Analisis Prespektif Normatif UU Ormas
Polemik RUU Ormas (Organisasi Masyarakat) berusai sudah. Drama
perdebatan dan pro-kontra berakhir pada sidang paripurna 2 Juli 2013.
Lobi-lobi politik di gedung dewan dan voting akhir menjadi pilihan untuk
mengesahkan RUU Ormas menjadi UU Ormas. Beberapa elemen masyarakat yang
menyatakan penolakan merasa kecewa berat. Tak kurang akal perumus UU
Ormas mengeluarkan jurus-jurus sakti untuk menjawab kegalauan mereka.
Hal ini bisa dipahami bahwa keinginan kuat pengesahan sudah sejak lama.
Sistem demokrasi selamanya akan memunculkan perdebatan dalam
memutuskan RUU. Hal ini merupakan konsekuensi dari kelemahan demokrasi
yang menjadikan akal manusia sebagai penentu baik dan buruk. Akibatnya
bisa jadi baik menurut seseorang, belum tentu baik menurut orang lain.
Begitu pula sebaliknya. Maka sebagus apa pun UU yang dibuat, pasti
menimbulkan problem. Lucunya, jika sudah mentok voting menjadi pilihan
terakhir. Hasilnya bisa ditebak. Rakyat dibuat guyonan dan lelucon.
Karena mereka hanya melongo melihat sekelompok orang berkumpul
menetapkan UU.
Berlepas dari berbagai polemik dan pro-kontra UU Ormas. Berikut akan dianalisis beberapa bagian pasal UU Ormas. Analisis lainnya—hukum, demokrasi, dll—sudah dijelaskan beberapa ormas, LSM, dan lembaga yang menolak UU Ormas. Kali ini analisis dilihat dari perspektif normatif-ideologis.
Pasal 1 poin 1, definisi Ormas terlihat memaksakan setiap organisasi dibentuk untuk searah dan sejalan dengan penguasa. Tampak bahwa pemerintah inginmenjadikan ormas di bawah kendalinya. Keinginan ini wajar, mengingat sistem politik demokrasi tidak menginginkan rakyatnya keluar dari genggamannya. Meskipun kebebasan sering diagungkan dalam demokrasi. Dibalik balutan demokrasi ada satu kepentingan dari penguasa yaitu mempertahankan kekuasaannya. Memang cara kekerasan saat ini tidak digunakan seperti masa orde baru. Maka cara konstitusi akan memberikan legitimasi untuk melakukan cara-cara yang lebih kejam. Cara di luar kebiasaan. Karena penguasa main keroyok dnegan lembaga yanga ada di bawahnya. Pendefinisian istilah organisasi masyrakat akan semakin memecah belah. Jika memang ormas dibentuk berlandaskan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan dan partisipasi dalam pembangunan. Yang menjadi pertanyaan ideologi apa yang digunakan untuk mengikat orang-orang yang berkumpul dalam ormas? Jika saja ideologi itu hanya sampah, misalnya perjuangan untuk kepentingan kedaerahan, kesukuan, atau keuntungan mereguk kepentingan segelintir orang. Maka sama saja akan memberikan pekerjaan rumah baru bagi pemerintah. Pemerintah saat ini pun masih kebingungan untuk menyelesaikan konflik separatisme, misalnya OPM (organisasi Papua Merdeka). Bahkan OPM cenderung dibiarkan sehingga asing leluasa membantunya.
Pasal 4, sifat ormas dipaksakan dengan embel-embel demokratis. Hal ini menunjukan pemerintah tidak menginginkan sifat selain itu. Maka ormas yang fokus pada islam, bisa jadi akan terkena delik aduan UU Ormas. Mengingat demokratis bermakna absurd bergantung penguasa yang menerjemahkannya.
Pasal 14, pembentukan wadah berhimpun ormas nyatanya diatur oleh undang-undang lain. Hal ini membuktikan ketidakkonsisten UU Ormas. Artinya, ada kemungkinan pmerintah menggunakan UU Ormas ini sebagai topeng untuk menentukan UU lagi. Jika UU Ormas dianggap tidak relevan lagi.
