[Jawab Soal] Qawl Jadid Hizbut Tahrir
Soal:
Dalam Soal-Jawab yang telah
dipublikasikan sebelumnya, telah dinyatakan kebolehan saudara ipar
tinggal serumah dengan berpakaian mihnah, sementara dalam Kitab An-Nizham al-Ijtima’i yang terbaru tidak dibolehkan. Mana pendapat yang lebih rajih (kuat)?
Jawab:
Setelah kita membandingkan penjelasan dalam Soal-Jawab sebelumnya dengan penjelasan yang dituangkan dalam Kitab An-Nihzam al-Ijtima’i
yang terbaru, edisi Muktamadah, memang ada perbedaan. Namun, perlu
dicatat, keduanya sama-sama merupakan hukum syariah karena sama-sama
merupakan hasil ijtihad mujtahid. Keduanya juga sama-sama merupakan
pandangan Hizb pada zamannya.
Hanya saja, pendapat yang pertama merupakan qawl qadim
(pendapat lama), yang diadopsi pada zaman kepemimpinan amir Hizb yang
pertama, yaitu Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M). Ini
bisa dibuktikan pada tanggal dan tahun pengeluaran Nasyrah tersebut. Masing-masing adalah Nasyrah Soal-Jawab tanggal 30/5/1967 M, Nasyrah Soal-Jawab tanggal 14/9/1968 M, Nasyrah Soal-Jawab tanggal 19/11/1968, Nasyrah Soal-Jawab tanggal 11/5/1970 M, dan Nasyrah Soal-Jawab tanggal 8 Sya’ban 1388 H. Pendapat (qawl qadim)
ini tidak lagi diadopsi oleh Hizb pada zaman kepemimpinan amir
sekarang, yaitu Syaikh al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rusytah, sebagaimana yang
tertuang dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i, edisi Muktamadah.
Ini bukan hal baru dalam khazanah fikih
sebagaimana kita kenal pada era keemasan fikih Islam. Sebut saja,
Khalifah ‘Umar bin al-Khatthab (w. 23 H) dan Imam as-Syafii (w. 205 H)
juga mempunyai dua qawl (pendapat), yaitu qawl qadim dan qawl jadid.
Dua-duanya merupakan hukum syariah. Bahkan ketika orang yang telah
diputuskan oleh Khalifah ‘Umar dengan hukum yang berbeda menuntut
dianulir keputusannya, dengan tegas beliau menolak, seraya berkata: “Keputusan
itu sudah sesuai dengan apa yang telah kami putuskan sebelumnya dan
keputusan ini pun berdasarkan apa yang telah aku putuskan.” 1
Adapun pendapat Hizb sekarang (qawl jadid), sebagaimana yang dituangkan dalam An-Nizham al-Ijtima’i, edisi Muktamadah, adalah sebagai berikut:
Mengenai masalah pertama, yaitu
adanya beberapa saudara dan kerabat yang tinggal serumah antara satu
dengan yang lain, kemudian masing-masing wanitanya tampak kepada kaum
prianya dengan pakaian kerja sehingga tampak rambut, leher, lengan dan
pundaknya serta bagian lain yang biasa ditampakkan oleh pakaian kerja.
Aurat itu kemudian dilihat oleh saudara laki-laki suaminya, atau
kerabatnya yang notabene bukan mahram-nya; sebagaimana aurat itu juga dilihat oleh saudara laki-laki, ayah dan mahram wanita itu yang lainnya. Adapun saudara laki-laki suaminya adalah orang asing (bukan mahram)
bagi dia, sebagaimana laki-laki asing lainnya. Begitu juga, kerabat
satu dengan yang lain kadang saling mengunjungi, semisal anak-anak paman
dari ayah (‘am), anak-anak paman dari ibu (khal), dan sebagainya, yang notabene merupakan dzawi al-arham (kerabat yang mempunyai hubungan darah)2 yang bukan mahram, atau bukan dzawi al-arham
(kerabat yang tidak mempunyai hubungan darah secara langsung). Mereka
mengucapkan salam (tanda minta izin) kepada para wanita (di rumah), lalu
duduk bersama mereka, sementara wanita-wanita itu mengenakan pakaian
kerja. Tampak dari wanita-wanita itu lebih dari sekadar wajah dan kedua
telapak tangannya, seperti rambut, leher, lengan, pundak dan lainnya.
Mereka diperlakukan layaknya mahram.
Masalah ini telah menggejala dan
telah menjadi bencana bagi kaum Muslim, terutama di kota-kota. Banyak
yang mengira semuanya itu mubah. Padahal sejatinya yang mubah adalah
memandangnya, dan yang memandang itu adalah para mahram dan orang-orang yang mengikutinya, yang notabene tidak mempunyai hasrat kepada wanita (at-tabi’in ghayra uli al-irbah). Terhadap selain mereka, para wanita itu tetap haram untuk menampakkan selain wajah dan kedua telapak tangannya.
