BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-8: UBAH INTERNALISASI
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan
nasib tanpa mereka mengubah dulu cara mereka meng-internalisasi
(menghayati) apa yang mereka telah ketahui dan amalkan.
Perbedaan manusia dengan malaikat adalah, manusia itu diberi kebebasan memilih, apa yang ingin dilakukannya. Kalau malaikat semuanya taat, tidak bisa ingkar atau maksiat. Malaikat tidak diberi pilihan. Manusia bisa memilih. Pilihan itu sesuai dengan apa yang diketahuinya, dan apa yang setelah itu menurutnya bermanfaat atau menguntungkannya, baik langsung maupun tak langsung, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang.
Tanpa internalisasi, banyak amal dilakukan tanpa ruh, hanya seperti robot. Ada orang sholat sudah puluhan tahun, bahkan juga pergi haji berkali-kali, tetapi tetap belum bisa "menghadirkan" Allah dalam dirinya. Dia kesulitan merasakan nikmatnya ihsan dan ihlas. Dia belum pernah bisa merasakan nikmatnya menangis di depan Allah, atau tergetar hatinya ketika mendengar ayat-ayat Allah. Hanya orang yang rajin melatih meng-internalisasi amalnya itu yang mampu merasakan kelezatan iman.
Ketika dia wudhu, dia merasakan Allah sedang membersihkan noda-noda dosa dari dirinya. Ketika dia sujud, dia merasa bersimpuh di depan Allah Yang Maha Perkasa yang siap menghukumnya atas kesalahannya. Bahkan, setiap hari ketika dia merasakan lembutnya sinar matahari pagi, hatinya bisa tergetar, betapa Allah Maha Mengasihinya. Padahal, Allah sangat mampu menjadikan syarafnya mati, sehingga dia tidak mampu lagi merasakan lembutnya sinar matahari itu.
Di sisi lain, orang yang mampu menghayati pengetahuannya, akan mampu tetap bersikap "cool", ketika ada sesuatu yang bagi orang lain selintas tidak lazim, tidak bermanfaat atau tidak menguntungkan. Seorang jenius seperti Albert Einstein begitu tenang ketika orang mengolok-oloknya ketika dia mengusulkan teori relativitas sebagai cara pandang baru tentang alam semesta. Bayangkan, waktu itu dia masih seorang anak muda berumur 26 tahun, belum memiliki karier ilmiah, dan dia juga tidak bekerja di suatu lembaga yang memiliki tupoksi penelitian fisika. Ketika 14 tahun kemudian teorinya terbukti sesuai dengan pengamatan empiris, dia juga tetap cool, karena dia memang sudah menghayatinya sejak awal.
Para sahabat Nabi pun adalah orang-orang yang begitu menghayati apa yang mereka dengar dari Nabi. Ketika Qur'an mengabarkan tentang kenikmatan hidup di surga, maka surga itu seakan-akan ada di pelupuk mata mereka, sehingga mereka rela mengorbankan apa saja agar bisa memasuki surga. Seorang sahabat yang ikut perang Badar bahkan membuang setengah kurma di mulutnya, karena merasa memakan setengah kurma itupun terlalu lama untuknya, kalau dia akan masuk surga. Sahabat itu terbukti kemudian syahid di Perang Badar. Sebaliknya, ketika Qur'an mengabarkan tentang adzab di neraka, maka neraka itupun seakan-akan ada di pelupuk mata mereka, sehingga mereka bersegera dalam meninggalkan segala yang dilarang. Bahkan ketika ayat yang mengharamkan minuman keras (khamr) diumumkan, ada orang yang sedang siap-siap menuangkan kendi berisi khamr ke mulutnya, langsung dibatalkan dan kendi itu dipecahkan seketika itu juga.
Dewasa ini banyak orang yang alim dalam arti memiliki cukup pengetahuan. Namun pengetahuan mereka tidak merasuk hingga ke sukma. Akibatnya pengetahuan itu tidak menjadi faktor pengubah kehidupan mereka.
Pada umumnya, mereka yang gagal dalam internalisasi pengetahuannya itu, disebabkan oleh 3 hal:
1. Adanya ketakutan akan sesuatu, yang mungkin juga mitos atau asumsi. Misalnya, ada muslimah yang belum memakai jilbab karena khawatir akan dipecat dari tempat kerjanya, atau sulit dapat jodoh.
2. Adanya kepentingan yang dia harapkan. Misalnya, ada muslimah yang melanggar larangan tabarruj (bersolek) di depan publik, karena berharap dia "posisi tawar"-nya akan naik.