Pasal 16, ayat 2 terkait persyaratan pendaftaran ormas. Syarat yang diajukan pun begitu banyak. Pemerintah ingin betul-betul mengontrol Ormas secara detail. Meskipun niat awalan baik agar sejalan dengan pemerintah, namun syarat-syart ini tidak relevan dengan semangat Ormas. Dapat dipahami, sikap ini merupakan bukti bahwa represif penguasa ditunjukan tidak lagi dengan kekuatan. Lebih dari itu dengan legitimasi UU, kemudian dengan kekuatan. Tak ubahnya, syarat itu membelenggu semangat Ormas untuk membangun Indonesia. Selain itu, pemerintah juga ingin memastikan pajak dari Ormas. Betul-betul khas negara pemalak.
Pada ayat 3 terkait wewenang pemberi SKT sarat kepentingan. Jika pemberi SKT tidak berkenan karena alasan tertentu. Maka SKT pada Ormas akan dijadikan alat kepentingan politik penguasa. Tujuannya menghambat rival politiknya atau karena bersebrangan dengan ideologi penguasa.
Pasal 21 poin e, pengelolaan uang secara akuntabel dan transparan sarat akan kepnetingan penguasa. Penguasa tidak hanya ingin memastikan kegiatan. Lebih dari itu sumber dana ingin diusut tuntas detail per detail. Pemerolehannya dan peruntukannya. Semangat ini sama dengan UU Pendanaan Terorisme yang intinya menelusuri dana teroris. Pemerintah lupa bahwa sikap penguasa selama ini tidak akuntabel dan transparan. Persoalan BBM saja pemerintah rela mencabut subsidi. Sementara untuk belanja lainnya, membayar utang, penguapan dana APBN, negara tidak pernah jujur. Lantas, penguasa begitu represif secara konstitusi ingin memastikan dana Ormas.
Pasal 26 dan 27, ketentuan perundang-undangan yang dimaksud tidak jelas. Menunjukan tumpang tindihnya UU.
Pasal 30, penguasa berusaha memonitoring seluruh jajaran pengurus. Begitu pula perubahan pengurus junga dilaporkan. Apa keuntungan pemerintah dengan mengetahui itu semua. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah tidak yakin setelah memberikan kewenangan pada Ormas melakukan kegiatan di wilayah Indonesia. Selain itu menunjukan Ormas seolah-olah organisasi teroris yang layak dicurigai. Sikap seperti ini menunjukan pemerintah gagal memberikan kepercayaan kepada masyrakat. Masyarakt dianggap seperti musuh. Kegiatan memonitoring terlalu dalam mirip intelijen. Adapaun yang dilakukan dengan cara legal atas nama amanat UU.
Pasal 31, ketidakbolehan mendirikan Ormas bagi pengurus yang berhenti atau diberhentikan tidak jelas maknanya. Bisa jadi, ormas itu dibubarkan paksa oleh pemerintah. Sehingga pengurusnya berhenti dan tidak boleh mendirikan ormas yang sama. Yang lebih berbahaya jika ini menyangkut ideologi agama. Jika ada ormas yang mempunyai semangat dalam memperjuangkan agamanya. Kemudian pemerintah melarangnya. Maka apa pun bentuk dan nama ormasnya dengan orang yang sama. Tetap juga akan dilarang. Pasal ini mulai bertolak belakang dengan esensi keinginan pemerintah untuk memberikan ruang ekspresi bagi masyarakat.
Pasal 37, ayat 1 d dan f bermakna Ormas dibuat tidak independen. Sudah menjadi kebiasaan umum jika Ormas mendapat dana dari asing dan pemerintah dalam bentuk apapun akan menghilangkan sikap kritis Ormas. Sudah banyak bukti demikian. Akibatnya, ormas hanya menjadi corong kepentingan asing dan pemerintah.
