Penerapan Islam Secara Bertahap, Bolehkah?
Banyak pembicaraan tentang tadarruj (penerapan Islam secara bertahap), apa yang boleh dan yang tidak. Namun, di sini saya akan membahas dua aspek saja:
- Menyangkut aspek syar’i-tidaknya ide tadarruj (pentahapan) dalam penerapan hukum-hukum Islam atau sebagiannya;
- Menyangkut salah satu justifikasi tadarruj, yaitu umat belum siap untuk berhukum dengan Islam.
Pertama: menyangkut aspek syar’i-tidaknya ide tadarruj dalam penerapan hukum-hukum Islam atau sebagiannya. Dalam hal ini, ada
perbedaan antara pentahapan turunnya hukum-hukum Islam dengan pentahapan
dalam penerapannya yang menjadi topik bahasan ini.
Memang benar, al-Quran tidak diturunkan
sekaligus. Namun, keterikatan dengan hukum yang diturunkan adalah
segera, tanpa bertahap. Bukti-bukti hal ini banyak sekali. Hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari tentang perubahan arah kiblat,
misalnya. Dikisahkan, seorang laki-laki di antara mereka yang telah
shalat bersama Rasulullah saw. melewati orang-orang di masjid yang
sedang rukuk. Lalu laki-laki itu berkata, “Aku bersaksi dengan nama Allah, sungguh aku telah shalat bersama Rasulullah saw. dengan menghadap ke arah Makkah.” Mendengar itu, mereka pun berputar (menghadap Ka’bah), padahal sebelumnya mereka menghadap Baital Maqdis.
Contoh lain: Respon Umar bin al-Khaththab yang segera memenuhi perintah meninggalkan khamr ketika ia mendengar firman Allah SWT:
فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
Berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu)! (QS al-Maidah [5]: 91).
Tadarruj dalam menerapkan
hukum-hukum Islam atau sebagiannya bermakna menerapkan sebagian
hukum-hukum kufur sambil menunggu Islam bisa diterapkan secara sempurna.
Ini secara syar’i adalah haram. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS al-Maidah [5]: 44).
Dalam ayat lain dinyatakan:
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
…mereka itu adalah orang-orang yang zalim (QS al-Maidah [5]: 45).
فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
…mereka itu adalah orang-orang yang fasik (QS al-Maidah [5]: 47).
Allah SWT juga berfirman:
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Berhati-hatilah kamu terhadap mereka
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah
Allah turunkan kepada kamu (QS al-Maidah [5]: 49).
Rasulullah saw. juga bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, amalan itu tertolak (HR Muslim).
Sudah diketahui oleh semua bahwa
Rasulullah saw. tidak bertahap dalam menerapkan hukum-hukum Islam di
Madinah al-Munawwarah. Padahal di sana ada sejumlah besar orang-orang
munafik yang menampak-kan kemusliman mereka dan menyembunyikan kekafiran
mereka. Semua juga sudah tahu bahwa Khalifah Abu Bakar ra. tidak
bertahap dalam menerapkan Islam. Beliau tidak memberikan toleransi
(mendiamkan) kepada mereka yang menolak membayar zakat untuk tidak
membayar zakat. Semua juga sudah tahu bahwa para pembebas (fâtihîn)
pada masa Rasulullah saw. dan setelahnya tidak bertahap dalam
menerapkan Islam di negeri-negeri yang dibebaskan, seperti Syam atau
Mesir. Di negeri-negeri itu mereka tidak mengizinkan khamr dan riba,
misalnya, meski penduduknya baru saja masuk Islam.
Tidak bisa dikatakan bahwa boleh
menerapkan hukum kufur dengan dalil apa yang pernah dilakukan oleh Nabi
Yusuf as. dengan anggapan: syar’u man qablana syar’[un] lana (syariah orang sebelum kita adalah syariah kita juga).
Tidak bisa dikatakan demikian sebab Nabi Yusuf as. adalah nabi yang ma’shum (terjaga dari salah) sehingga mustahil ia berhukum dengan hukum kufur, terutama Allah SWT berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS al-An’am [6]: 57).
Bagaimana dengan syar’u man qablana (syariah orang sebelum kita)? Para ulama ushul menetapkan suatu kaidah, “Syar’u man qablana syar’[un] lana ma lam yukhalif syar’ana (Syariah kaum sebelum kita adalah syariah bagi kita juga selama tidak menyalahi syariah kita).”
Padahal tidak sedikit ayat dan hadis
yang menjelaskan kewajiban berhukum dengan Islam dan keharaman berhukum
dengan selain yang Allah turunkan, atau berhukum kepada thaghut
(selain Allah). Dengan demikian kaidah ini tidak dapat diterapkan
sekalipun seandainya diterima bahwa syariah sebelum kita membolehkan
berhukum pada hukum kufur.
