Tersingkirnya
presiden terpilih Mohammed Morsi telah membawa Mesir kembali ke era
ketidakstabilan. Ratusan ribu demonstran pro dan kontra Morsi telah
memenuhi jalan-jalan Mesir, sementara bentrokan antara demonstran dan
tentara menyebabkan banyak insiden kekerasan. Ikhwanul Muslimin,
partainya Morsi, telah menuduh tentara dan pemimpin militer ingin
menjadikan Mesir sebagai Suriah yang baru. [1] Tuduhan tersebut muncul
setelah tentara menewaskan 51 demonstran Ikhwan dan melukai lebih dari
430 lainnya di depan Markas Garda Republik di Kairo. [2] Sebagai
tanggapan, tentara menyebut para demonstran sebagai “teroris.” [2]
Dengan semua kekacauan ini, pertanyaannya adalah, ke arah mana Mesir
akan menuju?
Para pemimpin beberapa faksi politik sekuler telah
mampu memobilisasi puluhan ribu orang turun ke jalanan karena 3 alasan:
kondisi ekonomi yang mengerikan, inkompetensi Ikhwan dan sentimen
revolusioner yang masih ada pada massa karena Arab Spring. Sejak kudeta
pada tahun 1952 oleh Gamal Abdul Nasser, institusi militer telah menjadi
kekuatan utama di negara itu, dan hal ini jelas oleh fakta bahwa semua
presiden sebelumnya adalah mantan pemimpin militer. Ikhwanul Muslimin
didirikan pada tahun 1928 sebagai reaksi sosial-politik runtuhnya
Kekhalifahan Islam Utsmani di Istambul. Setelah 85 tahun sejak
pendiriannya dan karena sentimen massa Islam dan pemberontakan pada
tahun 2011, tentara, dengan restu AS [3], telah memungkinkan Ikhwan
untuk mencapai kursi kepresidenan. Faksi-faksi sekuler yang
terpecah-pecah tidak bisa menggalang dukungan yang cukup dari masyarakat
Mesir, meninggalkan kelonggaran sempit bagi Ikhwan untuk melakukan
manuver.
Amerika Serikat tidak ingin pengaruh Islam politik
tumbuh di kawasan ini, karena itu mereka menyambut gerakan-gerakan Islam
liberal, sebagaimana Ikhwan, untuk ikut berpartisipasi dalam proses
politik Mesir. AS tidak memiliki masalah dengan gerakan-gerakan ini
untuk mencapai posisi kepemimpinan selama kekuasaan yang sesungguhnya
berada di tangan otoritas sekuler, misalnya di Mesir hal ini terutama
adalah angkatan bersenjata. AS tidak mengecam junta militer Mesir yang
menggulingkan presiden yang terpilih secara demokratis, yang menunjukkan
bahwa mereka puas dengan langkah yang telah diambil melalui beberapa
bentuk permintaan rakyat. AS melihat kesempatan untuk mendiskreditkan
agenda kelompok Islamis di mata rakyat dan bukan hanya Ikhwan. Selain
itu, para ahli strategi AS tahu bahwa langkah-langkah tersebut akan
memacu reaksi keras dari basis massa Islam yang pasti akan menyebabkan
kerusuhan dan kekerasan, setidaknya untuk jangka waktu tertentu. Jadi
mengapa AS dan junta militer mengambil langkah yang beresiko tersebut?
Kemungkinan alasan pertama atas kudeta ini adalah kebutuhan sangat
perlunya membatasi Ikhwanul Muslimin yang berkuasa, karena mereka telah
memperluas pengaruhnya dalam badan-badan administrasi pemerintah dan
provinsi. Mobilisasi massa oleh kaum sekularis memberikan kesempatan
yang sangat baik dan alasan atas campur tangan tersebut. Dalam pendirian
Amerika, ada orang-orang yang mendorong untuk lebih bekerja sama dengan
kelompok “Islam liberal” untuk meminggirkan orang-orang Islam yang
menyerukan perubahan nyata, namun yang lainnya, yang juga kelompok
berpengaruh, melihatnya dengan mata ketidakpercayaan. Mereka mengklaim
bahwa gerakan-gerakan itu bersifat pragmatis dan yang tujuan sebenarnya
adalah untuk mencapai kekuasaan dan kemudian mendiskreditkan demokrasi.
Oleh karena itu, dorongan untuk mengakomodasi Ikhwan dan membatasi ruang
manuver politik mereka menjadi sangat penting. Masalah terbesar adalah
bahwa tentara Mesir telah dijual untuk melakukan hal ini dan sekarang
mereka harus menghadapi kerusuhan sipil yang merupakan hasil dari
penggulingan tersebut!
Alasan kedua yang mungkin adalah niat AS
untuk mendorong negara ke dalam konflik bersenjata jangka panjang dalam
masyarakat Mesir, melalui organisasi-organisasi militan dan tentara
Mesir. Hal itu bisa dimengerti jika kita melihat tren kekerasan setiap
kali kekuatan Barat dan AS berpikir akan kemungkinan adanya ancaman
Islam politik yang didukung oleh sebagian basis massa di suatu negara.
Contohnya termasuk Aljazair dan Irak pada 1990-an, Sudan dan Pakistan
pada 2000-an dan yang paling baru adalah Bangladesh dan Suriah. Di
Mesir, kekerasan telah terjadi dan memburuk di banyak wilayah terutama
di Sinai, di mana ada klaim bahwa organisasi-organisasi militan telah
meluncurkan beberapa serangan terhadap pos-pos pemeriksaan militer
seperti yang telah dilaporkan oleh Reuters. [4] Ikhwan mungkin tidak
bisa mengendalikan beberapa basisnya terutama ketika mereka mengumpulkan
massa untuk melawan “penindasan” tentara dan dengan emosi yang tinggi.
Perubahan yang terjadi pada tahun 2011 akibat Arab Spring bukanlah
perubahan yang nyata namun perubahan wajah rezim yang memanfaatkan wajah
Islam untuk menipu massa. Pengaruh AS untuk eksis tidak pernah berhenti
dan karena itu mereka terus mempengaruhi struktur kekuasaan internal
dan kebijakan. Ikhwan jatuh ke dalam perangkap dengan diberikan
“kekuasaan” tanpa otoritas yang nyata dan karenanya telah menyebabkan
terusirnya mereka yang membuat senang tentara. Mesir berada di ambang
kerusuhan sipil jangka panjang yang mungkin terjadi dan tentu saja tidak
akan dihentikan melalui kompromi antara tentara dan Ikhwan. Kompromi
tersebut, tidak akan membiarkan Ikhwan mencapai posisi yang lebih baik
di dalam kekuasaan. Rencana terbaik bagi Ikhwan adalah melepaskan diri
dari proses politik, untuk yang terakhir kalinya, dan mempersatukan
rakyat bagi sebuah negara Islam di mana mereka akan memiliki kekuatan
yang nyata di mana mayoritas rakyat Mesir berdiri di belakang mereka. [Abu Anas]
Posting Komentar untuk "Mesir Setelah Morsi: Kekacauan atau Pertumpahan Darah?"