Sesungguhnya
tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa
mereka mengubah dulu perlakuannya terhadap informasi, baik yang datang
kepadanya, maupun yang pergi darinya.
"Katakanlah, buku apa
yang kau baca, siaran radio apa yang kau dengar, tayangan TV mana yang
kau tonton, dan situs internet mana yang kau kunjungi, maka kami bisa
tahu, kamu ini manusia seperti apa, dan sepuluh tahun lagi, kau akan
jadi apa".
Manusia adalah satu-satunya mahluk di muka bumi yang
dapat menerima berbagai jenis informasi, mengolahnya, menyimpannya,
menyajikannya dalam bentuk lain, dan menyebarluaskannya sehingga dapat
dimanfaatkan oleh generasi jauh sesudahnya. Tidak ada binatang yang
menyimpan pengalamannya dalam sebuah media yang bisa dimanfaatkan
binatang lain yang tidak pernah bertemu dengannya.
Karena itu,
informasi memiliki kekuatan merubah. Bahkan, di abad-21 M ini, diyakni
bahwa informasi lebih kuat dari kapital, lebih kuat dari senjata, bahkan
lebih kuat dari tenaga berjuta manusia.
Tetapi untuk bisa
mengubah nasibnya ke arah yang dikehendaki dengan informasi, seseorang
wajib mengubah perlakuannya terhadap informasi. Dia harus mampu memilah
sumber informasi yang tepat, menggunakan akal sehat yang dimilikinya
untuk menilai, apakah informasi itu layak dipercaya atau tidak, layak
dimanfaatkan atau tidak, layak diteruskan atau dibuang saja.
Secara alamiah, informasi itu ada tiga jenis.
Ada informasi yang bersifat objektif/induktif, tidak tergantung siapa
yang bicara, tetapi dapat dinilai dari logika di dalam informasi itu
sendiri. Ini biasanya menyangkut kesimpulan sebuah analisis dari
premis-premis yang diketahui sebelumnya. Misalnya, kalau ada dua fakta:
(1) Nabi mendapat wahyu sehingga terjaga dari segala kesalahan di
bidang agama; (2) Nabi berkata, bahwa mujtahid itu kalau benar dapat 2
pahala, kalau salah dapat 1 pahala. Kesimpulannya: Nabi itu bukan
mujtahid, karena nabi tidak bisa salah. Pernyataan ini benar, karena
konsisten dengan premisnya. Contoh lain, ada seorang pengamat
politik menyatakan, bahwa "Semua pengamat politik itu ngawur".
Pernyataan ini jelas salah, karena mengandung paradox di dalam dirinya,
karena dia sendiri pengamat politik, berarti dia juga ngawur. Padahal
kalau dia ngawur, maka pernyataan "Semua pengamat politik itu ngawur"
itu salah, berarti yang benar justru "tidak semua pengamat politik itu
ngawur".
Tidak semua informasi yang objektif, itu sudah
lengkap. Kalau objeknya rumit, maka tidak semua premisnya lengkap.
Karena itu, kesimpulan yang dibangun, suatu saat masih mungkin direvisi.
Dulu, berabad-abad orang puas memodelkan gerakan planet dengan fisika
Newton. Belakangan, Einstein menunjukkan bahwa model gravitasi yang
mengatur gerakan planet itu jauh lebih rumit. Einstein maju dengan
teori relatifitas umum. Belakangan, data yang terkumpul menunjukkan
bahwa Einstein lebih mendekati kebenaran. Fisika Newton tidak salah
total, tetapi dapat dipandang sebagai penyederhanaan dari fisika
Einstein, dan tidak berlaku ketika ada medan gravitasi yang besar, atau
kecepatan yang tidak lagi dapat diabaikan terhadap cahaya. Ketika
ternyata premis itu tidak lengkap, maka kebenaran kesimpulannya dapat
direlatifkan.
Ada pula informasi yang bersifat deduktif, ini
tergantung siapa yang bicara, punya otoritas tidak? Kalau soal nama
anak, itu pasti yang punya otoritas adalah orang tuanya. Jadi kalau
orang tuanya menyebut nama anaknya "Faiz", maka itu pasti benar, dan
pasti salah yang menyebut anaknya "Bejo", meskipun maknanya sama. Kalau
soal rambu lalu lintas, itu yang punya otoritas adalah Polantas bersama
DLLAJR. Jadi kalau ada rambu "verboden", maka pasti salah kalau orang
masuk ke situ. Di sini kebenaran tidak relatif.
Demikian
juga kalau soal keberadaan surga/neraka, dan sifat-sifat calon
penghuninya, itu yang punya otoritas adalah yang menciptakannya, Allah
swt. Tentunya Allah berkata melalui rasul-Nya yang membawa bukti
kenabian (mukjizat).
