Stop Politik Machiavelli
Memalukan dan memilukan,
menyaksikan berbagai manuver pasangan calon, tim sukses dan partai pendukungnya
jelang pemilihan walikota Makassar. Di masa kampanye misalnya, masyarakat disuguhi
berbagai tontonan kampanye “kotor” saling menyinggung dan tidak sehat. Berbagai
pelanggaran atau cara-cara “jekkong” kandidat juga menghiasi pemberitaan pemilihan
walikota Makassar di berbagai media lokal.
Menanggapi hal ini, Tribun
Forum Dosen yang beranggotakan akademisi dan pengamat mengingatkan untuk
menghentikan politik kotor yang hanya akan meningkatkan apatisme politik.
Politik kotor meraih kekuasaan bukan hanya tidak baik bagi pendidikan politik
masyarakat, tapi juga berpotensi memunculkan konflik horizontal. Konflik
pribadi dan emosional masing-masing tim sukses akan berpotensi pada penciptaan
kerawanan politik. Menjadi kekhawatiran bersama apabila terjadi bentrokan dan
konflik di masyarakat bawah, atau ketika masyarakat hanya dijadikan alat untuk
menggapai kursi kekuasaan.
Politik
Machiavellis
Praktik politik "Machiavellis"
atau politik menghalalkan segala cara untuk meraih atau mempertahankan
kekuasaan dinisbatkan kepada Niccolo Machiavelli. Dia adalah seorang diplomat
dan politikus Italia yang juga seorang filsuf, dengan karyanya yang terkenal The Prince (1932). Bagi Machiavelli, semua hal dan cara dapat
diusahakan untuk membangun dan melestarikan kekuasaan, wajar bila namanya
diasosiakan dengan hal yang buruk, utamanya praktik menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan.
Dalam sistem demokrasi
sekular, politik lebih didasarkan pada politik Machiavellis yang ditulis dalam
buku The Prince. Machiavelli
mengajarkan bahwa: (1) kekerasan (violence),
brutalitas, dan kekejaman merupakan cara yang diperlukan penguasa; (2)
penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum bonum); (3) dalam menjalankan
kehidupan politik seseorang harus dapat bermain seperti binatang buas.
Karenanya, praktik politik
sistem sekular merupakan homo homini
lupus; manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain. Slogannya pun
adalah, “Kiranya dapat diterima akal bila demi tuntutan profesionalnya, seorang
serdadu harus membunuh dan seorang politikus harus menipu” (It is thought that by the necessities of his profession a soldier must
kill and politici on lie).
Kiranya, bila melihat fenomena
politik di tanah air, terutama dalam ritual pemilu di level nasional maupun
lokal pada dasarnya mempraktekkan politik ala Machiavelli. Politik “menghalalkan segala cara” ini sangat gamblang terlihat, seperti
berkembangnya fitnah terhadap lawan politik, saling menjelekkan satu sama lain,
politik uang, serta juga tindak kekerasan massa atau anarkisme. Olehnya,
saatnya menyerukan penghentian segala praktek kotor ala “Machiavelli. Masyarakat jangan lagi dipimpin atau menjadi
Machiavellian yang jauh dari nilai-nilai moral dan agama.
Politik
Islam Sejati
Politik dalam Islam sejatinya
bukan sebatas simbol untuk meraih simpati massa. Politik dalam Islam dikenal dengan
istilah siyâsah, artinya: mengurusi
urusan, melarang, memerintah (Kamus al-Muhîth, dalam kata kunci sâsa). Jadi, politik artinya adalah
mengurusi urusan umat. Berkecimpung dalam dunia politik berarti memperhatikan
kondisi kaum Muslim dengan cara menghilangkan kezaliman penguasa dan
melenyapkan kejahatan kaum kafir atas mereka. Politik Islam berarti mengurusi
urusan masyarakat melalui kekuasaan, melarang dan memerintah, dengan landasan
hukum/syariah Islam. (MR Kurnia; Al-Jamaah, Tafarruq dan Ikhtilaf,
hlm. 33-38).
Sistem dan perilaku politik
dan pribadi politisi sangat dipengaruhi oleh paradigma politik yang dianut.
Paradigma politik kapitalis adalah fokus pada masalah kekuasaan, meraih dan
mempertahankan kekuasaan. Sedangkan dalam Islam, politik (as-siyasah)
itu adalah bagian dari syariah, akidah Islam harus menjadi landasannya.
Paradigma politik Islam adalah pemeliharaan urusan umat baik di dalam maupun di
luar negeri sesuai hukum-hukum Islam.
