BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-16: UBAH KOMPETENSI
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu kompetensi yang mereka miliki.
Tidak ada yang meragukan, bahwa untuk hidup
dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, manusia membutuhkan
berbagai kompetensi. Persoalannya, banyak yang tidak tahu, kompetensi
apa saja yang harus dimiliki, di mana saja belajarnya, dan bagaimana
cara menguasainya.
Nabi mengatakan, bahwa tanda-tanda kehancuran sebuah masyarakat adalah ketika suatu urusan diserahkan ke orang yang bukan ahlinya, maksudnya bukan kompetensinya. Karena itu, di negara maju kemudian berkembang sertifikasi kompetensi. Siapapun yang sudah memiliki sertifikasi, diharapkan memang sudah memenuhi syarat kompetensinya. Sayangnya, terlalu banyak sebenarnya urusan dan profesi di dunia ini. Belum terbayang bila semua harus memiliki sertifikasi. Apalagi banyak hal yang berkembang pesat. Seseorang yang 20 tahun yang lalu dianggap kompeten di bidang teknologi informasi atau komputer, bahkan menyandang gelar sarjana komputer, mungkin sekarang sudah hampir tidak mengerti apa-apa lagi, bila ia tidak serius berprofesi di situ dan terus menerus mengikuti perkembangannya.
Namun, meski tanpa sertifikasi, kompetensi tetap mutlak diperlukan. Dan kehidupan menunjukkan bahwa kita memerlukan banyak sekali kompetensi. Bahkan jauh lebih banyak dari yang bisa disediakan oleh dunia pendidikan.
Akibatnya, banyak orang yang berangkat dewasa tanpa kompetensi menjadi dewasa. Mereka tidak menyadari bahwa mereka perlu kompetensi tentang bagaimana terus belajar meski tidak berada di sekolah, dan meski tidak mendapatkan gelar maupun ijazah. Mereka juga sebaiknya punya kompetensi tentang bagaimana mencari kerja atau mendirikan usaha. Mereka perlu kompetensi bagaimana memilih tempat tinggal dan berhubungan dengan tetangga. Mereka perlu kompetensi bagaimana berurusan dengan pemerintah atau penegak hukum. Bahkan mereka juga perlu kompetensi bagaimana meredakan syaraf-syaraf pikiran agar tidak stress, sekaligus meraih energi spiritual dalam ibadah dan ketaatan kepada Sang Pencipta.
Banyak juga perempuan yang terlanjur menjadi istri atau ibu rumah tangga tanpa kompetensi. Mereka tidak menyadari bahwa mereka perlu kompetensi tentang hak-hak dan kewajiban hukum mereka sebagai istri atau ibu. Mereka perlu kompetensi tentang bagaimana menyenangkan suami, merawat kehamilan, memberi ASI hingga mendidik anak tumbuh dewasa. Mereka perlu kompetensi bagaimana mengelola keuangan rumah tangga, atau sekaligus menambah penghasilan dari rumah. Mereka perlu komptensi tentang teknologi di seputar rumah tangga, bahkan hingga apa yang perlu dilakukan ketika ada bencana. Mereka bahkan perlu kompetensi tentang politik seputar keluarga. Sayang, hingga sekarang belum ada sekolah yang memberikan kompetensi seperti ini. Jutaan wanita kuliah di berbagai fakultas di perguruan tinggi, meraih kompetensi aneka rupa, tetapi akhirnya mendarat ke dalam tugas sebagai ibu rumah tangga belaka, tanpa memiliki kompetensinya.
Selain untuk mengurus diri sendiri, kompetensi juga mutlak diperlukan oleh siapapun yang akan melayani urusan umat, baik sebagai penyelenggara negara, maupun sebagai aktivis yang mengawasi jalannya negara.
Mereka wajib memiliki kompetensi untuk selalu melakukan inovasi, karena masalah baru akan selalu muncul. Celakalah sebuah masyarakat, yang selalu menghadapi masalah yang sama; itu berarti mereka memang bebal, sehingga selalu jatuh ke lubang yang sama. Di negara maju, kesalahan selalu diselesaikan dengan tuntas, sehingga rakyatnya hanya berhadapan dengan masalah baru yang menantang munculnya inovasi yang terus menerus.
Mereka juga wajib memiliki kompetensi untuk menginspirasi orang lain, agar banyak orang mau berjalan ke tujuan yang sama, sekalipun tidak diberikan kompensasi langsung. Orang yang bertengar bisa diakurkan, orang yang berjalan sendiri-sendiri bisa disinergikan laksana orkestra. Mereka juga wajib memiliki kompetensi untuk mengintegrasikan berbagai persoalan sehingga menghasilkan keputusan yang adil dan efisien. Bahkan mereka juga wajib memiliki kompetensi bersikap independen, agar tidak mudah tunduk kepada keinginan atau kepentingan pengusaha, baik domestik apalagi asing.
