Jokowi "The Next President", Mau Tertipu Lagi?
Pencitraan
Jokowi sebagai calon presiden terpopuler memang luar biasa. Berbagai
survei yang dilakukan berbagai lembaga menunjukkan Jokowi sebagai calon
presiden yang paling populer. Media massa pun—entah kenapa nyaris tanpa
kritik—saat memberitakan Jokowi.Terutama media-media yang dikenal
sekuler dan liberal, sangat gencar mengampanyekan Jokowi dalam pemberitaannya.
Tidak ketinggalan, media asing pun demikian semangat memblow-up Jokowi. The Economist memulai laporannya dengan kalimat: "Ketika sejumlah partai politik tengah mencari calon presiden, sebagian besar orang Indonesia bilang hanya Jokowi orang yang tepat." Tidak mengherankan kalau sosok Jokowi menjadi capres paling diunggulkan oleh PDIP. Jokowi dinilai Megawati memiliki getaran jiwa seperti proklarnator Bung Karno.
Memang dengan berbagai kelebihannya dibanding dengan calon-calon presiden yang lain, Jokowi menjadi sosok yang paling memungkinkan untuk menang dalam pemilu 2014. Elektabilitasnya paling tinggi. Namun kita perlu ingat, yang menjadi persoalan di Indonesia bukanlah sekadar masalah individu, tapi juga sistem.
Dua hal inilah yang diingatkan Syekh Taqiyuddin an Nabhani rahimahumullah, ketika menjelaskan pangkal persoalan di dunia Islam termasuk Indonesia saat ini dalam kitabnya Nida ul Har. Pertama adalah penguasa-penguasa di dunia Islam yang menjadi boneka negara-negara penjajah.Kedua, diterapkannya sistem kufur yang bukan berasal dari syariah Islam.
Karena itu, sejauh mana Jokowi akan berhasil menjadi pemimpin negeri ini, bisa diukur oleh dua hal di atas. Apakah Jokowi bisa muncul sebagai pemimpin yang tidak tunduk kepada Barat? Beranikah Jokowi melawan keinginan negara-negara Barat terutama Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya?
Keberanian pemimpin menentang Barat ini penting, sebab tunduk kepada negara-negara imperialis Barat, berarti sama saja melanjutkan penjajahan Barat yang justru menjadi biang kerok penderitaan di dunia Islam. seperti yang ditunjukkan oleh penguasa negeri Islam di Mesir, Pakistan, Saudi, termasuk Indonesia sekarang.
Ketertundukan mereka kepada Barat menjadikan mereka menjadi pelayan-pelayan setia yang siap mengorbankan rakyatnya sendiri, membiarkan kekayaan alam negerinya dirampok oleh negara-negara imperialis meskipun rakyatnya hidup dalam kemiskinan.
Keberanian sosok pemimpin seperti Hugo Chavez melawan Amerika dalam beberapa hal telah memberikan keuntungan kepada rakyatnya.
Untuk hal ini keberanian Jokowi masih dipertanyakan. Sikapnya yang tidak jelas, bahkan cenderung mengizinkan pembangunan gedung Kedubes Amerika di Jakarta, membuat kita ragu apakah Jokowi berani melawan Amerika. Padahal sudah jelas, Kedubes Amerika di mana-mana menjadi salah satu tempat penting aktivitas intelijen, propaganda, maupun lobi-lobi politik, maupun militer yang berujung pada pengokohan penjajahan Amerika di kawasan itu.
Namun sosok invidividu saja tidak cukup. Sebab, penjajahan terhadap suatu negeri, bisa kokoh lewat sistem kapitalisme yang diadopsi oleh sebuah negara. sistem kapitalisme ini melahirkan kebijakan politik dan ekonomi yang memberikan jalan bagi pengokohan penjajahan Barat.
Di Indonesia, penjajahan Barat masuk lewat sistem demokrasi yang dikontrol oleh pemilik modal. Lewat sistem demokrasi yang menjadikan uang sebagai panglima inilah lahir berbagai UU yang menguntungkan penjajah Barat. Lahirlah UU Migas, UU SDA, UU Kelistrikan dan lain-lain yang lebih berpihak kepada pemilik modal.
