Puasa dan Esensi Takwa
Betapa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan apapun kecuali rasa lapar dan haus belaka (HR Muslim).
Takwa, sebagaimana kita ketahui, adalah ‘harapan’ yang Allah SWT
kehendaki dari seorang Mukmin setelah menunaikan shaum atau puasa selama
Ramadhan. Karena itu, boleh dikatakan takwa sejatinya adalah ‘buah’
dari shaum atau puasa yang dilakukan seorang Mukmin. Persoalannya,
sebagaimana sabda Baginda Nabi Muhammad saw., “Betapa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan apapun kecuali rasa lapar dan haus belaka.”
(HR Muslim). Mengapa demikian? Itulah sejatinya pertanyaan yang harus
selalu menjadi bahan renungan bagi setiap Mukmin. Di sini pula setiap
Mukmin sejatinya memahami kembali esensi ketakwaan, dengan harapan bisa
benar-benar menjadi orang yang bertakwa.
Apa itu takwa atau siapa sesungguhnya orang bertakwa itu? Saat
menafsirkan al-Quran surat al-Baqarah ayat 1-5, Imam Ali ash-Shabuni
menyatakan. “Orang-orang bertakwa adalah orang-orang yang takut terhadap murka Allah SWT dengan cara melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.”
Beliau pun mengutip pernyataan Ibnu ‘Abbas ra. yang menyatakan, “Orang-orang
yang bertakwa adalah mereka yang takut dengan perbuatan syirik
(menyekutukan Allah SWT) sembari menjalankan ketaatan kepada Allah SWT.”
Adapun menurut Imam Hasan al-Bashri, “Orang-orang bertakwa adalah
mereka yang takut terhadap apa saja yang telah Allah SWT larang atas
diri mereka dan menunaikan apa saja yang telah Allah SWT wajibkan atas
diri mereka.” (Lihat: Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir, I/26).
Pengertian takwa inilah yang sering dikutip oleh para ulama dalam
sejumlah kitab mereka. Dengan demikian, jika memang takwa adalah buah
dari shaum Ramadhan yang dilakukan oleh setiap Mukmin, idealnya usai
Ramadhan, setiap Mukmin senantiasa takut terhadap murka Allah SWT dengan
cara selalu berupaya menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua
larangan-Nya, selalu berupaya menjauhi kesyirikan, senantiasa
menjalankan ketaatan, memiliki rasa takut untuk melakukan
perkara-perkara yang haram dan senantiasa berupaya menjalankan semua
kewajiban yang telah Allah SWT bebankan kepada dirinya.
Menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya
tentu bermakna melaksanakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan semua
larangan-Nya baik terkait ‘aqidah dan ubudiah; makanan, minuman, pakaian
dan akhlak; muamalah (ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, budaya, dll); maupun ‘uqubat (sanksi hukum) seperti hudud, jinayat, ta’zir maupun mukhalafat.
Bukan takwa namanya jika seseorang biasa melakukan shalat, melaksanakan
shaum Ramadhan atau bahkan menunaikan ibadah haji ke Baitullah;
sementara ia biasa memakan riba, melakukan suap dan korupsi, mengabaikan
urusan masyarakat, menzalimi rakyat dan enggan terikat dengan syariah
Islam di luar yang terkait dengan ibadah ritual.
Selalu berupaya menjauhi kesyirikan maknanya adalah tidak
menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya baik dalam konteks ‘aqidah
maupun ibadah; termasuk tidak meyakini sekaligus menjalankan hukum
apapun selain hukum-Nya, karena hal itu pun bisa dianggap sebagai
bentuk kesyirikan. Allah SWT berfirman (yang artinya): Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah (TQS at-Taubah [9]: 31).
Terkait ayat ini, ada sebuah peristiwa menarik. Diriwayatkan, bahwa
saat Baginda Rasulullah saw. membaca ayat ini, kebetulan datanglah Adi
bin Hatim kepada beliau dengan maksud hendak masuk Islam. Saat Adi bin
Hatim—yang ketika itu masih beragama Nasrani—mendengar ayat tersebut, ia
kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, kami (orang-orang Nasrani, pen.)
tidak pernah menyembah para pendeta kami.” Akan tetapi, Baginda Nabi
saw. membantah pernyataan Adi bin Hatim sembari bertanya dengan
pertanyaan retoris, “Bukankah para pendeta kalian biasa menghalalkan
apa yang telah Allah hatramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah
halalkan, lalu kalian pun menaatinya?” Jawab Adi bin Hatim, “Benar,
wahai Rasulullah.” Beliau tegas menyatakan, “Itulah bentuk penyembahan
kalian terhadap para pendeta kalian.” (Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, X/210; al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, IV/39)
Saat ini, posisi para pendeta dan para rahib itu telah digantikan
oleh para penguasa maupun wakil rakyat dalam sistem demokrasi. Pasalnya,
merekalah saat ini yang biasa membuat hukum yang banyak menghalalkan
apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah
haramkan. Tentu saja, sebagai wujud dari ketakwaan kita, kita dilarang
menaati apapun produk hukum buatan mereka yang nyata-nyata bertentangan
dengan hukum-hukum Allah SWT.
Di sinilah pentingnya kita senantiasa hanya menaati Allah SWT dan
Rasul-Nya dengan hanya menjalankan dan menaati syariah-Nya, seraya
membuang hukum-hukum selain hukum-hukum-Nya. Itulah esensi ketakwaan
kita, yang sejatinya kita petik sebagai buah dari shaum kita selama
Ramadhan. Wa ma tawfiqi illa bilLah! [Abi]
Posting Komentar untuk "Puasa dan Esensi Takwa"