Indonesia Republik Ultra Liberal & A-nasionalis, Bunuh Industri Strategis Dalam Negeri
Pagi ini IRESS memperoleh informasi, pendapatan anggota DPR RI
terhadap GDP termasuk yang tertinggi ke-4 di dunia. Gaji anggota DPR di
Indonesia per tahun adalah USD 65.000 dan pendapatan per kapita penduduk
menurut IMF USD 3.582, sehingga pendapatan anggota DPR 18 kali
pendapatan per kapita.
Sedangkan pendapatan Presiden RI terhadap GDP termasuk yang ke-3
tertinggi dunia sebesar USD 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per
tahun. Artinya gaji SBY mencapai hampir 30 kali lipat dari pendapatan
per kapita penduduk.
Padahal sekitar 30 juta penduduk Indonesia masih miskin dengan pandapatan per bulan Rp 266.000 atau Rp 9000 pe hari (BPS, 2013).
Dengan kondisi ini, di Jakarta akan kita temukan kesenjangan yang
sangat nyata: rumah super mewah ada dimana-mana, tapi wilayah kumuh
tempat orang-orang melarat tinggal juga menyebar di banyak tempat.
Siangnya IRESS memperoleh informasi tentang kekonyolan yang dilakukan
pemerintah terhadap produk bangsa sendiri. Dengan perlakuan yang
anomali (dibanding negara-negara lain) seperti itu, sebenarnya
Pemerintah RI telah dengan sengaja membunuh tumbuhnya industri dalam
negeri.
Salah satunya dengan membunuh secara perlahan industri strategis pesawat terbang PT Dirgantara Indonesia.
BUMN industri penerbangan tersebut mengaku harus menjual lebih mahal
produknya kepada pihak swasta atau instansi di luar TNI/Polri dalam
negeri. Alasannya karena setiap pembelian pesawat dan helikopter buatan
PT DI kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM).
Peraturan ini membuat instansi pemerintahan di luar TNI/Polri atau
perusahaan swasta Tanah Air harus membayar 50% lebih mahal dari harga
seharusnya yang dijual PT DI.
“Betul kita ada kelemahan kalau jual di dalam negeri di instansi
pemerintahan non TNI/Polri atau ke airlines. Ini ada PPn BM. Ini diatur
UU, besarannya 50%,” ucap GM Marketing Dirgantara Indonesia Arie Wibowo
kepada detikFinance, Selasa (30/7).
Misalnya Badan SAR Nasional (Basarnas) memutuskan membeli 2 unit
helikopter tipe AS-365N3+ Dauphin ke PT DI. Basarnas wajib membayar PPn
BM hingga 50% ketika membeli helikopter ke PT DI, padahal kalau Basarnas
membeli helikopter di luar negeri harga jauh lebih terjangkau karena
tidak harus membayar pajak barang mewah.
“Kita jual 2 buah heli ke Basarnas. Basarnas wajib bayar PPn BM
senilai 50% dari harga heli. Itu sama saja bayar 1 heli untuk beli 2
heli. Jadinya Basarnas kalau beli di PTDI mahal,” terangnya.
Ia mencontohkan harga pesawat CN295 untuk versi standar dijual US$ 39
juta per unit. Ketika pesawat ini dibeli oleh maskapai dalam negeri,
pihak maskapai harus membayar lebih mahal menjadi US$ 58,5 juta per unit
karena adanya PPn BM.
Kondisi ini membuat pelanggan asal dalam negeri lebih memilih membeli
dari impor atau dari para pemasok produsen pesawat dan helikopter
dunia. Padahal secara kualitas pesawat dan helikopter yang dibuat dan
dirakit pada pabrik PT DI yang terletak di Bandung Jawa Barat tidak
kalah bersaing.
“Misal Lion Air, Sriwijaya beli di PT DI jadi mahal kalau mereka
pengadaan pesawat lewat luar negeri mereka nggak dikenakan PPnBM. Ini
kontradiksi. Jadi animo beli pesawat di PT DI rendah karena pajak,”
jelasnya.
Ia pun berharap pemerintah melalui Kementerian Keuangan dapat
merevisi pengenaan PPnBM untuk produk-produk strategis karya BUMN
Indonesia. Hal ini jika diterapkan bisa meningkatkan daya saing produk
PT DI di pasar dalam negeri.
“Jadi kita jual lebih banyak ke luar negeri karena aturan PPnBM.
Paling kalau jual ke luar negeri kena PPh saja. Sementara pasar dalam
negeri jauh lebih besar daripada luar negeri tapi dengan aturan ini
(PPnBM) jadi sulit,” tegasnya.
IRESS faham bahwa PPnBM memang dikenakan untuk barang mewah impor.
Cuma yang jadi masalah, kebijakan PPn BM Pemerintah RI menjadi anomali
di antara negara di dunia. Kalau Pemerintah negara-negara lain
mengenakan pajak impor BM lebih tinggi dibanding pajak BM produk bangsa
sendiri. Malah ada diantara negar-negara tersebut membebaskan pajak BM
atau bahkam memberi subsidi untuk produk negaranya.
Sedangkan di Indonesia, PPn BM produk impor dan domestik itu sama,
atau malah mungkin terbalik, PPnBM produk domestik menjadi lebih tinggi.
Bagaimana produk Indonesia bisa bersaing?.
Dengan kebijakan di atas secara perlahan-lahan Pemerintah RI
sebenarnya sedang menjalankan agenda bagaimana membunuh industri
produk-produk bangsa sendiri. Apalagi ini adalah produk strategis yang
seharusnya dilindungi. Negara-negara Eropa memberi subsidi (dana!)
kepada Airbus untuk mengembangkan dan memproduksi peswat-pesawat Airbus
agar bisa bersaing.
Di Indonesia, produk industri strategis dari PT DI, justru
diperlakukan sama dengan produk-produk impor. Karena itu, dalam waktu
yang tidak lama, tunggu saja kematian PT DI, karena memang itu yang
diinginkan oleh pemerintah ultra liberal dan a-nasionalis…. sesuai
pesanan asing…[Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)]
Posting Komentar untuk "Indonesia Republik Ultra Liberal & A-nasionalis, Bunuh Industri Strategis Dalam Negeri"