Jangan Amnesia Pasca Ramadhan
Bulan Ramadhan 1434 H baru saja berlalu. Ada yang
gembira karena tradisi menahan lapar dan haus segera berakhir, karena puasa
baginya memang sekedar menahan lapar dan dahaga. Namun berkaca dari kehidupan
para sahabat, justru mereka bersedih ketika Ramadhan akan segera berakhir.
Seperti sabda Rasulullah SAW. sebagaimana dituturkan Ibn Mas ud: “Sekiranya para hamba (kaum Muslim)
mengetahui kebajikan-kebajikan yang dikandung bulan Ramadhan, niscaya umatku
mengharapkan Ramadhan terus ada sepanjang tahun”. (HR Abu Ya la,
ath-Thabrani, dan ad-Dailami).
Ramadhan memang segera
berlalu, namun pertanyaan strategis yang perlu menjadi renungan adalah
bagaimana pasca ramadhan. Bagaimana makna dan tujuan ramadhan 11 (sebelas)
bulan berikutnya. Sayang, pemandangan yang terjadi adalah seolah kita mengalami
“amnesia” terhadap makna penting Ramadhan, terutama meraih takwa personal dan
sosial sebagai puncak hikmah dari ibadah shaum.
Tampak Ramadhan hanya menjadi perubahan dan kemeriahan instan dan bersifat sesaat.
Instan karena begitu Ramadhan tiba, para wanita Muslimah, misalnya, ramai-ramai
bersegera mengenakan kerudung dan busana islami; yang laki-laki mengenakan
gamis dan berpeci. Selain
instan, fenomena keagamaan di atas juga bersifat sesaat karena, seperti yang
lalu-lalu, semua itu sering hanya berlangsung selama Ramadhan saja. Begitu
Ramadhan pergi, semua kegiatan dan fenomena keagamaan itu pun berhenti.
Fenomena seperti itu sudah berlangsung bertahun-tahun dan berulang.
Ramadhan yang sejatinya sebagai media perubahan dalam
mewujudkan masyarakat yang adil dan bertakwa secara hakiki cenderung bersifat
sementara dan tidak permanen. Pasca Ramadhan, kehidupan serba
bebas, hedonis, politik menghalalkan segala cara dan arus budaya Barat lainnya
kembali menyeruak di tengah-tengah kehidupan.
Padahal,dalam pandangan Islam setiap perilaku kemaksiatan
merupakan perbuatan dosa dan mendapat murka dari sisi Allah SWT tanpa mengenal
waktu dan tempat. Inilah fenomena ketika setiap tahun kita mengidap “amnesia pasca
ramadhan” atau penyakit lupa dengan nilai atau hikmah Ramadhan).
Penerapan sekularisme
Penyakit amnesia ramadhan akut yang selama ini
diderita terjadi karena penerapan sistem sekulerisme (pemisahan antara agama
dan kehidupan) di negeri ini. Seolah kita hanya menemukan nuansa
lingkungan yang agak Islami hanya di bulan Ramadhan saja.
Inilah wajah sekuler
negeri ini ketika syariat Islam hanya menjadi urusan ibadah yang sifatnya
individual, tidak berpengaruh pada kehidupan masyarakat dan negara. Sekulerisme
menghasilkan orang-orang yang bermental hipokrit; lain di ruang ibadah, lain di
ruang publik. Semestinya,
dengan mengerjakan puasa dengan benar, kaum muslimin akan terbimbing menuju
pribadi yang agung. Gemar beramar maruf nahi mungkar dan senantiasa bersemangat
untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Ia akan menjalankan hukum-hukum Allah
tanpa pilah-pilih, juga meninggalkan
kemungkaran tanpa ditunda-tunda.
Inilah makna dari ayat
tentang puasa, “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS
al-Baqarah [2]: 183). Menurut al-Jazairi, frasa “agar kalian bertakwa”
bermakna: agar dengan shaum itu Allah SWT mempersiapkan kalian untuk bisa
menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya (Al-Jazairi,
I/80).
Dengan kata lain, takwa
adalah kesadaran akal dan jiwa serta pengetahuan syar’i akan wajibnya mengambil
halal-haram sebagai standar bagi seluruh aktivitas dan merealisasikannya secara
praktis (’amalî) di tengah-tengah kehidupan. Nilai esensial dari
seluruh ibadah wajib dan sunnah pada bulan Ramadhan ini harus mewujud dalam
sebuah spektrum jiwa yang pasrah, tunduk dan sepenuhnya berjalan di bawah
kesadaran ketuhanan (ihsân). Semua ini bermuara pada sebuah kesadaran
bahwa Allahlah satu-satunya yang wajib disucikan (dengan hanya beribadah
kepada-Nya) baik di kesunyian ataupun di keramaian; dalam kesendirian maupun
berjamaah; di waktu malam ataupun siang; dalam keadan sempit atau lapang; di
daratan ataupun di lautan. Semua itu mengalir sampai ujung batas kesempatan
hidupnya.
Takwa Personal dan Sosial
Takwa harus tercermin dalam kesediaan seorang Muslim untuk
tunduk dan patuh pada hukum Allah. Kesediaan kita untuk tunduk dan patuh pada
seluruh hukum syariah Islam inilah realisasi dari ketakwaan dan kesalihan
personal kita. Secara personal, hukum syariah seperti shalat, puasa, zakat,
memakai jilbab, berakhlak mulia, berkeluarga secara islami; atau bermuamalah
seperti jual-beli, sewa-menyewa secara syar’i dan sebagainya bisa
dilaksanakan saat ini juga.
Namun, dalam konteks sosial, banyak hukum syariah yang saat
ini seolah begitu sulit dilakukan, seperti peradilan/persanksian (misal: qishâsh,
potong tangan bagi pencuri, cambuk/rajam bagi pezina, cambuk bagi
peminum khamr, dsb). Hukum seputar ekonomi (misal: hukum tentang kepemilikan,
pengelolaan kekayaan milik umum, penghapusan riba dari semua transaksi, dsb).
Politik Luar Negeri (misal: dakwah ke luar negeri dan jihad/perang) dan
kewarganegaraan (misal: hukum tentang status kafir dzimmi, musta’min
dan mu’âhad).
Kaum Muslim sesungguhnya diperintahkan untuk menjalankan
semua hukum syariah tersebut serta memutuskan semua perkara di tengah-tengah masyarakat dengan
hukum-hukum Allah. Sebagaimana hukum-hukum yang bersifat personal wajib
dilaksanakan, demikian pula dengan hukum-hukum yang bersifat sosial. Bahkan Allah
mengancam siapa saja yang mengambil sebagian isi al-Quran seraya meninggalkan
sebagiannya yang lain : “Apakah
kalian mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lainnya? Tidak
ada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dilemparkan ke
dalam azab yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat”. (QS al-Baqarah [2]: 85).
Disinilah pentingnya kaum Muslim memiliki
penguasa (yakni Khalifah) dan sistem pemerintahan yang sanggup menerapkan
hukum-hukum Islam dalam wadah daulah Khilafah Islamiyah sebagai wujud ketakwaan kita secara sosial. Semoga, momentum berakhirnya puasa Ramadhan melahirkan kembali jutaan
umat Islam yang telah memiliki kadar keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT
yang tinggi, besar, dan kuat, menjadi modal bagi terbitnya fajar kemenangan
Islam di muka bumi ini, yaitu tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Bahrul Ulum Ilham (Aktifis
HTI Sulawesi Selatan)]
Posting Komentar untuk "Jangan Amnesia Pasca Ramadhan"