Adapun apa yang diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, misalnya, bahwa ia pernah berkata kepada putranya, “Jangan
tergesa-gesa, putraku. Sesungguhnya Allah mencela khamr dua kali dalam
al-Quran. Allah baru mengharamkan khamr pada yang ketiga kalinya. Aku
khawatir bahwa aku membebani masyarakat dengan kebenaran sekaligus, lalu
mereka akan menolaknya sekaligus, sehingga itu termasuk tindakan yang
menyebabkan fitnah.”
Riwayat ini tidak boleh dijadikan dalil tentang tadarruj (pentahapan) dalam penerapan hukum-hukum Islam. Hal itu karena sejumlah alasan berikut:
Sesungguhnya hukum-hukum syariah itu
diambil dari nas-nas syariah (al-Quran dan as-Sunnah), tidak diambil
dari riwayat-riwayat sejarah.
Riwayat itu berbicara tentang
kehati-hatian dalam menolak kezaliman dan memberikan hak-hak, bukan
dalam menerapkan Islam, sebab saat itu Islam pada asalnya diterapkan.
Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa hukum sebelum Umar bin Abdul
Aziz tidak islami sehingga dapat kita katakan bahwa Umar bin Abdul Aziz
telah bertahap dalam menerapkan Islam.
Sesungguhnya riwayat tersebut tidak memiliki sanad (sandaran). Riwayat itu statusnya sama dengan dongeng-dongeng dan cerita-cerita yang lainnya.
Sebaliknya, ada riwayat lain yang justru
kontradiksi dengan riwayat di atas, yang mengatakan bahwa Umar bin
Abdul Aziz ingin merespon beberapa kezaliman setelah Ashar. Waktu itu
adalah saat tidur siang (setelah zuhur). Melihat itu, putranya berkata,
“Apakah Anda bisa menjamin bahwa Anda akan hidup hingga Ashar.”
Kedua: menyangkut tidak adanya
kesiapan umat untuk berhukum dengan Islam. Jika masalahnya adalah
ketidaktahuan umat terhadap beberapa hukum Islam, cara terbaik untuk
membuat rakyat memahami Islam adalah menerapkan Islam secara praktis
atas mereka, sehingga mereka merasakannya dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Namun, jika masalahnya adalah ketidakrelaan umat untuk
diperintah (dihukumi) dengan Islam, maka penerapan Islam tidak
didasarkan pada kerelaan umat, tetapi harus dalam rangka menjalankan
perintah Allah semata. Hal ini seperti seseorang yang menaati kedua
orangtuanya sebagai pelaksanaan perintah Allah dan orang yang menaati
kedua orangtuanya karena menjalankan perintah gurunya di sekolah,
syaikhnya di masjid, atau temannya di lingkungan, misalnya. Adapun jika
masalahnya adalah masalah kesiapan umat untuk dihukumi dengan Islam,
maka umat ini telah diserupakan oleh Rasulullah saw. dengan air hujan;
tidak diketahui yang baik itu awalnya atau akhirnya. Beliau melarang
kita melabeli umat dengan sifat negatif, sebagaimana sabdanya:
مَنْ قَالَ: هَلَكَ النَّاسُ، فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ
Siapa saja yang berkata, “Celakalah masyarakat,” sungguh ia telah mencelakakan mereka (HR Muslim).
Umat yang digambarkan oleh Rasulullah
saw. itu saat ini telah siap untuk dihukumi dengan hukum-hukum Islam.
Bukti-bukti untuk itu banyak sekali.
Misal: Kemenangan yang diraih kelompok
islamis pada Pemilu yang berlangsung di negeri-negeri Muslim (Turki,
Mesir, Tunisia, Maroko, dan bahkan Jalur Gaza).
Sesungguhnya umat Islam secara umum
telah meninggalkan ide-ide sosialisme, komunisme, nasionalisme,
nasherisme dan lain-lain. Islam telah menjadi pusat perhatian mereka.
Contoh lain: Kaum Muslim di Uzbekistan,
Irak, Suriah dan Tunisia, misalnya, berpegang teguh dengan Islam mereka
meskipun mereka diperintah secara represif dan tiranik selama puluhan
tahun untuk menjauhkan mereka dari agama mereka.
Contoh lainnya lagi: Keluarnya jutaan
orang ke jalan untuk memberi dukungan terhadap syariah, seperti di Mesir
dan Tunisia; kegagalan aksi sejuta orang untuk mendukung negara sipil,
sebaliknya rakyat Mesir justru memboikot aksi tersebut.