Sebagai contoh karut marut minyak dan gas (migas) di Indonesia berpangkal pada kesalahan undang¬-undang yang amat fatal. Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas yang disahkan Pemerintahan Megawati itu meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas, mulai dari sektor hulu hingga sektor hilir.
Melalui UU Migas itu, liberalisasi migas di Indonesia berjalan kokoh. Sejak saat itu, kisruh pengelolaan migas di negeri ini selalu terjadi. Liberalisasi pengelolaan migas dan kekayaan alam lain, membuat kekayaan alam negeri ini dijarah asing.
Dan perlu kita catat, satu-satunya sistem yang memiliki watak perlawanan terhadap kezaliman terhadap penjajah kapitalisme, menjadi pengganti, bahkan akan menghancurkan sistem kapitalisme adalah sistem Islam. itu berupa syariah Islam yang diterapkan secara total oleh negara khilafah.
Karena itu, amat menyedihkan kalau umat Islam, rakyat Indonesia, tertipu dengan sosok-sosok yang dijagokan oleh Barat, didukung oleh partai liberal/sekuler, maupun kelompok-kelompok yang menjadi boneka Barat dengan dukungan media sekuler.
Sebab pemimpin seperti itu akan kembali menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang penjajahan Barat yang telah membuat rakyat menderita. Pemimpin seperti itu akan mengulangi kesalahan pemimpin sebelumnya yang lahir dengan cara yang sama, kembali menjadi pembebek negara imperialis.
Umat Islam dan rakyat Indonesia, seharusnya tidak lagi tertipu dengan popularitas seorang tokoh tanpa disertai dengan perubahan sistem kapitalis menjadi sistem Islam. Sebab tidak akan terjadi perubahan yang mendasar tanpa diterapkannya syariah Islam secara menyeluruh.
Karena itulah, umat Islam seharusnya fokus pada perjuangan untuk menggantikan sistem sekuler kapitalisme dinegeri ini, dengan menegakkan kembali khilafah yang menerapkan seluruh syariat Islam. Inilah yang akan membawa perubahan yang nyata dan memberikan kebaikan bukan hanya untuk Indonesia tapi juga dunia. [Farid Wajdi]
Tidak ketinggalan, media asing pun demikian semangat memblow-up Jokowi. The Economist memulai laporannya dengan kalimat: "Ketika sejumlah partai politik tengah mencari calon presiden, sebagian besar orang Indonesia bilang hanya Jokowi orang yang tepat." Tidak mengherankan kalau sosok Jokowi menjadi capres paling diunggulkan oleh PDIP. Jokowi dinilai Megawati memiliki getaran jiwa seperti proklarnator Bung Karno.
Memang dengan berbagai kelebihannya dibanding dengan calon-calon presiden yang lain, Jokowi menjadi sosok yang paling memungkinkan untuk menang dalam pemilu 2014. Elektabilitasnya paling tinggi. Namun kita perlu ingat, yang menjadi persoalan di Indonesia bukanlah sekadar masalah individu, tapi juga sistem.
Dua hal inilah yang diingatkan Syekh Taqiyuddin an Nabhani rahimahumullah, ketika menjelaskan pangkal persoalan di dunia Islam termasuk Indonesia saat ini dalam kitabnya Nida ul Har. Pertama adalah penguasa-penguasa di dunia Islam yang menjadi boneka negara-negara penjajah.Kedua, diterapkannya sistem kufur yang bukan berasal dari syariah Islam.
Karena itu, sejauh mana Jokowi akan berhasil menjadi pemimpin negeri ini, bisa diukur oleh dua hal di atas. Apakah Jokowi bisa muncul sebagai pemimpin yang tidak tunduk kepada Barat? Beranikah Jokowi melawan keinginan negara-negara Barat terutama Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya?
Keberanian pemimpin menentang Barat ini penting, sebab tunduk kepada negara-negara imperialis Barat, berarti sama saja melanjutkan penjajahan Barat yang justru menjadi biang kerok penderitaan di dunia Islam. seperti yang ditunjukkan oleh penguasa negeri Islam di Mesir, Pakistan, Saudi, termasuk Indonesia sekarang.