Bab XIII (Pasal 43-50) terkait ormas yang didirikan oleh warga negara asing harus dicermati betul. Pasalnya banyak diketemukan ormas yang mendompleng kegiatan sosial. Ujungnya untuk penyesatan aqidah umat. Bahkan selama ini ornganisasi asing yang beroperasi di negeri-negeri muslim berupaya memalingkan umat dari Islam. ide-ide yang mereka sebarkan dengan berbagai kegiatan banyak yang tidak sesuai dengan syariah. Buktinya negara ini juga gagal melindungi aqidah umat terkait kasus Ahmadiyah. Meskipun ada larangan beraktifitas politik dan intelijen. Tidak dapat dipungkiri, aktifitas itu tetap ada. Apalagi warga negara asing yang memang bertugas untuk itu. Pendomplengan warga asing mendirikan ormas di Indonesia sangat berbahaya. Jika mereka mempunyai tujuan untuk menghancurkan aqidah umat dengan berbagai kedok. Serta akan mengokohkan penjajahan asing di Indonesia.
Pasal 58, nafas yang tersirat dalam pasal 58 erat kaitannya dengan pembubaran. Pembubaran ini juga dapat dilakukan pemerintah. Inilah alasan pemerintah membuat legal formal untuk membubarkan ormas yang dianggap anarkis. Sementara itu pemerintah tidak pernah bisa menyentuh organisasi yang sudah jelas bertindak separatisme. Apakah karena mereka bersenjata? Atau alasan politik? Sampai sekarang kita belum melihat pemerintah serius menyelesaikan konflik separatisme.
Larangan yang termaktub pada pasal 59 ada beberapa hal yang bertentangan dengan semangat ormas didirikan.sebagaimana di pasal sebelumnya, ormas dapat berpartisipasi dengan pemerintah. Memang siapapun tidak suka anarkisme yang dilakukan ormas. Alangkah baiknya, pemerintah juga menelisik persoalan utamanya kenapa terjadi anarkisme. Begitupula jika ormas melakukan kegiatan yang menjadi wewenang penegak hukum. Pemerintah juga harus berkaca. Apakah selama ini sudah tanggap dalam menghadapi keluhan masyarakat terkait kemanan, ketertiban, dan ketentraman? Pelayanan itu belumlah menyentuh pada akar rumput masyrakat. Terkadang ormas juga tidak percaya pada penegak hukum. Karena selama ini mereka lamban dan abai. Sikap penegak hukum juga sering bertetentangan dengan hukum. Misalnya menjadi backing, mudah menerima suap, dan tidakan yang tak pantas lainnya.
Bab XVII (Sanksi) termuat dalam pasal 60-82. Ini membuktikan bahwa esensi UU Ormas terletak pada bab ini. Sanksi yang diberlakukan pun menunjukan sekehendak pemerintah. Inilah alasan penting keberadaan UU Ormas. Alasan pemerintah selama ini dilatarbelakangi oleh semangat untuk membubarkan ormas yang dianggap ancaman. Baik ancaman berupa tindakan fisik maupun ancaman ideologis. Bahkan makna dari UU Ormas begitu absurd. Bisa jadi keinginan sebagian umat diatur oleh aturan agamanya akan terganjal UU Ormas.
Epilog Analisis
Renungan terakhir bagi kita semua adalah sikap kritis tidak boleh luntur. Kekritisan tidak hanya pada UU yang akan membelenggu kepentingan sekelompok orang atau golongan. Lebih dari itu kekritisan hendaknya ditunjukan dengan kepekaan politik yang tinggi. Jangan hanya melihat dari sisi kulit suatu kebijakan pemerintah.
Pekerjaan sebagian orang di parlemen dalam mengetuk RUU menjadi UU akan terus dilakukan. Kita tidak bisa diam dalam mengkritisi kebijakan yang melenceng. Karena pada dasarnya pemerintah yang bersendikan demokrasi akan senantiasa memberikan PR (pekerjaan rumah). PR itu berupa bobroknya sistem perundang-undangan yang tidak bertandar pada hukum buatan Allah.
