Pilwali = Kesejahteraan ?
Tinggal dua
bulan lagi warga kota Makassar menggelar pesta Demokrasi. Yang akan digelar 18
september 2013. Mengahdirkan 10 calon walikota, sebuah rekor baru pemilihan
kali ini diisi banyak calon. Kebanyakan dari mereka berada di jalur independen.
Euforia demokrasi itu membius
rakyat dan membisikkan mimpi-mimpi keadilan, kesejahteraan, kemakmuran,
pemulihan harkat kemanusiaan dan mimpi-mimpi tentang kebaikan lainnya. Namun
layaknya obat bius, begitu umat mendapatkan kembali kesadarannya, umat pun akan
cepat menyadari bahwa demokrasi sesungguhnya bukanlah solusi, bahkan demokrasi
merupakan sistem gagal dan merusak dan sejak awal sebenarnya tidak dibutuhkan
oleh umat Islam.
Momen Ramadhan
pun dimanfaatkan demi mendulang suara. Sebetulnya tidak menjadi masalah ketika mereka berbagi dengan warga
miskin, dan yatim piatu, yang menjadi masalh ketika kegiatan ini hanya sebatas
bulan ramadhan atau pada saat pemilu/pilkad. Bisa diibaratkan rakyat bahagia
pada saat p pemilu, namun kembali susah 4 tahun kemudian.
Pantas,
pengalaman tahun lalu. Makassar mencatat rekor sebagai golput terbanyak di
sulsel sebanyak 47%. Inilah bukti bahwa masyarakat mulai berangsur-angsur tidak
mempercayai dengan pemerintahan sekarang. Kebijakan yang penuh terhadap para
pemilik modal. Pinggiran tanjung bunga dapat menjadi contoh. Masyarakat disana hidup melarat sementara
pambangunan disekitarnya terus berlangsung.
Publik pun tidak
bisa membantah, kericuhan dan kecurangan sangat akrab dengan pilkada/pemilu.
Kita masih ingat Beberapa bulan lalu pilwali palopo ricuh, akibatnya kantor
walikota ludes terbakar.Tahun lalu terjadi tindak kecuranag dalam pilgub
Sulawesi Selatan, mengharuskan beberapa kebupaten memilih ulang.
Demokrasi Gagal
Kita
mulai berpikir kegagalan demi kegagalan terjadi dalam pelakasanaan pilkada. Ada
sebuah indikasi ini bukan lagi kesalahn personnya namun merambah pada kesalahan
sistemik.
Demokrasi
sarat kelemahan dan kerancuan, bahkan bisa dikatakan sistem yang gagal.
Demokrasi gagal merealisasi doktrin mendasarnya yaitu kedaulatan rakyat. Rakyat
hanya memiliki otoritas langsung saat pemilu untuk memilih penguasa dan
wakilnya di Dewan Legislatif. Itupun otoritas yang telah dibatasi dan diarahkan
oleh partai dan kapitalis melalui proses politik yang ada, sebab rakyat hanya
memiliki otoritas memilih orang yang sudah disaring oleh parpol dan proses
politik. Setelah pemilu, kedaulatan riil tidak lagi di tangan rakyat, tetapi di
tangan pemerintah atau penguasa dan anggota legislatif, dan di belakang keduanya
adalah para kapitalis. Pasca pemilu, kepentingan elit lebih diutamakan daripada
kepentingan rakyat. Wakil rakyat tidak mewakili rakyat akan tetapi mewakili
diri sendiri dan golongannya (partai) dan
para kapitalis.
Demokrasi
juga gagal menghilangkan aristokrasi yang cirinya kekuasaan dikuasai oleh kaum
elit. Dalam praktek demokrasi dimanapun, kekuasaan tetap saja dipegang oleh
kaum elit yaitu para kapitalis, elit partai, dan kelas politik. Hal itu sangat
kentara. Penguasa dan politisi di negara demokrasi manapun selalu berasal dari
dinasti kelas berkuasa secara politik dan ekonomi dan kelompoknya.
Demokrasi
pun dijadikan jalan untuk memaksakan UU yang menjamin aliran kekayaan ke Barat
dan penguasaan berbagai kekayaan dan sumber daya alam oleh para kapitalis
asing. UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Migas, UU SJSN
dan BPJS, dan sejumlah UU lainnya yang menguntungkan barat sudah diketahui
secara luas pembuatannya disetir dan dipengaruhi oleh barat. Melalui mekanisme
demokrasi pula penguasaan atas kekayaan alam oleh asing bisa dilegalkan dan
dijamin.
Demokrasi
pula yang menjadi biang korupsi dan kolusi. Hal itu karena perlu biaya besar
untuk membiayai proses politik untuk menjadi penguasa dan anggota legislatif
serta menggerakkan mesin partai. Maka tidak aneh jika lembaga anti korupsi
kebanjiran kasus setiap menjelang pemilu. Menurut Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto, laporan pengaduan masyarakat terkait dugaan korupsi menjelang
Pemilu 2014 ke KPK meningkat. Dari sejumlah laporan yang masuk, umumnya
dilakukan oleh para penyelenggara negara untuk biaya politik dari uang APBN
maupun APBD. Laporan naik menjelang 2014. Trennya ternyata para pejabat itu
mencari biaya pemilu dengan korupsi keuangan negara atau suap, misalnya di
bagian perizinan.(viva.news.co.id,
22/4).
Kembali
pada Islam
Untuk
menjadikan kehidupan manusi lebih baik, manusia harus meninggalkan Demokrasi
dan Kembali pada Islam. Islam telah berjaya dengan sistem Khilafah selama 14
abad. Keimanan dan kesejateraan rakyat sama rata, digambarkan dalam kisah
Khalifah Umar bin Khattab saat menguji umatnya dengan pura-pura menjadi seorang
pembeli domba. Umar pun berkata
”Hai pengembala, aku ingin membeli seekor kambing yang kau gembala ini. Bekalku sudah habis.”
Tatkala majikannya tidak ada Khalifah pun meminta agar dia ingin membeli, namun si budak menolak karena ia merasa Allah melihat apa yang ia lakukan.
Di
era Khalifah Umar bin Abd Aziz yang berlangsung hingga dua tahun lebih kesejahteraan sama rata.
Hingga tak ada satupun yang menjadi muzakki.
Dari
rincian ini setidaknya menggugah hati kita untuk tidak menerima Demokrasi
hingga teknisnya. Sebab demokrasi nyata-nyata sistem yang gagal, rusak dan
merusak. Semua itu wajar saja sebab demokrasi adalah sistem buatan manusia yaitu
sistem jahiliyah. Karena itu sistem demokrasi itu harus segera ditinggalkan dan
dicampakkan.
Allah SWT bertanya yang sekaligus
menjadi celaan terhadap siapa saja yang mengikuti sistem jahiliyah. Allah
berfirman:
﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾
Apakah hukum Jahiliyah yang
mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50) [Abdul Khaliq]
Posting Komentar untuk " Pilwali = Kesejahteraan ?"