PRESIDEN
Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kekecewaannya akibat kelambanan
para pembantunya menangani masalah lonjakan harga sejumlah bahan pokok,
terutama daging sapi. Presiden menyampaikan itu saat memimpin rapat
terbatas di Base Ops, Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu (13/7) siang,
setibanya dari kunjungan kerja ke Nusa Tenggara Barat.
Namun,
apa yang selanjutnya terjadi setelah Presiden memarahi para menteri
akibat harga kebutuhan pokok yang terus melangit? Jawabnya jelas,
harga-harga tersebut tetap stabil tinggi.
Para menteri yang
bertanggung jawab menangani harga pun merasa tidak perlu terlalu kaget,
apalagi panik. Boleh jadi, itu disebabkan sudah muncul anggapan toh
Presiden sudah sering marah dan akhirnya reda sendiri seiring dengan
berjalannya waktu. Begitulah yang kita saksikan dengan jalannya
pemerintahan setahun menjelang pemilihan umum. Para menteri sibuk
mempersiapkan diri menyongsong hajatan pemilu lalu menjadikan tugas
utama mereka sebagai sambilan.
Bagaimana mungkin di tengah
gejolak harga yang tidak kunjung turun, ada seorang menteri terkait
malah sibuk menghadiri sejumlah festival? Bahkan, pada kali lain,
menteri membuka atau menutup pameran yang tingkat urgensinya jauh kalah
ketimbang menstabilkan harga.
Sidak para menteri ke lapangan
pun ternyata juga tak cukup mujarab menstabilkan harga. Harap maklum
bila publik menilai itu sekadar pencitraan.
Semua seperti
berjalan sendiri-sendiri. Koordinasi menjadi barang mewah yang sangat
susah untuk dilakukan. Ketika sudah dalam kondisi seperti itu, jangankan
kemarahan, bahkan instruksi resmi pun akan majal.
Yang tersaji
di depan publik pun bukan solusi cepat mengatasi harga yang kian
mencekik, melainkan kegaduhan akibat saling tuding. Menko Perekonomian
Hatta Rajasa pun hanya bisa mengatakan, “Saya kira wajar saja kalau
Presiden marah. Wong saya saja sebelumnya marah.”
Khusus untuk
daging sapi, Hatta mengatakan rapat koordinasi 13 Mei silam telah
memutuskan Perum Bulog mengimpor daging 3.000 ton. Seharusnya, kata
Hatta, perizinan untuk itu selesai satu minggu karena berada di
lingkungan internal pemerintahan. Nyatanya, izin baru keluar pada 26
Juni, atau satu bulan lebih dua minggu kemudian. Dalam kemarahannya pun
Presiden sampai bertanya, apakah izin itu harus diminta di New York?
Berkali-kali dalam forum ini kita mengkritik cara-cara pemerintah
menangani masalah yang lebih mengedepankan model ad hoc, alias darurat.
Model penanganan ala pemadam kebakaran seperti itu jelas tidak akan bisa
menjadi solusi permanen untuk jangka panjang.
Model solusi ad
hoc itu kini dibumbui dengan ‘kemarahan’ Presiden yang hanya menambah
kegaduhan, tapi tak kunjung menyelesaikan persoalan. Birokrasi yang
lamban, tidak antisipatif, dan miskin terobosan akan menjadi
‘kolesterol’ yang bila terus ditumpuk akan mematikan.
Sayangnya, jalan itu yang saat ini dipilih rezim saat ini.
Posting Komentar untuk "Kemarahan Presiden"