3. Adanya keyakinan tertentu yang dia pegang. Misalnya, ada muslimah yang masih meyakini bahwa dalam pernikahan itu usia suami harus lebih tua dari usianya, sehingga berkali-kali menolak lamaran hanya karena faktor usia.
Padahal muslimah itu jelas mendapatkan dari berbagai kajian yang diikutinya, bahwa jilbab itu wajib, tabarruj di depan non mahram itu haram, dan tidak ada hal yang mengharuskan usia suami lebih tua dari istri. Tetapi internalisasi pengetahuan itu dalam dirinya masih belum berhasil.
Di masyarakat maupun negara, tingkat internalisasi nilai atau aturan syari'at yang bersifat kolektif, jelas lebih penting lagi, agar masyarakat dan negara itu berubah menjadi lebih baik. Mereka wajib menginternalisasi konsekuensi ukhrowiyah akan pentingnya pemberantasan korupsi, pentingnya pembangunan yang baik, pentingnya memelihara fasilitas umum, hingga pentingnya selalu mengawasi kerja pemerintah.
Ketika seorang surveyor sedang menyiapkan sebuah peta rupabumi (topografi), mestinya dia kerjakan dengan internalisasi bahwa dia sedang menyiapkan sebuah alat, yang dengan itu jika kelak ada bencana, pertolongan dapat mudah dilakukan berbekal peta yang dibuatnya. Seorang sopir yang sedang mengemudikan angkot membawa anak sekolah, mestinya dia kerjakan dengan internalisasi bahwa dia sedang mengantar tunas-tunas bangsa, yang di antara mereka kelak akan menjadi pemimpin umat yang akan membebaskan kaum muslimin dari keterpurukan.
Sekalipun surveyor atau sopir angkot itu di dunia merasa profesinya belum dihargai sepantasnya, tetapi internalisasi tadi akan membuatnya bahagia, karena dia yakin, Allah Yang Maha Kaya pasti akan membalas setiap kebaikan dengan kebaikan. Rasa bahagia itulah yang kelak akan memberi jalan bagi perubahan dalam hidupnya.
Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk merubah cara kita internalisasi. Mudah-mudahan, mulai masuk malam-8 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah cara kita menghayati setiap amal dan dan menghadirkan konsekuensi perbuatan yang kita ketahui, agar Allah merubah nasib kita. [Fahmi Amhar]
Perbedaan manusia dengan malaikat adalah, manusia itu diberi kebebasan memilih, apa yang ingin dilakukannya. Kalau malaikat semuanya taat, tidak bisa ingkar atau maksiat. Malaikat tidak diberi pilihan. Manusia bisa memilih. Pilihan itu sesuai dengan apa yang diketahuinya, dan apa yang setelah itu menurutnya bermanfaat atau menguntungkannya, baik langsung maupun tak langsung, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang.
Tanpa internalisasi, banyak amal dilakukan tanpa ruh, hanya seperti robot. Ada orang sholat sudah puluhan tahun, bahkan juga pergi haji berkali-kali, tetapi tetap belum bisa "menghadirkan" Allah dalam dirinya. Dia kesulitan merasakan nikmatnya ihsan dan ihlas. Dia belum pernah bisa merasakan nikmatnya menangis di depan Allah, atau tergetar hatinya ketika mendengar ayat-ayat Allah. Hanya orang yang rajin melatih meng-internalisasi amalnya itu yang mampu merasakan kelezatan iman.
Ilustrasi |
Ketika dia wudhu, dia merasakan Allah sedang membersihkan noda-noda dosa dari dirinya. Ketika dia sujud, dia merasa bersimpuh di depan Allah Yang Maha Perkasa yang siap menghukumnya atas kesalahannya. Bahkan, setiap hari ketika dia merasakan lembutnya sinar matahari pagi, hatinya bisa tergetar, betapa Allah Maha Mengasihinya. Padahal, Allah sangat mampu menjadikan syarafnya mati, sehingga dia tidak mampu lagi merasakan lembutnya sinar matahari itu.
Di sisi lain, orang yang mampu menghayati pengetahuannya, akan mampu tetap bersikap "cool", ketika ada sesuatu yang bagi orang lain selintas tidak lazim, tidak bermanfaat atau tidak menguntungkan. Seorang jenius seperti Albert Einstein begitu tenang ketika orang mengolok-oloknya ketika dia mengusulkan teori relativitas sebagai cara pandang baru tentang alam semesta. Bayangkan, waktu itu dia masih seorang anak muda berumur 26 tahun, belum memiliki karier ilmiah, dan dia juga tidak bekerja di suatu lembaga yang memiliki tupoksi penelitian fisika. Ketika 14 tahun kemudian teorinya terbukti sesuai dengan pengamatan empiris, dia juga tetap cool, karena dia memang sudah menghayatinya sejak awal.
