat Ibnu Taymiyyah
(wafat 728 H) dan Imam Asy Syaukany (wafat 1250 H) dari kalangan ahli
tahqiq.
Kedua, perbedaan mathla’ dianggap
berpengaruh terhadap perbedaan penentuan awal-akhir Ramadhan. Tiap
wilayah bisa bersandar kepada hasil ru’yah wilayahnya sendiri dan tidak
harus mengikuti hasil ru’yah wilayah yang lain. ‘Ulama yang berpandangan
seperti ini antara lain Ibnu Abbas, Ibnul Mubarak, Imam Malik[6],
sebagian besar kalangan Syafi’iyyah seperti Imam As Syairozi (wafat 476
H, penulis kitab al Muhadzdzab) dan Ar Rofi’i (wafat 623 H), dan az
Zayla’i (wafat 743 H) dari kalangan Hanafiyyah[7].
Diantara mereka juga terjadi perbedaan tajam dalam menentukan kriteria
apa yang membolehkan beda awal-akhir Ramadhan, sebagian menyatakan boleh
beda secara muthlaq berdasarkan ru’yat masing-masing, baik dekat
ataupun jauh, sebagian menyatakan boleh berbeda kalau berjauhan, kalau
dekat dianggap satu kesatuan. Yang membolehkan berbeda kalau berjauhan
juga terjadi perbedaan dalam menentukan kriteria “jauh” seperti apa yang
membolehkan berbeda awal-akhir Ramadhan.
Kenapa Terjadi Perbedaan?
Perbedaan terjadi bisa karena berbeda dalam memahami nash, ditambah objek yang dihukumi (manâthul hukm), yakni ilmu astronomi tentang munculnya hilal (bulan baru) yang masih kurang difahami.
Berikut nash yang di perselisihkan pemahamannya:
a. Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, dan hadits lain yg semakna, dg redaksi yg berbeda seperti riwayat Muslim, dll.
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan
berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian
tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi
30 hari. (HR. Bukhory)
b. Hadits yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, & Ahmad dari Kuraib:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ : لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui
Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan
urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih
berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku
memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu
bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan
kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam
Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab
lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu
pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya
pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan
bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya.’ Aku lalu
bertanya, ‘Tidak cukupkah engkau berpedoman pada ru’yat dan puasa
Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw
telah memerintahkan kepada kami.
Berkaitan dengan 2 nash ini dan nash lain yang semakna, muncul persoalan:
1. Bolehkah keumuman khithab (seruan) untuk seluruh
mukallaf di takhsis dengan dalil aqliy (akal)? Bolehkah kemutlakan
ru’yat di taqyid dengan dalil aqliy?
2. Tentang kemutlakan mathla’ hilal dan kenisbiannya.
3. Tentang pertentangan nash (hadits) dengan atsar,
apakah pendapat Ibnu Abbas dalam kisah “Kuraib” dibangun atas hadits
yang marfu’ atau ijtihad Ibnu Abbas sendiri? Apakah riwayat “Kuraib”
membatasi kemutlakan “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal)” ataukah merupakan penerapan dari pemahaman Ibnu Abbas atas sabda Rasul “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal)”?.
Pihak Pertama, yakni para ‘ulama
yang berpendapat bahwa ru’yat di satu wilayah berlaku juga di wilayah
lain menggunakan dalil keumuman nash point a) yakni bahwa perintah dalam
hadits ini adalah untuk umat (Islam) secara keseluruhan, baik yang ada
di timur ataupun di barat (namun penerapannya pada saat itu memang tidak
semudah sekarang). Perintah puasa karena melihat bulan dalam hadits ini
jelas berlaku untuk yang melihat langsung, maupun yang tidak melihat
langsung, yakni yang mendapat berita bahwa hilal telah terlihat. Dari
Ibnu Abbas diriwayatkan bahwa:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi
Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal.
Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain
Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang
tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal,
umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).