Kompetensi yang semacam itu baru lengkap bila orang memiliki ideologi yang jelas, yang akan dipegangnya sebagai prinsip ketika ada kebimbangan, ada perang kepentingan. Dan ideologi yang paling independen adalah Islam. Islam adalah "beyond ideologi", di atas segala kepentingan, karena Tuhan Yang Maha Kaya, bukanlah sosok yang punya kepentingan.
Oleh karena itu, seorang muslim yang ingin berubah, wajib memiliki kompetensi keislaman yang cukup, yang mampu mengantarnya menjadi orang yang bertindak independen, bersikap integratif, berbicara inspiratif dan berpikir inovatif.
Kompetensi bisa saja ditanamkan melalui pendidikan. Namun sebagian besar adalah hasil akumulasi dari bagaimana kita menghadapi tantangan. Oleh sebab itu, ada orang-orang yang memiliki banyak kompetensi yang berbeda dari latar belakang pendidikannya atau bahkan juga pekerjaan formalnya. Itu karena dia memiliki kepedulian yang besar terhadap berbagai persoalan, sehingga memacunya terus belajar, baik dari buku-buku, dari orang yang lebih dulu menekuni bidang itu, atau dari kegagalan-kegagalannya, sehingga lambat laun tumbuh kompetensinya di bidang itu.
Bila dunia pendidikan sekarang ini masih jauh dari memberikan semua kompetensi yang dibutuhkan di dalam kehidupan, maka gerakan masyarakat, termasuk ormas-ormas Islam atau media massa wajib mengisinya. Dakwah bukanlah sekedar aktivitas pengisi waktu senggang yang berpahala, tetapi sebuah metode untuk memberikan kompetensi kepada ummat, agar mereka lebih mengerti tugas sejarahnya. Untuk para pengembannya, aktivitas dakwah jelas akan meningkatkan atau memberikan banyak kompetensi baru yang sangat berguna untuk kehidupannya.
Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk mengubah kompetensi hidup kita. Mudah-mudahan, jelang hari ke-16 bulan Ramadhan, kita sudah meningkatkan kompetensi kita, agar Allah mengubah nasib kita. [Fahmi Amhar]
Nabi mengatakan, bahwa tanda-tanda kehancuran sebuah masyarakat adalah ketika suatu urusan diserahkan ke orang yang bukan ahlinya, maksudnya bukan kompetensinya. Karena itu, di negara maju kemudian berkembang sertifikasi kompetensi. Siapapun yang sudah memiliki sertifikasi, diharapkan memang sudah memenuhi syarat kompetensinya. Sayangnya, terlalu banyak sebenarnya urusan dan profesi di dunia ini. Belum terbayang bila semua harus memiliki sertifikasi. Apalagi banyak hal yang berkembang pesat. Seseorang yang 20 tahun yang lalu dianggap kompeten di bidang teknologi informasi atau komputer, bahkan menyandang gelar sarjana komputer, mungkin sekarang sudah hampir tidak mengerti apa-apa lagi, bila ia tidak serius berprofesi di situ dan terus menerus mengikuti perkembangannya.
Namun, meski tanpa sertifikasi, kompetensi tetap mutlak diperlukan. Dan kehidupan menunjukkan bahwa kita memerlukan banyak sekali kompetensi. Bahkan jauh lebih banyak dari yang bisa disediakan oleh dunia pendidikan.
Akibatnya, banyak orang yang berangkat dewasa tanpa kompetensi menjadi dewasa. Mereka tidak menyadari bahwa mereka perlu kompetensi tentang bagaimana terus belajar meski tidak berada di sekolah, dan meski tidak mendapatkan gelar maupun ijazah. Mereka juga sebaiknya punya kompetensi tentang bagaimana mencari kerja atau mendirikan usaha. Mereka perlu kompetensi bagaimana memilih tempat tinggal dan berhubungan dengan tetangga. Mereka perlu kompetensi bagaimana berurusan dengan pemerintah atau penegak hukum. Bahkan mereka juga perlu kompetensi bagaimana meredakan syaraf-syaraf pikiran agar tidak stress, sekaligus meraih energi spiritual dalam ibadah dan ketaatan kepada Sang Pencipta.