Para sahabat Nabi pun adalah orang-orang yang begitu menghayati apa yang mereka dengar dari Nabi. Ketika Qur'an mengabarkan tentang kenikmatan hidup di surga, maka surga itu seakan-akan ada di pelupuk mata mereka, sehingga mereka rela mengorbankan apa saja agar bisa memasuki surga. Seorang sahabat yang ikut perang Badar bahkan membuang setengah kurma di mulutnya, karena merasa memakan setengah kurma itupun terlalu lama untuknya, kalau dia akan masuk surga. Sahabat itu terbukti kemudian syahid di Perang Badar. Sebaliknya, ketika Qur'an mengabarkan tentang adzab di neraka, maka neraka itupun seakan-akan ada di pelupuk mata mereka, sehingga mereka bersegera dalam meninggalkan segala yang dilarang. Bahkan ketika ayat yang mengharamkan minuman keras (khamr) diumumkan, ada orang yang sedang siap-siap menuangkan kendi berisi khamr ke mulutnya, langsung dibatalkan dan kendi itu dipecahkan seketika itu juga.
Dewasa ini banyak orang yang alim dalam arti memiliki cukup pengetahuan. Namun pengetahuan mereka tidak merasuk hingga ke sukma. Akibatnya pengetahuan itu tidak menjadi faktor pengubah kehidupan mereka.
Pada umumnya, mereka yang gagal dalam internalisasi pengetahuannya itu, disebabkan oleh 3 hal:
1. Adanya ketakutan akan sesuatu, yang mungkin juga mitos atau asumsi. Misalnya, ada muslimah yang belum memakai jilbab karena khawatir akan dipecat dari tempat kerjanya, atau sulit dapat jodoh.
2. Adanya kepentingan yang dia harapkan. Misalnya, ada muslimah yang melanggar larangan tabarruj (bersolek) di depan publik, karena berharap dia "posisi tawar"-nya akan naik.
3. Adanya keyakinan tertentu yang dia pegang. Misalnya, ada muslimah yang masih meyakini bahwa dalam pernikahan itu usia suami harus lebih tua dari usianya, sehingga berkali-kali menolak lamaran hanya karena faktor usia.
Padahal muslimah itu jelas mendapatkan dari berbagai kajian yang diikutinya, bahwa jilbab itu wajib, tabarruj di depan non mahram itu haram, dan tidak ada hal yang mengharuskan usia suami lebih tua dari istri. Tetapi internalisasi pengetahuan itu dalam dirinya masih belum berhasil.
Di masyarakat maupun negara, tingkat internalisasi nilai atau aturan syari'at yang bersifat kolektif, jelas lebih penting lagi, agar masyarakat dan negara itu berubah menjadi lebih baik. Mereka wajib menginternalisasi konsekuensi ukhrowiyah akan pentingnya pemberantasan korupsi, pentingnya pembangunan yang baik, pentingnya memelihara fasilitas umum, hingga pentingnya selalu mengawasi kerja pemerintah.
Ketika seorang surveyor sedang menyiapkan sebuah peta rupabumi (topografi), mestinya dia kerjakan dengan internalisasi bahwa dia sedang menyiapkan sebuah alat, yang dengan itu jika kelak ada bencana, pertolongan dapat mudah dilakukan berbekal peta yang dibuatnya. Seorang sopir yang sedang mengemudikan angkot membawa anak sekolah, mestinya dia kerjakan dengan internalisasi bahwa dia sedang mengantar tunas-tunas bangsa, yang di antara mereka kelak akan menjadi pemimpin umat yang akan membebaskan kaum muslimin dari keterpurukan.
Sekalipun surveyor atau sopir angkot itu di dunia merasa profesinya belum dihargai sepantasnya, tetapi internalisasi tadi akan membuatnya bahagia, karena dia yakin, Allah Yang Maha Kaya pasti akan membalas setiap kebaikan dengan kebaikan. Rasa bahagia itulah yang kelak akan memberi jalan bagi perubahan dalam hidupnya.
Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk merubah cara kita internalisasi. Mudah-mudahan, mulai masuk malam-8 bulan Ramadhan, kita sudah bisa merubah cara kita menghayati setiap amal dan dan menghadirkan konsekuensi perbuatan yang kita ketahui, agar Allah merubah nasib kita. [Fahmi Amhar]
Posting Komentar untuk "BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-8: UBAH INTERNALISASI"