Hadits ini menjelaskan bahwa yang tidak melihat hilal
secara langsungpun wajib berpuasa berdasarkan ru’yat orang lain yang
melihat hilal. Hadits ini juga tidak dibatasi dg asal daerah orang badui
tersebut atau batasan jarak, dan lainnya.
Adapun Pihak Kedua, yakni para
‘ulama yang menyatakan bahwa tiap wilayah menggunakan ru’yatnya
sendiri-sendiri menggunakan dalil point b). Selanjutnya mereka
berselisih tentang berapa ukuran jauh/dekat yang membolehkan berbeda,
padahal tidak ada nash yang menyatakan hal tersebut. Mereka juga
menyatakan akal bisa mentakhsis keumuman dalil ru’yat hilal diqiyaskan
dengan mathla’ matahari dimana perputaran matahari menyebabkan perbedaan
waktu shalat. Begitu juga mereka memandang apa yang dinyatakan Ibnu
Abbas dalam pernyataan pada dalil b) ketika ditanya:
أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
‘Tidak cukupkah engkau berpedoman pada ru’yat dan
puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah
Saw telah memerintahkan kepada kami..
PernyataanIbnu Abbas “demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan kepada kami”
mereka anggap marfu’ sampai kepada Rasulullah bahwa Ibnu abbas
mengetahui dalilnya dari Rasulullah walaupun Ibnu Abbas tidak
menjelaskan bagaimana perintah Rasul yang dimaksud.
Adapun Pihak Pertama memahami bahwa riwayat Ibnu
Abbas itu mauquf pada Ibnu Abbas, dan merupakan ijtihad Ibnu Abbas
sendiri. Jika dicermati, perkataan لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ merupakan jawaban Ibnu Abbas
atas pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada
masa beliau. Yakni terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan
penduduk Syam dalam mengawali puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada
malam Jumat, sementara penduduk Madinah melihatnya pada malam Sabtu.
Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa penduduk
Madinah tidak mengikuti ru’yah penduduk Syam saja, kemudian keluarlah
jawaban Ibnu Abbas tersebut.
Bertolak dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an hadits
ini yang dipertanyakan: “Apakah peristiwa serupa memang pernah terjadi
pada masa Rasulullah saw kemudian demikianlah keputusan beliau saw dalam
menyikapi perbedaan itu?” “Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas
atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan,
sehingga perkataan Ibnu Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau
terhadap kasus ini?
Dalam hal ini Imam As Syaukani menjelaskan:
وَاعْلَمْ أَنَّ الْحُجَّةَ إنَّمَا هِيَ فِي الْمَرْفُوعِ مِنْ رِوَايَةِ ابْنِ عَبَّاسٍ لَا فِي اجْتِهَادِهِ الَّذِي فَهِمَ عَنْهُ النَّاسُ وَالْمُشَارُ إلَيْهِ بِقَوْلِهِ: ” هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [8]
“Ketahuilah, bahwa yang layak menjadi hujjah itu
tidak lain adalah riwayat yang marfu’ dari Ibnu Abbas, bukan Ijtihad
Ibnu Abbas itu sendiri yang difahami manusia dan dirujuk yakni
perkataannya (Ibnu Abbas): “demikianlah Rasulullah Saw telah
memerintahkan kepada kami”.
Beliau lalu menambahkan (yakni riwayat yang marfu’, yang difahami Ibnu Abbas untuk menjawab pertanyaan Kuraib) :
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat
hilal. Dan janganlah kalian berbuka puasa (mengakhiri Ramadhan) hingga
kalian melihatnya pula. Maka jika (pandangan) kalian terhalang,
sempurnakanlah bilangan sebanyak tiga puluh hari.”
وَهَذَا لَا يَخْتَصُّ بِأَهْلِ نَاحِيَةٍ عَلَى جِهَةِ الِانْفِرَادِ بَلْ هُوَ خِطَابٌ لِكُلِّ مَنْ يَصْلُحُ لَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
Dan (Sabda beliau SAW) ini tidaklah dikhususkan
untuk penduduk suatu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain.