Banyak juga perempuan yang terlanjur menjadi istri atau ibu rumah tangga tanpa kompetensi. Mereka tidak menyadari bahwa mereka perlu kompetensi tentang hak-hak dan kewajiban hukum mereka sebagai istri atau ibu. Mereka perlu kompetensi tentang bagaimana menyenangkan suami, merawat kehamilan, memberi ASI hingga mendidik anak tumbuh dewasa. Mereka perlu kompetensi bagaimana mengelola keuangan rumah tangga, atau sekaligus menambah penghasilan dari rumah. Mereka perlu komptensi tentang teknologi di seputar rumah tangga, bahkan hingga apa yang perlu dilakukan ketika ada bencana. Mereka bahkan perlu kompetensi tentang politik seputar keluarga. Sayang, hingga sekarang belum ada sekolah yang memberikan kompetensi seperti ini. Jutaan wanita kuliah di berbagai fakultas di perguruan tinggi, meraih kompetensi aneka rupa, tetapi akhirnya mendarat ke dalam tugas sebagai ibu rumah tangga belaka, tanpa memiliki kompetensinya.
Selain untuk mengurus diri sendiri, kompetensi juga mutlak diperlukan oleh siapapun yang akan melayani urusan umat, baik sebagai penyelenggara negara, maupun sebagai aktivis yang mengawasi jalannya negara.
Mereka wajib memiliki kompetensi untuk selalu melakukan inovasi, karena masalah baru akan selalu muncul. Celakalah sebuah masyarakat, yang selalu menghadapi masalah yang sama; itu berarti mereka memang bebal, sehingga selalu jatuh ke lubang yang sama. Di negara maju, kesalahan selalu diselesaikan dengan tuntas, sehingga rakyatnya hanya berhadapan dengan masalah baru yang menantang munculnya inovasi yang terus menerus.
Mereka juga wajib memiliki kompetensi untuk menginspirasi orang lain, agar banyak orang mau berjalan ke tujuan yang sama, sekalipun tidak diberikan kompensasi langsung. Orang yang bertengar bisa diakurkan, orang yang berjalan sendiri-sendiri bisa disinergikan laksana orkestra. Mereka juga wajib memiliki kompetensi untuk mengintegrasikan berbagai persoalan sehingga menghasilkan keputusan yang adil dan efisien. Bahkan mereka juga wajib memiliki kompetensi bersikap independen, agar tidak mudah tunduk kepada keinginan atau kepentingan pengusaha, baik domestik apalagi asing.
Kompetensi yang semacam itu baru lengkap bila orang memiliki ideologi yang jelas, yang akan dipegangnya sebagai prinsip ketika ada kebimbangan, ada perang kepentingan. Dan ideologi yang paling independen adalah Islam. Islam adalah "beyond ideologi", di atas segala kepentingan, karena Tuhan Yang Maha Kaya, bukanlah sosok yang punya kepentingan.
Oleh karena itu, seorang muslim yang ingin berubah, wajib memiliki kompetensi keislaman yang cukup, yang mampu mengantarnya menjadi orang yang bertindak independen, bersikap integratif, berbicara inspiratif dan berpikir inovatif.
Kompetensi bisa saja ditanamkan melalui pendidikan. Namun sebagian besar adalah hasil akumulasi dari bagaimana kita menghadapi tantangan. Oleh sebab itu, ada orang-orang yang memiliki banyak kompetensi yang berbeda dari latar belakang pendidikannya atau bahkan juga pekerjaan formalnya. Itu karena dia memiliki kepedulian yang besar terhadap berbagai persoalan, sehingga memacunya terus belajar, baik dari buku-buku, dari orang yang lebih dulu menekuni bidang itu, atau dari kegagalan-kegagalannya, sehingga lambat laun tumbuh kompetensinya di bidang itu.
Bila dunia pendidikan sekarang ini masih jauh dari memberikan semua kompetensi yang dibutuhkan di dalam kehidupan, maka gerakan masyarakat, termasuk ormas-ormas Islam atau media massa wajib mengisinya. Dakwah bukanlah sekedar aktivitas pengisi waktu senggang yang berpahala, tetapi sebuah metode untuk memberikan kompetensi kepada ummat, agar mereka lebih mengerti tugas sejarahnya. Untuk para pengembannya, aktivitas dakwah jelas akan meningkatkan atau memberikan banyak kompetensi baru yang sangat berguna untuk kehidupannya.
Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk mengubah kompetensi hidup kita. Mudah-mudahan, jelang hari ke-16 bulan Ramadhan, kita sudah meningkatkan kompetensi kita, agar Allah mengubah nasib kita. [Fahmi Amhar]
Posting Komentar untuk "BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-16: UBAH KOMPETENSI"