Tidak Ada Hukum Sebelum Datang Syariat
Dewasa ini banyak orang punya pemahaman bahwa hukum ditetapkan berdasarkan nilai yang eksis dalam realitas fakta yang dihukumi, nilai yang tidak tergantung pada keputusan ataupun persepsi manusia. Hal-hal yang terpuji menjadi terpuji karena karakternya sendiri sebagai suatu hal yang terpuji, dan hal yg tercela menjadi tercela karena karakternya sendiri sebagai suatu hal yang tercela. Manusia pun dapat memahami keadaan hal-hal tersebut sebagai suatu realitas hal yang memiliki nilai terpuji atau pun tercela.
Menurut pandangan ini, syariat datang kepada manusia dalam rangka memberikan penegasan hukum atas nilai-nilai yang telah ada dalam realitas tersebut. Syara’ memerintahkan hal-hal yang pada kenyataannya memiliki sifat terpuji, dan syara’ pun melarang hal-hal yang pada dasarnya memiliki sifat tercela. Pada masa lalu, pemahaman semacam ini banyak diadopsi oleh tokoh-tokoh Mu’tazilah. Para ulama menyebut paham ini dengan ungkapan “menetapkan keterpujian dan ketercelaan dengan akal” (at-tahsiin wat-taqbiih al-’aqliyaani).
Namun, berbeda dengan pemahaman di atas, kaidah yang kami adopsi adalah: “laa hukma qabla wuruudisy syar’ = tidak ada hukum sebelum datangnya syariat…”.[1] Artinya, sebelum syariat datang, hukum itu tidak ada. Dengan demikian, sebelum datang syariat yang dibawa oleh seorang rasul, manusia tidak dibebani hukum apa pun. Allah berfirman: “وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا” (tidaklah Kami mengadzab (suatu kaum) sebelum kami mengutus seorang rasul) [al Isra' ayat 15]
Dengan demikian, hukum itu tidak ada dan tidak bisa dituntukan oleh akal manusia sebelum ada keputusan dari syariat. Ini sebagaimana dijelaskan oleh As Subki dalam syarhnya terhadap kitabnya sendiri, Jam’ul Jawami’: “Syaikh kami Abul Hasan menyatakan tidak ada hukum sebelum datangnya syariat, artinya bukan tidak ada pengetahuan terhadap hukum, sebagaimana disalahpahami oleh Al Baidhawi dan yang lainya, tapi maknanya adalah tidak ada hukum itu sendiri”,[2] artinya bahwa ketika syariat belum datang, hukum bukan hanya tersembunyi dan tidak diketahui oleh manusia, kemudian syariat datang untuk menunjuk realitas yang ada tapi tersembunyi itu. tidak demikian, tetapi yang benar adalah bahwa ketika syariat belum datang maka hukum itu sendiri tidak ada.
Yang demikian itu karena hukum syara’, baik berupa perintah, larangan maupun izin, tidak berpijak pada suatu nilai atau sifat yang eksis dengan sendirinya dalam realitas, objektif dan terjangkau oleh akal manusia. Sebaliknya, hukum syara’ itu hanyalah keputusan Allah, bersifat “arbitrer”, terserah Allah. Dia memutuskan apa yang Dia kehendaki tanpa berpijak pada ketentuan apapun. Dialah yang memutuskan mana perbuatan yang Dia beri pahala dan mana perbuatan yang Dia beri siksa. (إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ).
Maka, menurut kami, kaitannya dengan pahala dan siksa di akhirat, sesuatu itu dianggap terpuji bukan karena sesuatu sifat yang dapat dikenali secara objektif; dan sesuatu dihukumi sebagai hal yang tercela juga bukan karena suatu sifat yang dapat dikenali secara objektif. Namun, sesuatu dihukumi sebagai hal yang terpuji karena diputuskan sebagai hal yang terpuji oleh syariat; dan sesuatu dianggap tercela semata karena diputuskan sebagai hal yang tercela oleh syariat.
(ان الحسنة ما حسّنه الشرع وان القبيح ما قبّحه الشرع)
Karena itulah, sesuai dengan pandangan syara’, kami tidak mencela seorang suami yang memutuskan untuk berpoligami, karena memiliki empat istri masih dibolehkan oleh syariat. Kami juga tidak mencela keputusan hukum yang memberikan bagian harta warisan anak laki-laki dua kali lebih besar dari pada bagian anak perempuan, bahkan keputusan itu kami anggap terpuji, karena yang demikian itu memang ketentuan syariat. Kami juga tidak mencela keputusan hukum untuk merajam pelaku zina yang telah menikah, bahkan kami menganggapnya sebagai suatu hal yang terpuji, karena yang demikian itu memang ketentuan syariat. Kami tidak mencela wanita dan pria yang enggan bergaul di acara-acara dimana terjadi ikhtilath antara kaum lelaki dan perempuan, karena syariat memang melarangnya. Demikianlah, apa yang terpuji dan apa yang tercela ditentukan oleh keputusan syara’. [Titok Priastomo]
Wallaahu a’lam
[1] An Nabhani, Asy Asyakhshiyyah al Islamiyyah juz III (Beirut: Darul Ummah, 2005) hal. 18
[2] As Subki, Man’ul Mawami’ ‘an Jam’il Jawami’ fi Ushulil Fiqh (Beirut: Darul Basyairil Islamiyah, 1999) hal. 96
Menurut pandangan ini, syariat datang kepada manusia dalam rangka memberikan penegasan hukum atas nilai-nilai yang telah ada dalam realitas tersebut. Syara’ memerintahkan hal-hal yang pada kenyataannya memiliki sifat terpuji, dan syara’ pun melarang hal-hal yang pada dasarnya memiliki sifat tercela. Pada masa lalu, pemahaman semacam ini banyak diadopsi oleh tokoh-tokoh Mu’tazilah. Para ulama menyebut paham ini dengan ungkapan “menetapkan keterpujian dan ketercelaan dengan akal” (at-tahsiin wat-taqbiih al-’aqliyaani).