Bahkan sabda beliau ini merupakan Khitab (seruan) yang tertuju kepada siapa saja di antara kaum muslimin”
Di sinilah letak syubhat hadits ini, apakah tergoloh
marfû’ atau mawqûf. Agar lebih jelas, kita bisa membandingkan hadits ini
dengan hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang sama-sama
menggunakan ungkapan “amaranâ Rasûlullâh saw”. Hadits dari Ibnu Umar
yang berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud)
Hadits ini tidak diragukan sebagai hadits marfû’.
Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan hukum atas suatu perbuatan.
Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi jawaban
beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa
perkataan Ibnu Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi
kejadian yang terjadi pada saat itu. Kesimpulan demikian juga
disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang menggolongkan
Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.
Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan
untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan
sebagai dalil syara’, yang darinya digali hukum-hukum syara’, jelas
tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma’shum.
Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara’.
Kesimpulan Penulis
1. Penulis lebih cenderung kepada pendapat yang
pertama, bahwa dimanapun hilal (1 Ramadhan) terlihat, maka itu menjadi
patokan untuk berpuasa bagi umat Islam seluruhnya, begitu juga untuk
Syawwal, dengan berbagai alasan:
a) Konteks hadits pertama (berpuasalah kalian karena melihat hilal …)
mencakup seluruh kaum muslimin tanpa memperhatikan adanya persamaan
atau perbedaan mathla’, sementara menggunakan aqal untuk mengqiyaskan
dengan perputaran matahari untuk waktu shalat adalah kurang tepat,
karena kalau toh dianalogikan dg shalat, bahwa waktu shalat
berbeda-beda, bukankah walaupun patokannya satu ru’yat waktu sahurnya
juga berbeda-beda, waktu mulai puasanya juga beda-beda, waktu berbukanya
juga berbeda-beda, tidak berarti bahwa setelah hilal terlihat lalu
langsung puasa, kan nunggu fajar dulu, (memang akan masih muncul
permasalahan fiqh misal di daerah A waktu maghrib melihat hilal, pada
saat bersamaan di daerah Z pas detik pertama fajar atau sudah masuk
waktu subuh, atau waktu dhuha, bagaimana hukumnya daerah Z tersebut? Ini
pembahasan lain, termasuk adanya garis batas penanggalan sehingga
melewati garis tsb bisa beda hari, ini juga pembahasan lain, yang
penulis renungkan masih mungkin beda hari (nama harinya), walau dengan
patokan pendapat pertama, termasuk masih memungkinkan di belahan dunia
yg satu puasanya 29 hari dan di belahan lain puasanya 30 hari walau dg
patokan pendapat pertama).
b) Hadits kedua (tentang cerita Kuraib bahwa Syam
dengan Madinah beda akhir Ramadhan) telah dijelaskan Imam As Syaukani
bahwa itu ijtihad Ibnu Abbas sendiri yang memang harus kita hormati.
Namun bagi (orang sekarang) yang mengambil pendapat bolehnya berbeda
dengan alasan riwayat ini, saya lihat tidak konsekuen menggunakan dalil
ini, seharusnya kalau konsekuen dengan hadits tersebut, sedangkan jarak Madinah (24o28’ N 39o36’ E ) dengan Syam (33°30′N 36°18′E) hanya berkisar 1.044 km[9], perbedaan waktu antara Madinah dengan Syam hanya 13 menit 12 detik[10],
sedangkan Syam dan Madinah saat itu satu negara, maka kalau konsekuen
dengan riwayat ini, seharusnya setiap beda waktu 13 menit 12 detik juga
memungkinkan beda hari puasa/idul fithrinya.
c) Pendapat ini lebih menyatukan kaum muslimin dan
mengurangi perbedaan, akan terasa tidak sreg kalau hanya beda 13 menit
12 detik sudah beda hari raya (walaupun untuk zaman dahulu mungkin
mereka bisa saling tidak tahu kalau berbeda).
