BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-26: UBAH KOREKSI
Sesungguhnya
tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa
mereka mengubah dulu cara mereka memperbaiki keadaan (koreksi).
"Setiap manusia di dunia, pasti punya kesalahan, hanya yang pemberani yang mau mengakui ..."
Betul. Yang pemberani itu adalah mereka yang mau melakukan introspeksi. Dan yang lebih pemberani adalah mereka yang setelah mengakui itu, mau melakukan koreksi diri. Jangan sudah mengakui salah, tapi diteruskan, dengan alasan "sudah terlanjur basah", sudah melewati "the point of no return".
Bagi seorang muslim, tidak ada kesalahan yang lebih berat dari syirik. Tetapi syirik pun masih bisa bertaubat, selama belum sekarat. Point of no return-nya adalah sakaratul maut. Selama belum sampai kesana, siapapun bisa bertaubat.
Di dalam hadits, diceritakan ada 2 wanita pezina yang ahli surga. Yang satu adalah dari bani Israel. Dia bahkan pelacur. Dia ingin bertaubat. Dalam perjalanannya menuju kampung orang shaleh (tentu saja dia harus meninggalkan "lokalisasi"), dia melihat seekor anjing yang kehausan. Dia berusaha memberi minum anjing tersebut. Allah ridha atas perbuatannya, jadilah dia ahli surga. Kemudian di zaman Nabi ada wanita al-Ghamidiyah yang mengaku berzina dan minta dihukum. Baru setelah wanita itu mengaku berkali-kali, hingga anak zina yang dilahirkannya disapih, hukum rajam dijalankan. Ketika Khalid bin Walid yang melontarkan batu kecipratan darah wanita itu, dan Khalid memakinya, Rasul menegur Khalid seraya mengatakan, "Janganlah kau katakan seperti itu wahai Khalid. Sungguh wanita itu telah bertaubat, dan dia adalah ahli surga".
Sanksi syariah itu zawajir & jawabir. Zawajir adalah pencegah. Karena ada sanksi yang berat (seperti hukum rajam untuk pezina yang telah menikah), maka orang diharapkan takut untuk berzina. Namun syariah juga jawabir, penebus dosa. Daripada dihantui oleh rasa bersalah sepanjang sisa hidupnya, seorang pezina bisa minta dihukum sesuai syari'ah, dan dengan itu dia bebas dari hukuman di akherat kelak.
Pada peperangan melawan Romawi, ada seorang panglima Romawi bernama Georgius, yang berhadapan dengan Abu Ubaidah ra. Oleh Abu Ubaidah, panglima itu diberi penjelasan tentang Islam, dan kenapa mereka harus berhadapan. Panglima itu tertarik, dan singkat cerita dia akhirnya bersyahadat. Tetapi belum sempat dia berbuat apapun, dia dipanah oleh pasukannya sendiri yang menganggap pemimpinnya telah berkhianat. Akhirnya Georgius itu mati sebagai ahli surga, meski dia sepanjang hidupnya baru sempat bersyahadat saja.
Inti cerita, kita harus menjadi orang-orang yang rajin introspeksi dan melakukan koreksi diri. Jangan sampai kita terjebak bersama mereka yang sesat dan dimurkai. Mereka yang sesat adalah yang tidak menyadari bahwa jalan yang ditempuhnya salah. Dan mereka yang dimurkai adalah yang menyadari kesalahannya, tetapi tidak mau atau tidak berani mengoreksinya.
Untuk melakukan koreksi, kita memang harus melakukan verifikasi (mencocokkan antara apa yang dilaporkan atau diinginkan dengan apa yang ada dalam kenyataan memang dilakukan). Atau juga melakukan validasi (mencocokkan bahwa apa yang dilakukan itu memang sah).
Kita bisa melakukan introspeksi, apakah aktivitas kita selama ini, pekerjaan tempat kita mendapatkan uang, sekolah yang kita ikuti, tempat tinggal yang kita diami bertahun-tahun atau bahkan pasangan yang kita pilih, sudahkah lebih mendekatkan kita kepada Allah ? menyelamatkan agama kita? menjadikan kita lebih sehat? meningkatkan ilmu kita? menjadikan rizki kita lebih berkah? dan selalu memberi kesempatan kita untuk mengoreksi diri?
Ataukah justru sebaliknya? Aktivitas, pekerjaan, sekolah, rumah, dan pasangan, itu justru membuat kita semakin jauh dari Allah, semakin jarang sholat berjama'ah, semakin malas terlibat dalam dakwah, semakin menurunkan kualitas kesehatan kita, semakin membodohkan kita, semakin membuat harta kita terhambur sia-sia - bahkan sebagian untuk maksiat, dan bahkan semakin membuat kita kekurangan waktu untuk mengoreksi diri ....