Secerdas apapun manusia, akalnya tetap terbatas. Maka tidaklah kita semua ingat bahwa jika kelemahan dan keterbatasan itu digunakan membuat UU akibatnya fatal. Bisa-bisa kebijakan akan membawa murka dari Sang Pencipta. Karena kita semua telah mengkufuri aturan-Nya yang mulia. Maka pikirkanlah! Segeralah beralih pada aturan yang membawa berkah. Itulah syariah. [hanif/syabab.com/visimuslim.com]
Berlepas dari berbagai polemik dan pro-kontra UU Ormas. Berikut akan dianalisis beberapa bagian pasal UU Ormas. Analisis lainnya—hukum, demokrasi, dll—sudah dijelaskan beberapa ormas, LSM, dan lembaga yang menolak UU Ormas. Kali ini analisis dilihat dari perspektif normatif-ideologis.
Pasal 1 poin 1, definisi Ormas terlihat memaksakan setiap organisasi dibentuk untuk searah dan sejalan dengan penguasa. Tampak bahwa pemerintah inginmenjadikan ormas di bawah kendalinya. Keinginan ini wajar, mengingat sistem politik demokrasi tidak menginginkan rakyatnya keluar dari genggamannya. Meskipun kebebasan sering diagungkan dalam demokrasi. Dibalik balutan demokrasi ada satu kepentingan dari penguasa yaitu mempertahankan kekuasaannya. Memang cara kekerasan saat ini tidak digunakan seperti masa orde baru. Maka cara konstitusi akan memberikan legitimasi untuk melakukan cara-cara yang lebih kejam. Cara di luar kebiasaan. Karena penguasa main keroyok dnegan lembaga yanga ada di bawahnya. Pendefinisian istilah organisasi masyrakat akan semakin memecah belah. Jika memang ormas dibentuk berlandaskan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan dan partisipasi dalam pembangunan. Yang menjadi pertanyaan ideologi apa yang digunakan untuk mengikat orang-orang yang berkumpul dalam ormas? Jika saja ideologi itu hanya sampah, misalnya perjuangan untuk kepentingan kedaerahan, kesukuan, atau keuntungan mereguk kepentingan segelintir orang. Maka sama saja akan memberikan pekerjaan rumah baru bagi pemerintah. Pemerintah saat ini pun masih kebingungan untuk menyelesaikan konflik separatisme, misalnya OPM (organisasi Papua Merdeka). Bahkan OPM cenderung dibiarkan sehingga asing leluasa membantunya.
Pasal 4, sifat ormas dipaksakan dengan embel-embel demokratis. Hal ini menunjukan pemerintah tidak menginginkan sifat selain itu. Maka ormas yang fokus pada islam, bisa jadi akan terkena delik aduan UU Ormas. Mengingat demokratis bermakna absurd bergantung penguasa yang menerjemahkannya.
Pasal 14, pembentukan wadah berhimpun ormas nyatanya diatur oleh undang-undang lain. Hal ini membuktikan ketidakkonsisten UU Ormas. Artinya, ada kemungkinan pmerintah menggunakan UU Ormas ini sebagai topeng untuk menentukan UU lagi. Jika UU Ormas dianggap tidak relevan lagi.
Pasal 16, ayat 2 terkait persyaratan pendaftaran ormas. Syarat yang diajukan pun begitu banyak. Pemerintah ingin betul-betul mengontrol Ormas secara detail. Meskipun niat awalan baik agar sejalan dengan pemerintah, namun syarat-syart ini tidak relevan dengan semangat Ormas. Dapat dipahami, sikap ini merupakan bukti bahwa represif penguasa ditunjukan tidak lagi dengan kekuatan. Lebih dari itu dengan legitimasi UU, kemudian dengan kekuatan. Tak ubahnya, syarat itu membelenggu semangat Ormas untuk membangun Indonesia. Selain itu, pemerintah juga ingin memastikan pajak dari Ormas. Betul-betul khas negara pemalak.