Namun, berbeda dengan pemahaman di atas, kaidah yang kami adopsi adalah: “laa hukma qabla wuruudisy syar’ = tidak ada hukum sebelum datangnya syariat…”.[1] Artinya, sebelum syariat datang, hukum itu tidak ada. Dengan demikian, sebelum datang syariat yang dibawa oleh seorang rasul, manusia tidak dibebani hukum apa pun. Allah berfirman: “وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا” (tidaklah Kami mengadzab (suatu kaum) sebelum kami mengutus seorang rasul) [al Isra' ayat 15]
Dengan demikian, hukum itu tidak ada dan tidak bisa dituntukan oleh akal manusia sebelum ada keputusan dari syariat. Ini sebagaimana dijelaskan oleh As Subki dalam syarhnya terhadap kitabnya sendiri, Jam’ul Jawami’: “Syaikh kami Abul Hasan menyatakan tidak ada hukum sebelum datangnya syariat, artinya bukan tidak ada pengetahuan terhadap hukum, sebagaimana disalahpahami oleh Al Baidhawi dan yang lainya, tapi maknanya adalah tidak ada hukum itu sendiri”,[2] artinya bahwa ketika syariat belum datang, hukum bukan hanya tersembunyi dan tidak diketahui oleh manusia, kemudian syariat datang untuk menunjuk realitas yang ada tapi tersembunyi itu. tidak demikian, tetapi yang benar adalah bahwa ketika syariat belum datang maka hukum itu sendiri tidak ada.
Yang demikian itu karena hukum syara’, baik berupa perintah, larangan maupun izin, tidak berpijak pada suatu nilai atau sifat yang eksis dengan sendirinya dalam realitas, objektif dan terjangkau oleh akal manusia. Sebaliknya, hukum syara’ itu hanyalah keputusan Allah, bersifat “arbitrer”, terserah Allah. Dia memutuskan apa yang Dia kehendaki tanpa berpijak pada ketentuan apapun. Dialah yang memutuskan mana perbuatan yang Dia beri pahala dan mana perbuatan yang Dia beri siksa. (إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ).
Maka, menurut kami, kaitannya dengan pahala dan siksa di akhirat, sesuatu itu dianggap terpuji bukan karena sesuatu sifat yang dapat dikenali secara objektif; dan sesuatu dihukumi sebagai hal yang tercela juga bukan karena suatu sifat yang dapat dikenali secara objektif. Namun, sesuatu dihukumi sebagai hal yang terpuji karena diputuskan sebagai hal yang terpuji oleh syariat; dan sesuatu dianggap tercela semata karena diputuskan sebagai hal yang tercela oleh syariat.
(ان الحسنة ما حسّنه الشرع وان القبيح ما قبّحه الشرع)
Karena itulah, sesuai dengan pandangan syara’, kami tidak mencela seorang suami yang memutuskan untuk berpoligami, karena memiliki empat istri masih dibolehkan oleh syariat. Kami juga tidak mencela keputusan hukum yang memberikan bagian harta warisan anak laki-laki dua kali lebih besar dari pada bagian anak perempuan, bahkan keputusan itu kami anggap terpuji, karena yang demikian itu memang ketentuan syariat. Kami juga tidak mencela keputusan hukum untuk merajam pelaku zina yang telah menikah, bahkan kami menganggapnya sebagai suatu hal yang terpuji, karena yang demikian itu memang ketentuan syariat. Kami tidak mencela wanita dan pria yang enggan bergaul di acara-acara dimana terjadi ikhtilath antara kaum lelaki dan perempuan, karena syariat memang melarangnya. Demikianlah, apa yang terpuji dan apa yang tercela ditentukan oleh keputusan syara’. [Titok Priastomo]
Wallaahu a’lam
[1] An Nabhani, Asy Asyakhshiyyah al Islamiyyah juz III (Beirut: Darul Ummah, 2005) hal. 18
[2] As Subki, Man’ul Mawami’ ‘an Jam’il Jawami’ fi Ushulil Fiqh (Beirut: Darul Basyairil Islamiyah, 1999) hal. 96
Posting Komentar untuk "Tidak Ada Hukum Sebelum Datang Syariat"