Sistem Penganggaran dalam Negara Khilafah
Bagaimana Khilafah mengatur penganggaran ? silahkan simak tulisan berikut ini :
Dalam sejarah perjalanan bangsa Amerika sangat akrab dengan shutdown (pemberhentian sementara sebagian fungsi pemerintahan karena ada permasalahan anggaran). Shutdown sudah berulang sebanyak 17 kali, terakhir shutdown terjadi di masa pemerintahan Clinton 1995/1966 (17 tahun yang lalu). Shutdown itu lahir lebih dikarenakan pertarungan politik kepentingan antara Demokrat vs Republik. Shutdown itu bersifat temporer, lamanya shutdown biasanya berlangsung hanya dalam hitungan hari dan minggu, tidak sampai bulan.
Sejumlah pelayanan penting tetap berjalan selama “macetnya”
pemerintahan, seperti patroli perbatasan dan pengawasan lalu lintas
udara. Departemen Luar Negeri akan terus memproses aplikasi visa asing,
dan kedutaan besar dan konsulat di luar negeri akan terus memberikan
layanan kepada warga Amerika.
Kasus ini membuka mata dunia, bahwa ada dua masalah fundamental dalam sistem ketatanegaraan di AS. Pertama,
pertarungan politik antara dua partai, Republik vs Demokrat, dengan
berbagai kepentingannya telah mengorbankan kepentingan rakyatnya
sendiri. Ini membuktikan, rapuhnya sistem demokrasi yang selama ini
diagung-agungkan oleh sebagian orang. Kedua, masalah anggaran,
baik yang terkait dengan mekanisme penyusunannya, maupun besarannya,
yang diputuskan antara pemerintah dengan parlemen terbukti rawan
masalah.
Penyusunan APBN Negara Khilafah
Negara Khilafah jelas tidak menganut sistem penyusunan APBN
sebagaimana yang dianut oleh negara kapitalis, seperti AS. APBN di AS,
dan negara-negara yang menganut sistem kapitalisme, termasuk Indonesia,
disusun tiap tahun. Ditetapkan dalam UU APBN, setelah dibahas oleh
pemerintah bersama parlemen. Bisa disetujui, dan bisa juga ditolak. Ini
menimbulkan kerawanan. Jika deadlock, seperti dalam kasus 1 Oktober 2013 lalu di AS, maka dampaknya terjadilah Government Shutdown. Bisa juga membuka praktik percaloan, dan suap-menyuap agar APBN disetujui.
Berbeda dengan sistem khilafah. APBN-nya tidak disusun tiap tahun.
Karena, baik anggaran pendapatan maupun belanjanya merupakan hukum
syara’ yang sudah baku, sehingga tidak membutuhkan pembahasan atau
musyawarah. Mengenai besarannya juga demikian, karena ini mengikuti
hukum pokoknya, meski diserahkan kepada khalifah, pada dasarnya khalifah
tetap menginduk kepada hukum pokok tersebut. Hanya saja, khalifah
diberi hak untuk menentukan besaran tersebut sesuai dengan pandangannya.
Dengan mekanisme seperti ini, maka di dalam negara khilafah tidak ada
masalah yang terkait dengan penyusunan APBN. Dengan cara yang sama,
sistem ini telah mampu mengiliminasi potensi konflik kepentingan antara
partai pemerintah dan oposisi, yang bertarung untuk kepentingan mereka
sendiri. Dengan begitu, rakyat akan terhindar menjadi korban politik
kepentingan. Negara juga tidak akan mengalami Government Shutdown.
Dengan mekanisme yang simpel, yaitu keputusan di tangan khalifah,
maka tidak akan terjadi pembahasan APBN yang bertele-tele, dan
melelahkan. Karena semua keputusan ada di tangan khalifah. Bahkan,
majelis umat pun tidak diberi hak untuk membahas untuk mencampuri
masalah APBN ini, karena ini bukan wilayah yang harus dibahas dengan
mereka. Jika pun memberi pandangan, maka pandangan mereka tidak memiliki
kekuatan hukum, karena pendapat mereka dalam hal ini tidak bersifat
mengikat.