Ketertundukan mereka kepada Barat menjadikan mereka menjadi pelayan-pelayan setia yang siap mengorbankan rakyatnya sendiri, membiarkan kekayaan alam negerinya dirampok oleh negara-negara imperialis meskipun rakyatnya hidup dalam kemiskinan.
Keberanian sosok pemimpin seperti Hugo Chavez melawan Amerika dalam beberapa hal telah memberikan keuntungan kepada rakyatnya.
Untuk hal ini keberanian Jokowi masih dipertanyakan. Sikapnya yang tidak jelas, bahkan cenderung mengizinkan pembangunan gedung Kedubes Amerika di Jakarta, membuat kita ragu apakah Jokowi berani melawan Amerika. Padahal sudah jelas, Kedubes Amerika di mana-mana menjadi salah satu tempat penting aktivitas intelijen, propaganda, maupun lobi-lobi politik, maupun militer yang berujung pada pengokohan penjajahan Amerika di kawasan itu.
Namun sosok invidividu saja tidak cukup. Sebab, penjajahan terhadap suatu negeri, bisa kokoh lewat sistem kapitalisme yang diadopsi oleh sebuah negara. sistem kapitalisme ini melahirkan kebijakan politik dan ekonomi yang memberikan jalan bagi pengokohan penjajahan Barat.
Di Indonesia, penjajahan Barat masuk lewat sistem demokrasi yang dikontrol oleh pemilik modal. Lewat sistem demokrasi yang menjadikan uang sebagai panglima inilah lahir berbagai UU yang menguntungkan penjajah Barat. Lahirlah UU Migas, UU SDA, UU Kelistrikan dan lain-lain yang lebih berpihak kepada pemilik modal.
Sebagai contoh karut marut minyak dan gas (migas) di Indonesia berpangkal pada kesalahan undang¬-undang yang amat fatal. Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas yang disahkan Pemerintahan Megawati itu meliberalisasi seluruh kegiatan usaha migas, mulai dari sektor hulu hingga sektor hilir.
Melalui UU Migas itu, liberalisasi migas di Indonesia berjalan kokoh. Sejak saat itu, kisruh pengelolaan migas di negeri ini selalu terjadi. Liberalisasi pengelolaan migas dan kekayaan alam lain, membuat kekayaan alam negeri ini dijarah asing.
Dan perlu kita catat, satu-satunya sistem yang memiliki watak perlawanan terhadap kezaliman terhadap penjajah kapitalisme, menjadi pengganti, bahkan akan menghancurkan sistem kapitalisme adalah sistem Islam. itu berupa syariah Islam yang diterapkan secara total oleh negara khilafah.
Karena itu, amat menyedihkan kalau umat Islam, rakyat Indonesia, tertipu dengan sosok-sosok yang dijagokan oleh Barat, didukung oleh partai liberal/sekuler, maupun kelompok-kelompok yang menjadi boneka Barat dengan dukungan media sekuler.
Sebab pemimpin seperti itu akan kembali menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang penjajahan Barat yang telah membuat rakyat menderita. Pemimpin seperti itu akan mengulangi kesalahan pemimpin sebelumnya yang lahir dengan cara yang sama, kembali menjadi pembebek negara imperialis.
Umat Islam dan rakyat Indonesia, seharusnya tidak lagi tertipu dengan popularitas seorang tokoh tanpa disertai dengan perubahan sistem kapitalis menjadi sistem Islam. Sebab tidak akan terjadi perubahan yang mendasar tanpa diterapkannya syariah Islam secara menyeluruh.
Karena itulah, umat Islam seharusnya fokus pada perjuangan untuk menggantikan sistem sekuler kapitalisme dinegeri ini, dengan menegakkan kembali khilafah yang menerapkan seluruh syariat Islam. Inilah yang akan membawa perubahan yang nyata dan memberikan kebaikan bukan hanya untuk Indonesia tapi juga dunia. [Farid Wajdi]
Posting Komentar untuk "Jokowi "The Next President", Mau Tertipu Lagi?"