Ada pula informasi yang bersifat naratif, ini tergantung dari akurasi dan kejujuran rantai informasi (informan).
Kadang, informan pertama yang melihat fakta sudah dihinggapi oleh bias
definisi. Misalnya seekor kucing disangka harimau. Rupanya definisinya
tentang harimau adalah yang oleh orang lain masih dianggap kucing. Bias berikutnya adalah alat yang dipakainya. Ada alat yang peka dan teliti, ada yang kurang peka.
Lalu ada bias kondisi. Informan yang dalam kondisi tidak fit, misalnya
mengantuk, letih, lapar, atau sedang ada keperluan lain yang membuatnya
terburu-buru, pasti tidak seakurat informan yang dalam kondisi ideal.
Kemudian ada bias pemrosesan. Sebagian informasi pasti diproses dulu,
dihubungkan dengan informasi lain atau suatu model yang dihinggapi
asumsi. Akibatnya, dua informan yang sama, bisa menilai kondisi dengan
cara yang berbeda. Informan yang pemberani akan berbeda laporannya
dengan informan yang penakut. Informan yang cerdas akan berbeda dengan
informan yang biasa-biasa saja. Informan yang islami akan berbeda
dengan informan yang sekuler. Terakhir, informasi itu bisa disajikan
dengan cara yang berbeda. Informan yang halus dan santun tutur
katanya, akan berbeda dengan informan yang kasar atau cenderung memilih
kata-kata yang menyinggung perasaan. Informan yang optimis akan melihat
masalah sebagai peluang, sedang informan yang pesimis akan melihat
peluang sebagai masalah.
Itulah kondisi informasi yang kita
hadapi. Mau tidak mau kita memang harus memilah dan memilih informasi
yang akan kita ambil, kita percaya, kita jadikan acuan dalam mengambil
keputusan, dan akan kita sebarkan.
Seorang muslim tentu
diharapkan memilih rantai informasi yang pemberani (agar tidak takut
ditekan pihak manapun), cerdas dan islami. Tetapi untuk informasi yang
sifatnya induktif atau deduktif, tentunya dia tetap harus menggunakan
akal sehatnya, untuk menilai apakah kesimpulan analisis dalam informasi
itu layak diambil atau tidak. Dewasa ini banyak sumber informasi dengan
bias ideologis, baik yang terlalu pro-Islam maupun terlalu anti-Islam.
Yang pro Islam akan mengumbar berita yang terlalu positif untuk Islam,
sekalipun tidak masuk akal (misalnya bahwa ada astronot yang mendengar
adzan di bulan), atau yang terlalu negatif untuk lawannya (misalnya
bahwa Amerika ada di balik tsunami Aceh 2004). Hal-hal yang diberitakan
itu terlalu tidak masuk akal sehat, karena bertentangan dengan fakta
ilmiah yang dapat diverifikasi oleh siapapun dengan ideologi apapun.
Jadi meskipun pro-Islam, sumber informasi yang sudah bias sebenarnya
sudah tidak layak. Hal serupa tentu saja perlu kita terapkan pada sumber Informasi yang terlalu anti-Islam.
Dan nasib kita sendiripun juga ditentukan, seperti apa informasi yang
meninggalkan kita, artinya yang kita keluarkan ataupun yang orang lain
menilai tentang diri kita.
Ada orang yang sebenarnya orang baik
atau berprestasi, tetapi kebaikan atau prestasinya laksana gunung es,
sebagian besar berada di bawah permukaan, tidak tampak, sementara yang
tampak justru kejelekannya atau kegagalannya. Hal ini karena sikapnya
yang membuat orang mendapatkan informasi bahwa dia orang jelek atau
wanprestasi. Sebaliknya, ada juga jago pencitraan, yang kejelekannya
tertutupi oleh kebaikannya, walaupun sebenarnya kebaikannya itu masih
amat sedikit.
Yang terbaik tentu saja orang yang kebaikannya
mendominasi, baik di area yang tidak kelihatan maupun di area yang
kelihatan. Sehingga orang mendapatkan informasi yang benar tentang
dirinya. Ini bisa dimulai ketika dia juga terbiasa memilih informasi
yang benar tentang dunia sekitarnya.
Mestinya Ramadhan adalah
bulan untuk merubah cara kita memperlakukan informasi. Mudah-mudahan,
mulai masuk malam-7 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah INFORMASI
yang kita terima atau yang meninggalkan kita, agar Allah merubah nasib
kita. [Fahmi Amhar]
Berbagi :
Posting Komentar
untuk "BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-7: UBAH INFORMASI"
Posting Komentar untuk "BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-7: UBAH INFORMASI"