Contoh lainnya lagi: Masyarakat berlomba
menjemput syahid, seperti di Suriah, Libya dan lain-lainnya; keluarnya
masyarakat ke jalanan dengan yel-yel yang begitu menggugah, “Ke Surga Kita Akan Pergi Bersama Jutaan Orang-orang syahid”, aksi Jumat, “Allah Bersama Kita”, dan aksi Jumat “Kami Tidak Akan Rukuk (Tunduk) kecuali kepada Allah”, seperti yang berlangsung di Suriah.
Begitu pula keluarnya masyarakat dalam banyak aksi longmarch di sejumlah negeri-negeri Muslim. Mereka mengatakan kepada penguasa, “Hai tiran!” Padahal sebelumnya mereka diam selama beberapa dekade.
Demikian pula penerbitan sejumlah laporan, seperti laporan yang dikutip oleh situs Islam Online, yang ditulis oleh Nashr Farid bahwa sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Lembaga Amerika “Gallup”
menunjukkan bahwa lebih dari 90% rakyat Mesir mendukung pemberlakuan
syariah Islam, dan sekitar dua pertiga dari rakyat Mesir menuntut agar
syariah Islam dijadikan satu-satunya sumber legislasi. Begitu juga
laporan Universitas Maryland yang menjelaskan bahwa kaum Muslimin di
Pakistan, Indonesia, Maroko dan Mesir mendukung pemberlakuan syariah
Islam. Pertanyaan yang dilontarkan dalam pembuatan laporan itu sangat
jelas: “Apakah Anda lebih memilih untuk tinggal di negara Khilafah yang menerapkan syariah atau di dalam sistem demokrasi?”
Jawabannya: Mereka yang lebih memilih
untuk tinggal di negara Khilafah yang menerapkan syariah adalah 76% dari
rakyat Maroko, 74% dari rakyat Mesir, 79% dari rakyat Pakistan dan 53%
dari rakyat Indonesia.
Lalu bagaimana setelah semua itu, kita masih mengatakan bahwa umat Islam tidak siap untuk dihukumi dengan Islam?!
Perilaku negatif dari sebagian kaum
Muslim, yang dianggap oleh sebagian orang menandakan ketidaksiapan umat
untuk dihukumi dengan Islam, sebagian besarnya adalah hasil dari sistem
sekarang yang diterapkan terhadap kita. Bayang-bayang itu tidak akan
tegak lurus jika tiangnya doyong. Karena itu apabila sistem ini
dihilangkan dan diganti dengan sistem Islam, pengaruhnya itu niscaya
lenyap pula.
Adapun apa yang kita lihat saat ini,
yaitu adanya revolusi tandingan, maka itu kembali pada tangan-tangan dan
alat-alat Barat yang ingin memalingkan para revolusi dari jalannya yang
benar, dan juga kembali pada kesadaran masyarakat bahwa Islam belum
sampai ke tampuk pemerintahan. Masyarakat telah memilih (kelompok
islamis) untuk menerapkan Islam, bukan agar mereka terus berjalan di
jalan revolusi mereka sehingga mereka terus meletakkan tangan di atas
tangan Amerika, mengambil utang dari alat-alat penjajahan, bergandengan
mesra dengan entitas Yahudi, dan lain-lainnya.
Siapa saja yang ingin menjadi bagian
dari pejuang yang berjuang untuk menegakkan Khilafah Rasyidah kedua yang
berjalan mengikuti manhaj Kenabian yang telah
dikabargembirakan oleh Rasulullah saw. tentu harus berada pada level
Khilafah ini sehingga ia harus meninggalkan ide tadarruj (pentahapan) dalam penerapan Islam. Ia harus beraktivitas dengan mengikuti thariqah
(metode) Rasulullah saw. dalam membangun negara, yaitu dengan terus dan
terus mematangkan opini umum berdasarkan Islam. Pada saat yang sama
mereka mengetuk pintu para pemilik kekuatan dan pengaruh (ahlu al-quwwah wa al-man’ah)
di kalangan para perwira militer, para ketua suku, dan lain-lainnya,
untuk menyatukan dakwah dengan kekuatan dan pengaruh sehingga negara pun
tegak. Pada saat itulah, negara akan memotong tangan-tangan Barat yang
tidak berguna, dan segera menerapkan Islam secara menyeluruh dan
revolusioner, agar seluruh dunia merasakan buah penerapan Islam dan
kebaikan pemeliharaannya. WalLahu a’lam bi ash shawab. [Diterjemahkan: Muhammad Bajuri. Sumber: Hizb-ut-tahrir.info, 31/10/2013].
Posting Komentar untuk "Penerapan Islam Secara Bertahap, Bolehkah?"