Di
awal bulan Ramadhan 2013 telah terjadi peristiwa yang cukup
menggemparkan, kerusuhan dan kebakaran LP Klas I Tanjung Gusta Medan
Sumatra Utara Kamis malam (11/7/2013). Kasus yang berbeda dari Lapas
Cebongan, kali ini ratusan narapidana kabur.Dan dari ratusan yang kabur
termasuk beberapa orang narapidana terorisme. Ada nama yang diungkap
paling menonjol oleh pihak aparat khususnya BNPT (Ansyad Mbai) yaitu
Fadli Sadama.
Nama lengkapnya Fadli Sadama bin Mahmudin alias
Fernando alias Buyung alias Adek (28) ditangkap di Malasyia kemudian di
boyong oleh Densus88 ke Mako Brimob Kelapa Dua. Diduga terlibat
mendalangi perampokan bank CIMB Medan Sumut tahun 2010 silam.Tapi
kemudian di pengadilan dijerat dengan UU Terorisme (No 15 Tahun 2003),
berangkat dari sebuah asumsi bahwa perampokan tersebut dilakukan untuk
melakukan tindakan terorisme kemudian mendirikan Negara Islam di
Indonesia.Sebuah asumsi basi yang selalu dipasang untuk menyeret
seseorang dalam label “terorisme” ala Indonesia.
Bagi penulis
terasa perlu untuk memberikan “catatan” atas statemen Ansyaad Mbai
baru-baru ini terkait perburuan terhadap Fadli Sadama dan desakan
pembubaran Densus 88.Usai diskusi di Epicentrum Kuningan Jakarta
Selatan, Senen (15/7/2013) seperti yang di kutip detik.com menurut
Ansyaad; jika Densus 88 saat melakukan pengejaran terhadap Fadli dalam
kondisi yang tidak kondusif, maka harus diambil tindakan tegas! (baca:
tembak di tempat).
Dari statemen tersebut terlihat indikasi
pihak BNPT dan Densus 88 tidak akan menyudahi cara-cara ekstra judicial
killing untuk menangkap buronan mereka. Terlepas dari label atau status
dari masing-masing narapidana, baik mereka yang koruptor, perampok,
pelaku kejahatan narkoba dan lainnya yang ikut kabur mereka adalah
manusia yang sama. Mereka punya hak untuk hidup. Apakah karena status
mereka “teroris” kemudian rencana tindakan ataupun niat penindakannya
sampai harus tembak ditempat? Dari pengalaman yang ada, karena asumsi
kondisi yang tidak kondusif bagi aparat dilapangan kemudian banyak
buronan yang terkapar tewas ditangan Densus 88. Apakah aparat tidak
pernah belajar teknik melumpuhkan target dengan efektif selain
mengeksekusi hingga tewas? Kali ini waktu akan membuktikan, jika aparat
kepolisian dari unit lain bisa menangkap balik para narapidana yang
kabur tanpa harus membunuhnya karena alasan melawan atau membahayakan
atau versi BNPT sikon tidak kondusif, maka bagaimana dengan Densus
88?Apakah akan mampu mengembalikan narapidana terorisme dengan
hidup-hidup atau sebaliknya (sudah dalam kantong mayat).
Dalam
berbagai kesempatan pihak BNPT condong memproduk opini kepanikan.
Tentang sosok Fadli Sadama yang sangat berbahaya, padahal sejatinya ini
adalah langkah image building atas seseorang demi menjaga kontinuitas
proyek kontra terorisme di Indonesia.Dimasa lalu terlalu sering kita
membaca mendengar dan melihat opini tentang seseorang adalah sosok yang
sangat berbahaya. Notabene mereka semua adalah TO (target operasi) dari
Densus 88 yang sebelumnya tidak dikenal sama sekali kapasitas pribadinya
dalam konteks aksi terorisme.Tapi sebutan “orang berbahaya” selalu
meuncul ketika perburuan dimulai.Inilah opini untuk mengkontruksi
mindset masyarakat luas agar melegitimasi tindakan aparat dilapangan
apapun hasilnya adalah sah karena label “teroris” pada diri TO (target
operasi).Inilah statemen dan tindakan yang cenderung “dehumanisasi
teroris”, menyimpang dari asas-asa kemanusiaan dalam memperlakukan
seseorang atas hak dasar hidupnya hanya karena tuduhan dan label
teroris.
Ramadlan dan Puasa terasa belum bisa mengajarkan
kepada Ansyaad Mbai (BNPT) tentang pentingnya mereduksi “nafsu membunuh”
terhadap orang-orang yang disangka “teroris”.Bahkan juga menjaga lisan
untuk tidak melontarkan statemen yang cenderung fitnah kapada banyak
orang.Misalkan diluar kasus perburuan Fadli Sadama, seorang Ansyaad Mbai
juga menuduh pihak-pihak yang menginginkan Densus 88 dibubarkan adalah
teroris atau orang yang dikendalikan teroris.Dalam diskusi di kawasan
Kuningan Jakarta Selatan Senin (15/7/2013) tersebut Ansyad Mbai juga
menyatakan kekecewaannya terhadap pernyataan tokoh-tokoh Islam yang
dikendalikan teroris dengan menginginkan pembubaran Densus 88.Sebuah
pernyataan yang disetir teroris menurut Mbai.
Bagi yang waras
akalnya, pernyataan seperti ini sangat tidak bermutu. Cenderung seperti
orang panik, kehilangan daya nalar kritis untuk menghadapi kritik dan
nasehat dari orang lain. Karena latar belakang desakan pembubaran Densus
88 bukan datang atas order teroris kepada kelompok tertentu maupun
kepada tokoh-tokoh Islam tertentu.Kalau tokoh-tokoh yang kritis
sekiranya menuntut pembuktian atas statemen si Mbai, saya yakin akan
menjadi buah simalakama bagi kredibilitas si Mbai secara pribadi. Para
tokoh memberikan kritik tajam, lebih karena berangkat dari kajian atas
pihak aparat sendiri khususnya Densus 88 dan BNPT yang sangat mencedarai
rasa kemanusiaan banyak orang.Cara-cara perang melawan terorisme sudah
menyentuh kehormatan Islam dan umatnya serta supremasi hak kemanusiaan
yang asasi seseorang yang dijamin oleh UU.Kajian dan investigasi Komnas
HAM sendiri sudah final, sangat kuat diduga banyak pelanggaran HAM yang
dilakukan Densus 88 dalam penindakan dilapangan.
Umat harus
kritis atas perkara yang menimpa agama dan saudara muslimnya, di bulan
puasa kita bukan berarti puasa untuk tidak mengatakan yang benar itu
benar dan yang batil itu batil. Sekalipun catatan seperti ini juga
mungkin di tuduh “dibuat atas pesanan teroris” atau statemen “mabuk”
lainya.Wallahu a’alam bisshowab.(krsk/vm.com) [Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra Terorisme & Direktur CIIA)]
Berbagi :
Posting Komentar
untuk "Dua Statemen Sumir BNPT di Bulan Ramadhan"
Posting Komentar untuk "Dua Statemen Sumir BNPT di Bulan Ramadhan"