2) Bagi yang bermadzhab Syafi’i, tidak perlu
berpindah madzhab untuk mengikuti pendapat pertama, walaupun pendapat
pertama (dimanapun hilal terlihat, itu jadi patokan semua umat Islam)
merupakan pendapat minoritas di kalangan Syafi’iyyah, namun pendapat ini
juga nisbahnya ke Syafi’iyyah bahkan ke Imam Syafi’i sendiri.
Allahu Ta’ala A’lam (insya Allah bersambung tentang ikhitilaf ‘Ulama dalam hisab atau ru’yat). [M. Taufiq N.T]
وَالْمُعْتَمَدُ الرَّاجِحُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ
أَنَّهُ لاَ اعْتِبَارَ بِاخْتِلاَفِ الْمَطَالِعِ فَإِذَا ثَبَتَ
الْهِلاَل فِي مِصْرٍ لَزِمَ سَائِرَ النَّاسِ فَيُلْزَمُ أَهْل
الْمَشْرِقِ بِرُؤْيَةِ أَهْل الْمَغْرِبِ فِي ظَاهِرِ الْمَذْهَبِ
[4] Ini menurut keterangan al Hafidz Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H) dalam Kitabnya, Al Istidzkâr (3/282), beliau menulis:
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي حُكْمِ هِلَالِ رَمَضَانَ
أَوْ شَوَّالٍ يَرَاهُ أَهْلُ بَلَدٍ دُونَ غَيْرِهِمْ فَكَانَ مَالِكٌ
فِيمَا رَوَاهُ عنه بن الْقَاسِمِ وَالْمِصْرِيُّونَ إِذَا ثَبَتَ عِنْدَ
النَّاسِ أَنَّ أَهْلَ بَلَدٍ رَأَوْهُ فَعَلَيْهِمُ الْقَضَاءُ لِذَلِكَ
الْيَوْمِ الذي أفطروه وصيامه غَيْرِهِمْ بِرُؤْيَةٍ صَحِيحَةٍ وَهُوَ
قَوْلُ اللَّيْثِ وَالشَّافِعِيِّ وَالْكُوفِيِّينَ وَأَحْمَدَ
al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalany (wafat 852 H) dalam Fathul Bâry (4/123) juga menulis :
وَقَالَ بَعْضَ الشَّافِعِيَّةِ إِنْ تَقَارَبَتِ
الْبِلَادُ كَانَ الْحُكْمُ وَاحِدًا وَإِنْ تَبَاعَدَتْ فَوَجْهَانِ لَا
يَجِبُ عِنْدَ الْأَكْثَرِ وَاخْتَارَ أَبُو الطَّيِّبِ وَطَائِفَةٌ
الْوُجُوبَ وَحَكَاهُ الْبَغَوِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ
Syaikh Muhammad Ali Farkus al Jazairi dalam اعتبار اختلاف المطالع في ثبوت الأهلة و آراء الفقهاء فيه menulis:
فالأول: يذهب إلى القول بتوحيد الرؤية ولا يعتبر اختلاف
مطالع القمر في ثبوت الأهلة، وبهذا قال الجمهور، وهو المعتمد عند الحنفية،
ونسبه ابن عبد البر إلى الإمام مالك فيما رواه عنه ابن القاسم والمصريون،
كما عزاه إلى الليث والشافعي والكوفيين وأحمد، وبه قال ابن تيمية والشوكاني
وغيرهم من أهل التحقيق، ويترتب على هذا القول وجوب القضاء إذا بدأ أهل بلد
صومهم اليوم الذي يلي رؤية الهلال في بلد آخر.
Posting Komentar untuk "Penentuan Awal & Akhir Ramadhan; Ikhtilaf, Hujjah & Realitas"