Dengan paradigma politik Islam
ini, yang menjadi fokus perhatian para politisi dan penguasa adalah
pemeliharaan urusan dan kemaslahatan umat. Dari situ lahirlah perilaku politisi
yang senantiasa memperhatikan urusan dan kepentingan umat. Kualitas seorang
politisi dalam Islam diukur dari sejauh mana tingkat kepedulian dan
pemeliharaannya atas urusan dan kepentingan umat. Semua aktivitas politik itu
bukan hanya berdimensi duniawi tetapi yang lebih melekat lagi adalah dimensi
ukhrawi, yaitu pertanggungjawaban di hadapan Allah atas sejauh mana ri’ayah (pemeliharaan) terhadap urusan
rakyat (pihak yang diurus).
Namun, kenyataannya sistem demokrasi yang lahir dari ideologi sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) telah menjadikan panggung politik nihil dari nilai nilai ketakwaan. Siapapun bisa dan berhak berkuasa dengan menghalalkan segala cara. Inilah yang menjadi cacat bawaan demokrasi karena ternyata pilihan rakyat tak selalu benar dalam sistem politik yang “serba kotor”. Alhasil, sangat sulit dalam sistem demokrasi saat ini akan mampu menghasilkan pemimpin yang bersih, amanah dan adil. Ongkos politik yang mahal untuk kampanye dari legal sampai yang ilegal menjadikan pilkada sebagai ajang pertarungan uang dan bukan kompetisi kandidat.
Terwujudnya kepemimpinan sejati ini mensyarakatkan dua hal: kebaikan sosok pemimpin dan kebaikan sistem kepemimpinannya. Sosok pemimpin yang baik tentu saja adalah yang bertakwa kepada Allah SWT dan sistem kepemimpinan yang baik hanyalah yang berdasarkan syariah-Nya. Kepemimpinan yang bertakwa dan berlandaskan syariah Islam pasti akan membukakan pintu keberkahan Allah SWT dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96). Sebaliknya, jika mereka menyimpang dari aturan Allah SWT, mereka pasti akan ditimpa kesempitan hidup (QS Thaha [20]: 123-126).
Namun, kenyataannya sistem demokrasi yang lahir dari ideologi sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) telah menjadikan panggung politik nihil dari nilai nilai ketakwaan. Siapapun bisa dan berhak berkuasa dengan menghalalkan segala cara. Inilah yang menjadi cacat bawaan demokrasi karena ternyata pilihan rakyat tak selalu benar dalam sistem politik yang “serba kotor”. Alhasil, sangat sulit dalam sistem demokrasi saat ini akan mampu menghasilkan pemimpin yang bersih, amanah dan adil. Ongkos politik yang mahal untuk kampanye dari legal sampai yang ilegal menjadikan pilkada sebagai ajang pertarungan uang dan bukan kompetisi kandidat.
Terwujudnya kepemimpinan sejati ini mensyarakatkan dua hal: kebaikan sosok pemimpin dan kebaikan sistem kepemimpinannya. Sosok pemimpin yang baik tentu saja adalah yang bertakwa kepada Allah SWT dan sistem kepemimpinan yang baik hanyalah yang berdasarkan syariah-Nya. Kepemimpinan yang bertakwa dan berlandaskan syariah Islam pasti akan membukakan pintu keberkahan Allah SWT dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96). Sebaliknya, jika mereka menyimpang dari aturan Allah SWT, mereka pasti akan ditimpa kesempitan hidup (QS Thaha [20]: 123-126).
Pemimpin yang bertakwa tentu
harus berkepribadian Islami (imamul muttaqin) yang jauh dari
sifat-sifat amoral. Seorang pemimpin yang bertakwa akan senantiasa menyadari
bahwa Allah SWT senantiasa memonitornya (muraqabah) dan dia takut
kepada-Nya, sehingga dengan demikian dia akan menjauhkan diri dari sikap
sewenang-wenang (zalim) kepada rakyat maupun sikap abai terhadap urusan urusan
rakyat.
Dalam sistem Islam, yakni
Khilafah Islamiyah, pemimpin yang bertakwa akan menjadi penggembala, pembela
dan benteng (junnah) bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya; dia akan
mengurusi urusan rakyat (ri’ayah) dengan penuh amanah dan
berlandaskan syariah. Dengan itu, terwujudnya kesejahteraan rakyat adalah
niscaya; terjaganya harta, jiwa dan kehormatan rakyat adalah juga hal yang
nyata. Wallâhu a’lam bis ash-hawâb. [Bahrul
ulum Ilham (Aktifis
HTI Sulawesi Selatan)]
Posting Komentar untuk "Stop Politik Machiavelli"