Pada ayat 3 terkait wewenang pemberi SKT sarat kepentingan. Jika pemberi SKT tidak berkenan karena alasan tertentu. Maka SKT pada Ormas akan dijadikan alat kepentingan politik penguasa. Tujuannya menghambat rival politiknya atau karena bersebrangan dengan ideologi penguasa.
Pasal 21 poin e, pengelolaan uang secara akuntabel dan transparan sarat akan kepnetingan penguasa. Penguasa tidak hanya ingin memastikan kegiatan. Lebih dari itu sumber dana ingin diusut tuntas detail per detail. Pemerolehannya dan peruntukannya. Semangat ini sama dengan UU Pendanaan Terorisme yang intinya menelusuri dana teroris. Pemerintah lupa bahwa sikap penguasa selama ini tidak akuntabel dan transparan. Persoalan BBM saja pemerintah rela mencabut subsidi. Sementara untuk belanja lainnya, membayar utang, penguapan dana APBN, negara tidak pernah jujur. Lantas, penguasa begitu represif secara konstitusi ingin memastikan dana Ormas.
Pasal 26 dan 27, ketentuan perundang-undangan yang dimaksud tidak jelas. Menunjukan tumpang tindihnya UU.
Pasal 30, penguasa berusaha memonitoring seluruh jajaran pengurus. Begitu pula perubahan pengurus junga dilaporkan. Apa keuntungan pemerintah dengan mengetahui itu semua. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah tidak yakin setelah memberikan kewenangan pada Ormas melakukan kegiatan di wilayah Indonesia. Selain itu menunjukan Ormas seolah-olah organisasi teroris yang layak dicurigai. Sikap seperti ini menunjukan pemerintah gagal memberikan kepercayaan kepada masyrakat. Masyarakt dianggap seperti musuh. Kegiatan memonitoring terlalu dalam mirip intelijen. Adapaun yang dilakukan dengan cara legal atas nama amanat UU.
Pasal 31, ketidakbolehan mendirikan Ormas bagi pengurus yang berhenti atau diberhentikan tidak jelas maknanya. Bisa jadi, ormas itu dibubarkan paksa oleh pemerintah. Sehingga pengurusnya berhenti dan tidak boleh mendirikan ormas yang sama. Yang lebih berbahaya jika ini menyangkut ideologi agama. Jika ada ormas yang mempunyai semangat dalam memperjuangkan agamanya. Kemudian pemerintah melarangnya. Maka apa pun bentuk dan nama ormasnya dengan orang yang sama. Tetap juga akan dilarang. Pasal ini mulai bertolak belakang dengan esensi keinginan pemerintah untuk memberikan ruang ekspresi bagi masyarakat.
Pasal 37, ayat 1 d dan f bermakna Ormas dibuat tidak independen. Sudah menjadi kebiasaan umum jika Ormas mendapat dana dari asing dan pemerintah dalam bentuk apapun akan menghilangkan sikap kritis Ormas. Sudah banyak bukti demikian. Akibatnya, ormas hanya menjadi corong kepentingan asing dan pemerintah.
Bab XIII (Pasal 43-50) terkait ormas yang didirikan oleh warga negara asing harus dicermati betul. Pasalnya banyak diketemukan ormas yang mendompleng kegiatan sosial. Ujungnya untuk penyesatan aqidah umat. Bahkan selama ini ornganisasi asing yang beroperasi di negeri-negeri muslim berupaya memalingkan umat dari Islam. ide-ide yang mereka sebarkan dengan berbagai kegiatan banyak yang tidak sesuai dengan syariah. Buktinya negara ini juga gagal melindungi aqidah umat terkait kasus Ahmadiyah. Meskipun ada larangan beraktifitas politik dan intelijen. Tidak dapat dipungkiri, aktifitas itu tetap ada. Apalagi warga negara asing yang memang bertugas untuk itu. Pendomplengan warga asing mendirikan ormas di Indonesia sangat berbahaya. Jika mereka mempunyai tujuan untuk menghancurkan aqidah umat dengan berbagai kedok. Serta akan mengokohkan penjajahan asing di Indonesia.
