Idul Fitri: Momentum untuk Kembali ke Ketaatan Sejati
Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menganiaya diri sendiri, mereka segera mengingat Allah lalu
memohon ampunan atas dosa-dosa mereka; siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa selain daripada Allah? Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedangkan mereka mengetahui (TQS Ali Imran [3]: 135).
Seusai shaum Ramadhan, disyariatkan Hari Raya Idul Fitri sebagai hari
penuh kegembiraan. Wajarlah kaum Mukmin merasa gembira pada saat hari
raya tersebut. Namun, kegembiraannya bukanlah karena pesta dan hiburan;
bukan pula karena telah bebas dari kungkungan puasa. Sebab, kebahagian
seperti itu merupakan kebahagiaan yang lahir dari keterpaksaan, atau
setidaknya, bahagia jauh dari kewajiban. Kebahagiaan yang ada adalah
kebahagiaan karena telah berhasil menunaikan salah satu kewajiban dan
kesiapan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban berikutnya. Kebahagiaan
tersebut lahir dari:
Pertama, harapan akan bertemu dengan Allah Swt. penuh rasa
senang, gembira, dan bahagia. Puasa yang telah dijalaninya dengan baik
akan mengantarkannya untuk memperoleh kebahagiaan tersebut, bukan
kebahagiaan sehari saat Idul Fitri semata, melainkan kebahagiaan hakiki
di akhirat kelak. Kebahagiaan demikian dilandasi oleh sabda Rasulullah
saw.:
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
Bagi orang yang puasa ada dua kebahagiaan yang membahagiakannya.
Ketika berbuka (termasuk berbuka pada saat Idul Fitri, pen.) ia bahagia
dan ketika ia bertemu dengan Rabb-nya ia pun bahagia karena puasanya itu (HR al-Bukhari).
Kedua, kebahagiaan akan ampunan dari Allah Swt. yang diberikan kepadanya. Shaum dan qiyâmul lail
yang telah ia lakukan penuh kesungguhan diyakini akan menjadi wasilah
diampuninya dosa. Allah Swt. berjanji untuk memberikan ampunan
tersebut. Rasulullah saw. menegaskan:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa saja yang mendirikan Ramadhan dengan penuh keimanan dan
mengharap (balasan Allah Swt.) niscaya diampunilah dosa-dosanya yang
telah lalu (HR al-Bukhari).
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ صِيَامَ
رَمَضَانَ وَسَنَنْتُ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ احْتِسَابًا
خَرَجَ مِنَ الذُّنُوبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan shaum Ramadhan
dan aku telah mensunnahkan salat malamnya (tarawih). Karena itu, siapa
saja yang shaum Ramadhan dan melaksanakan qiyâm Ramadhan dengan mengharap (ridha Allah SWT) niscaya ia akan keluar dari dosa-dosanya laksana hari ia dilahirkan ibunya (HR Ahmad).
Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 183).
Ayat ini menegaskan bahwa orang yang menunaikan puasa dengan benar
sejatinya menjadi orang yang bertakwa, yakni orang yang memelihara
dirinya dari kemaksiatan. Sebab, puasa itu mematahkan syahwat sebagai
pangkal kemaksiatan (Lihat: Tafsîr Jalalayn). Karenanya, kata Imam al-Qurthubi, dalam tafsirnya, puasa menyebabkan ketakwaan.
Berdasarkan hal tersebut maka Idul Fitri atau Lebaran tersebut harus
dipandang sebagai kelahiran kembali orang-orang yang mendapatkan ampunan
dari Allah Swt. dan menjelma menjadi orang bertakwa. Lebaran bukanlah
akhir dari ketaatan, melainkan awal dari ketakwaan baru. Karenanya,
Lebaran akan bermakna hanya jika setiap Muslim menampakkan ketakwaan
tersebut dalam aktivitas sehari-hari. Di antara aktivitas yang lahir
dari ketakwaan dan akan menjadikan Idul Fitri bermakna tersebut adalah:
- Lebih taat kepada Allah Swt. setelah Ramadhan.
- Memelihara amalan-amalan rutin Ramadhan. Shaum, shalat, zikir, sedekah, membaca dan mengkaji al-Quran, shalat berjamaah, istighfar, bangun malam, memperbanyak amalan sunat, dan aktivitas lain yang selama ini dilakukan pada bulan Ramadhan dilakukan pula di luar Ramadlan. Semangat untuk taat pada bulan Ramadhan tetap dikobarkan setelah itu. Karenanya, semangat dalam mencegah diri dari perbuatan maksiat anggota tubuh (mata, telinga, lisan, tangan, kaki) serta akal dan hati, keikhlasan, kesabaran, keistiqamahan, semangat jihad fi sabîlillâh, dan semangat dakwah akan terus menyala bahkan nyalanya lebih besar lagi sejak Lebaran.
- Lebih meningkatkan silaturahmi dan ukhuwah islamiyah.
- Lebih meningkatkan upaya mengetahui hukum-hukum Allah Swt. dengan cara menuntut ilmu. Setiap Muslim yang berharap Lebarannya lebih bermakna akan terus meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya tentang hukum Allah Swt.
- Lebih giat berdakwah. Bulan Ramadhan merupakan bulan diturunkannya al-Quran sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Tidak mungkin petunjuk itu sampai bila tidak didakwahkan. Atas dasar inilah dakwah merupakan karakter kaum Mukmin.
- Terus bertobat dengan tobat yang sebenar-benarnya (tawbatan nashûhâ). Sekalipun Allah Swt. menjamin mengampuni orang-orang yang benar-benar puasa Ramadhan, kaum Mukmin tidak akan terlena dengan itu. Mereka tetap bertobat sebagai salah satu karakter orang bertakwa, seperti tercantum dalam firman Allah Swt.:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ
ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا
فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka segera mengingat Allah lalu memohon
ampunan atas dosa-dosa mereka; siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain daripada Allah? Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui (QS Ali Imran [3]: 135).
Sekali lagi, hasil dari Ramadhan adalah ketakwaan. Apabila sikap
pasca Ramadhan tidak menunjukkan meningkatan ketakwaan, maka kita patut
merenungkan sabda Rasulullah saw.:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ اْلجُوْعِ وَ اْلعَطَشِ
Banyak di antara orang yang berpuasa tetapi hasilnya hanya lapar dan dahaga (HR Ibn Huzaimah).
Walhasil, orang yang akan mendapatkan makna Lebaran sebenarnya adalah
orang yang berhasil meraih ketakwaan dengan puasanya itu. Tanpa takwa,
Lebaran hanyalah sebuah kehampaan. Sebab, Idul Fitri bukanlah
diperuntukkan bagi orang yang mengenakan pakaian baru, tetapi
dipersembahkan bagi orang yang ketaatannya bertambah. Singkatnya, Idul
Fitri sejatinya membawa setiap Muslim kembali ke ketaatan sejati. [abi}
Posting Komentar untuk "Idul Fitri: Momentum untuk Kembali ke Ketaatan Sejati"