Ini tidak cuma untuk pribadi, tetapi juga untuk sebuah negara. Apakah pembangunan di negara ini membuat rakyatnya semakin dekat dengan Allah, semakin baik kualitas kesehatannya, semakin cerdas pemikirannya, semakin barokah sumber daya alamnya, dan selalu memberi kesempatan kita mengoreksi bersama ?
Kalau bukan ini yang terjadi, sekarang juga kita harus injak rem dan putar haluan. Sekarang juga kita harus memperbaiki diri. Dan sekarang juga kita harus terlibat dalam aktivitas mengoreksi negara.
Tentu saja, aktivitas koreksi itu sendiri harus kita tingkatkan mutunya. Dulu kalau koreksi dari Nabi (dakwah Nabi) ditolak, itu karena orang-orang kafir itu memang menolak isinya, mungkin karena mereka memiliki kepentingan atau keyakinan yang bertolak belakang. Kalau sekarang ini, banyak orang menolak koreksi bukan karena isinya, tetapi karena koreksi itu disampaikan dengan cara yang kurang baik. Mungkin bahasanya bukan bahasa yang mudah dimengerti, atau juga belum memilih tempat dan timing yang pas. Karena itu, kita dalam melakukan koreksi juga wajib terus memperbaiki diri, sudahkah objek dan cara koreksi kita itu efektif. Dan sudahkah kita memahami bahwa semua itu perlu proses yang membutuhkan kesabaran.
Hanya mereka yang bersedia terus memperbaiki diri, akan juga memiliki wibawa untuk memperbaiki orang lain, memperbaiki masyarakat, bahkan memperbaiki dunia. Dan hanya mereka yang terus berusaha memperbaiki hubungannya dengan Tuhan, akan terus memiliki sumber kekuatan untuk melakukan semua perbaikan itu.
Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk mengubah cara kita memperbaiki berbagai hal dalam hidup kita. Mudah-mudahan, pada hari ke-26 bulan Ramadhan, kita sudah memperbaiki koreksi kita, agar Allah mengubah nasib kita. [Fahmi Amhar]
"Setiap manusia di dunia, pasti punya kesalahan, hanya yang pemberani yang mau mengakui ..."
Betul. Yang pemberani itu adalah mereka yang mau melakukan introspeksi. Dan yang lebih pemberani adalah mereka yang setelah mengakui itu, mau melakukan koreksi diri. Jangan sudah mengakui salah, tapi diteruskan, dengan alasan "sudah terlanjur basah", sudah melewati "the point of no return".
Bagi seorang muslim, tidak ada kesalahan yang lebih berat dari syirik. Tetapi syirik pun masih bisa bertaubat, selama belum sekarat. Point of no return-nya adalah sakaratul maut. Selama belum sampai kesana, siapapun bisa bertaubat.
Di dalam hadits, diceritakan ada 2 wanita pezina yang ahli surga. Yang satu adalah dari bani Israel. Dia bahkan pelacur. Dia ingin bertaubat. Dalam perjalanannya menuju kampung orang shaleh (tentu saja dia harus meninggalkan "lokalisasi"), dia melihat seekor anjing yang kehausan. Dia berusaha memberi minum anjing tersebut. Allah ridha atas perbuatannya, jadilah dia ahli surga. Kemudian di zaman Nabi ada wanita al-Ghamidiyah yang mengaku berzina dan minta dihukum. Baru setelah wanita itu mengaku berkali-kali, hingga anak zina yang dilahirkannya disapih, hukum rajam dijalankan. Ketika Khalid bin Walid yang melontarkan batu kecipratan darah wanita itu, dan Khalid memakinya, Rasul menegur Khalid seraya mengatakan, "Janganlah kau katakan seperti itu wahai Khalid. Sungguh wanita itu telah bertaubat, dan dia adalah ahli surga".
Sanksi syariah itu zawajir & jawabir. Zawajir adalah pencegah. Karena ada sanksi yang berat (seperti hukum rajam untuk pezina yang telah menikah), maka orang diharapkan takut untuk berzina. Namun syariah juga jawabir, penebus dosa. Daripada dihantui oleh rasa bersalah sepanjang sisa hidupnya, seorang pezina bisa minta dihukum sesuai syari'ah, dan dengan itu dia bebas dari hukuman di akherat kelak.