Pasal 58, nafas yang tersirat dalam pasal 58 erat kaitannya dengan pembubaran. Pembubaran ini juga dapat dilakukan pemerintah. Inilah alasan pemerintah membuat legal formal untuk membubarkan ormas yang dianggap anarkis. Sementara itu pemerintah tidak pernah bisa menyentuh organisasi yang sudah jelas bertindak separatisme. Apakah karena mereka bersenjata? Atau alasan politik? Sampai sekarang kita belum melihat pemerintah serius menyelesaikan konflik separatisme.
Larangan yang termaktub pada pasal 59 ada beberapa hal yang bertentangan dengan semangat ormas didirikan.sebagaimana di pasal sebelumnya, ormas dapat berpartisipasi dengan pemerintah. Memang siapapun tidak suka anarkisme yang dilakukan ormas. Alangkah baiknya, pemerintah juga menelisik persoalan utamanya kenapa terjadi anarkisme. Begitupula jika ormas melakukan kegiatan yang menjadi wewenang penegak hukum. Pemerintah juga harus berkaca. Apakah selama ini sudah tanggap dalam menghadapi keluhan masyarakat terkait kemanan, ketertiban, dan ketentraman? Pelayanan itu belumlah menyentuh pada akar rumput masyrakat. Terkadang ormas juga tidak percaya pada penegak hukum. Karena selama ini mereka lamban dan abai. Sikap penegak hukum juga sering bertetentangan dengan hukum. Misalnya menjadi backing, mudah menerima suap, dan tidakan yang tak pantas lainnya.
Bab XVII (Sanksi) termuat dalam pasal 60-82. Ini membuktikan bahwa esensi UU Ormas terletak pada bab ini. Sanksi yang diberlakukan pun menunjukan sekehendak pemerintah. Inilah alasan penting keberadaan UU Ormas. Alasan pemerintah selama ini dilatarbelakangi oleh semangat untuk membubarkan ormas yang dianggap ancaman. Baik ancaman berupa tindakan fisik maupun ancaman ideologis. Bahkan makna dari UU Ormas begitu absurd. Bisa jadi keinginan sebagian umat diatur oleh aturan agamanya akan terganjal UU Ormas.
Epilog Analisis
Renungan terakhir bagi kita semua adalah sikap kritis tidak boleh luntur. Kekritisan tidak hanya pada UU yang akan membelenggu kepentingan sekelompok orang atau golongan. Lebih dari itu kekritisan hendaknya ditunjukan dengan kepekaan politik yang tinggi. Jangan hanya melihat dari sisi kulit suatu kebijakan pemerintah.
Pekerjaan sebagian orang di parlemen dalam mengetuk RUU menjadi UU akan terus dilakukan. Kita tidak bisa diam dalam mengkritisi kebijakan yang melenceng. Karena pada dasarnya pemerintah yang bersendikan demokrasi akan senantiasa memberikan PR (pekerjaan rumah). PR itu berupa bobroknya sistem perundang-undangan yang tidak bertandar pada hukum buatan Allah.
Secerdas apapun manusia, akalnya tetap terbatas. Maka tidaklah kita semua ingat bahwa jika kelemahan dan keterbatasan itu digunakan membuat UU akibatnya fatal. Bisa-bisa kebijakan akan membawa murka dari Sang Pencipta. Karena kita semua telah mengkufuri aturan-Nya yang mulia. Maka pikirkanlah! Segeralah beralih pada aturan yang membawa berkah. Itulah syariah. [hanif/syabab.com/visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "Analisis Prespektif Normatif UU Ormas "