Ketika APBN Membengkak
Dengan mekanisme seperti ini, negara tidak akan mengalami masalah,
baik ketika APBN normal ataupun membengkak. Karena ketika APBN
membengkak pun, dengan mudah khalifah langsung membuat keputusan, tidak
perlu menunggu majelis umat. Sebab, masalah membengkaknya anggaran ini
hanya terkait dengan besarannya, yang nota bene merupakan derivasi dari hukum-hukum pokok yang terkait dengan APBN tadi.
Masalah timbul, ketika pendapatan APBN tersebut tidak bisa menutupi
besaran belanjanya. Dalam kondisi seperti ini, khalifah mengambil
sejumlah langkah yang memang dibenarkan oleh syara’, di antaranya dengan
mengambil pajak dari kaum Muslim, laki-laki dan dewasa. Ini
dialokasikan untuk:
- Menutupi kebutuhan fakir, miskin, ibn sabil dan jihad fi sabilillah;
- Menutupi kebutuhan yang merupakan kompensasi, seperti gaji PNS, tentara, dan para hukkam (Khalifah, Mu’awin Tafwidh dan Wali);
- Menutupi kebutuhan Baitul Mal untuk kemaslahatan publik yang bersifat vital, seperti jalan raya, penggalian sumber air, pembangunan masjid, sekolah dan rumah sakit;
- Menutupi kebutuhan Baitul Mal karena kondisi darurat, seperti untuk mengatasi paceklik, angin taufan dan gempa bumi;
Pajak yang diambil oleh negara khilafah dalam hal ini bersifat
darurat, yang hanya boleh diambil sebatas untuk menutupi kebutuhan di
atas. Tidak lebih. Hanya saja, selain opsi pengambilan pajak ini, negara
khilafah juga dibenarkan untuk mencari dana talangan (pinjaman), jika
kondisinya sangat kritis.
Kebolehan mencari dana talangan (pinjaman), karena kondisi darurat,
dan dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kerusakan tersebut
dialokasikan untuk menutupi beberapa kebutuhan, antara lain:
- Kebutuhan fakir, miskin, ibn sabil, jihad fi sabilillah;
- Kebutuhan yang merupakan kompensasi, seperti gaji PNS, tentara, dan para hukkam (Khalifah, Mu’awin Tafwidh dan Wali);
- Kebutuhan karena kondisi darurat, seperti untuk mengatasi paceklik, angin taufan dan gempa bumi;
Dalam berbagai kondisi yang disebutkan di atas, khalifah sebenarnya
bisa langsung mengambil keputusan tanpa harus menunggu pertimbangan atau
pandangan pihak lain. Hanya saja, terkait dengan kondisi darurat yang
dikhawatirkan bisa memicu kerusakan, di mana khalifah diperbolehkan
untuk mencari dana talangan, ketika cadangan dana di Baitul Mal kosong,
maka dia bisa meminta pertimbangan pakar (ahl al-khibrah). Khususnya terkait dengan penentuan, apakah suatu kondisi bisa dikategorikan gawat (darurat) atau tidak.
Kesimpulan
Mekanisme penyusunan APBN dalam negara khilafah di
atas telah membuktikan keunikan sistem Islam. Tidak hanya itu, ini
sekaligus menjawab problem sistemik yang tidak bisa diselesaikan oleh
sistem pemerintahan dan ekonomi kapitalis. Pada saat yang sama, sistem
Islam juga memberikan jaminan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan
di dalam negara. Pada saat yang sama, seluruh kebutuhan rakyat,
fasilitas umum dan vital terjamin dengan baik.
Ancaman Government Shudown sebagaimana yang sering terjadi
di AS, atau percaloan dan kongkalikong anggaran tidak akan terjadi dalam
sistem khilafah. Bukan hanya itu, keputusan dan pemenuhan kebutuhan
yang bersumber dari APBN ini pun bisa dilakukan dengan cepat dan tepat,
karena keputusannya hanya di tangan satu orang, yaitu khalifah. Selain
itu, ketentuan hukum yang mengatur keputusan tersebut juga sudah ada,
yaitu hukum-hukum syara’ tentang APBN ini. Dengan begitu, seluruh
problem genetik dan bawaan dalam sistem kapitalis ini tidak akan ada
dalam sistem khilafah. [Hafidz Abdurrahman]
Sumber: mediaumat Edisi 114
Posting Komentar untuk "Sistem Penganggaran dalam Negara Khilafah"