Pada peperangan melawan Romawi, ada seorang panglima Romawi bernama Georgius, yang berhadapan dengan Abu Ubaidah ra. Oleh Abu Ubaidah, panglima itu diberi penjelasan tentang Islam, dan kenapa mereka harus berhadapan. Panglima itu tertarik, dan singkat cerita dia akhirnya bersyahadat. Tetapi belum sempat dia berbuat apapun, dia dipanah oleh pasukannya sendiri yang menganggap pemimpinnya telah berkhianat. Akhirnya Georgius itu mati sebagai ahli surga, meski dia sepanjang hidupnya baru sempat bersyahadat saja.
Inti cerita, kita harus menjadi orang-orang yang rajin introspeksi dan melakukan koreksi diri. Jangan sampai kita terjebak bersama mereka yang sesat dan dimurkai. Mereka yang sesat adalah yang tidak menyadari bahwa jalan yang ditempuhnya salah. Dan mereka yang dimurkai adalah yang menyadari kesalahannya, tetapi tidak mau atau tidak berani mengoreksinya.
Untuk melakukan koreksi, kita memang harus melakukan verifikasi (mencocokkan antara apa yang dilaporkan atau diinginkan dengan apa yang ada dalam kenyataan memang dilakukan). Atau juga melakukan validasi (mencocokkan bahwa apa yang dilakukan itu memang sah).
Kita bisa melakukan introspeksi, apakah aktivitas kita selama ini, pekerjaan tempat kita mendapatkan uang, sekolah yang kita ikuti, tempat tinggal yang kita diami bertahun-tahun atau bahkan pasangan yang kita pilih, sudahkah lebih mendekatkan kita kepada Allah ? menyelamatkan agama kita? menjadikan kita lebih sehat? meningkatkan ilmu kita? menjadikan rizki kita lebih berkah? dan selalu memberi kesempatan kita untuk mengoreksi diri?
Ataukah justru sebaliknya? Aktivitas, pekerjaan, sekolah, rumah, dan pasangan, itu justru membuat kita semakin jauh dari Allah, semakin jarang sholat berjama'ah, semakin malas terlibat dalam dakwah, semakin menurunkan kualitas kesehatan kita, semakin membodohkan kita, semakin membuat harta kita terhambur sia-sia - bahkan sebagian untuk maksiat, dan bahkan semakin membuat kita kekurangan waktu untuk mengoreksi diri ....
Ini tidak cuma untuk pribadi, tetapi juga untuk sebuah negara. Apakah pembangunan di negara ini membuat rakyatnya semakin dekat dengan Allah, semakin baik kualitas kesehatannya, semakin cerdas pemikirannya, semakin barokah sumber daya alamnya, dan selalu memberi kesempatan kita mengoreksi bersama ?
Kalau bukan ini yang terjadi, sekarang juga kita harus injak rem dan putar haluan. Sekarang juga kita harus memperbaiki diri. Dan sekarang juga kita harus terlibat dalam aktivitas mengoreksi negara.
Tentu saja, aktivitas koreksi itu sendiri harus kita tingkatkan mutunya. Dulu kalau koreksi dari Nabi (dakwah Nabi) ditolak, itu karena orang-orang kafir itu memang menolak isinya, mungkin karena mereka memiliki kepentingan atau keyakinan yang bertolak belakang. Kalau sekarang ini, banyak orang menolak koreksi bukan karena isinya, tetapi karena koreksi itu disampaikan dengan cara yang kurang baik. Mungkin bahasanya bukan bahasa yang mudah dimengerti, atau juga belum memilih tempat dan timing yang pas. Karena itu, kita dalam melakukan koreksi juga wajib terus memperbaiki diri, sudahkah objek dan cara koreksi kita itu efektif. Dan sudahkah kita memahami bahwa semua itu perlu proses yang membutuhkan kesabaran.
Hanya mereka yang bersedia terus memperbaiki diri, akan juga memiliki wibawa untuk memperbaiki orang lain, memperbaiki masyarakat, bahkan memperbaiki dunia. Dan hanya mereka yang terus berusaha memperbaiki hubungannya dengan Tuhan, akan terus memiliki sumber kekuatan untuk melakukan semua perbaikan itu.
Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk mengubah cara kita memperbaiki berbagai hal dalam hidup kita. Mudah-mudahan, pada hari ke-26 bulan Ramadhan, kita sudah memperbaiki koreksi kita, agar Allah mengubah nasib kita. [Fahmi Amhar]
Posting Komentar untuk "BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-26: UBAH KOREKSI"