Penjelasan detailnya tentang itu
adalah, bahwa Allah SWT jelas telah mengharamkan kaum wanita secara
mutlak dipandang atau dinikmati. Lalu, keharaman menikmati itu
dikecualikan dari para suami. Kemudian keharaman memandang dikecualikan
dari orang-orang, termasuk mereka adalah paman-paman dari ayah (a’mam) dan ibu (akhwal).
Obyek kaum perempuan yang diharamkan bagi kaum pria pun dikecualikan,
yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Karena itu, menikmati atau
memandang dengan syahwat secara mutlak hukumnya haram, kecuali bagi
suami; dan memandang wajah dan kedua telapak tangan dengan pandangan
biasa (tanpa disertai syahwat) secara mutlak hukumnya mubah. Adapun
memandang lebih dari wajah dan kedua telapak tangan, secara mutlak
hukumnya haram, kecuali bagi para mahram yang telah disebutkan oleh
Allah, dan orang yang statusnya sama dengan mereka.
Sebelumnya telah dijelaskan hukum
syariah tentang kehidupan umum, sebagaimana yang dinyatakan dalam
beberapa teks. Adapun dalam kehidupan khusus, Allah telah membolehkan
kaum perempuan untuk menampakkan lebih dari wajah dan kedua telapak
tangannya, sebagaimana yang lazim ditampakkan saat bekerja. Allah SWT
berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki, dan orang-orang yang
belum balig di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali
(dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat Subuh, ketika kalian
menanggalkan pakaian (luar) kalian, di tengah hari dan sesudah shalat
Isya (TQS an-Nur [24]: 58).
Allah SWT memerintahkan anak-anak
yang belum balig dan budak untuk tidak memasuki rumah wanita tersebut
dalam tiga (waktu) tadi. Kemudian Allah membolehkan mereka untuk
memasukinya, selain dalam ketiga waktu ini. Sebabnya, Allah
melanjutkannya dengan firman-Nya (yang artinya): Itulah tiga aurat
bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian, tidak pula atas mereka, selain
dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kalian, sebagian kalian ada
keperluan kepada sebagian yang lain (TQS an-Nur [24]: 58).
Ini tegas menyatakan, bahwa selain
dalam ketiga keadaan (waktu aurat) ini, anak-anak dan budak perempuan
tersebut boleh memasuki rumah perempuan ini tanpa izin, yaitu ketika
perempuan tersebut berpakaian kerja. Dari sini bisa dipahami, bahwa
perempuan tersebut boleh tinggal di dalam rumahnya dengan pakaian kerja,
dan dalam pakaian kerja tersebut dia boleh menampakkan (apa yang lazim
dia tampakkan) kepada anak-anak dan budaknya. Karena itu, tidak
diragukan, bahwa perempuan tersebut boleh tinggal di dalam rumahnya
dengan pakaian kerja. Dia secara mutlak tidak berdosa. Dalam kondisi
seperti itu, dia boleh dipandang (aurat yang lazim ditampakkan pakaian
kerjanya) oleh anak-anak dan budaknya, dan dalam hal ini tidak ada
masalah. Dia tidak harus menutupi auratnya dari mereka. Mereka juga
tidak membutuhkan izin memasuki rumahnya. Sebabnya, ayat tersebut
menyatakan, kebolehan anak-anak dan budaknya masuk tanpa izin, kecuali
dalam tiga waktu aurat di atas.
Tidak boleh dikatakan, bahwa pembantu yang notabene orang merdeka bisa dianalogikan kepada budak, dengan ‘illat (alasan) bahwa mereka sama-sama “thawwafun” (mengitari kehidupan perempuan tersebut). Jelas tidak boleh dikatakan demikian, karena ‘illat ini merupakan ‘illat qashirah (terbatas), dengan bukti, bahwa anak-anak tadi setelah balig diwajibkan izin, padahal mereka “thawwafun”.
Adapun di luar mereka yang
dikecualikan dalam ayat tersebut, yaitu selain anak-anak dan budak
perempuan tersebut, maka Allah SWT telah menjelaskan hukum mereka dalam
kehidupan khusus. Ketika meminta mereka untuk minta izin (saat memasuki
rumahnya). Allah SWT berfirman (yang artinya): Wahai orang-orang
yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian
hingga kalian meminta izin (dari penghuninya) dan mengucapkan salam
kepada penghuninya (TQS an-Nur [24]: ).
Allah meminta kaum Muslim meminta izin (saat memasuki rumah) dan menyebutnya denga menggunakan kata “isti’nas” ketika ingin memasuki rumah orang lain. “Mafhum”-nya,
jika dia hendak memasuki rumahnya sendiri, maka tidak perlu meminta
izin. Sebab turunnya ayat ini adalah, ada seorang wanita Anshar,
berkata, “Ya Rasulullah, ketika aku di rumahku dalam satu keadaan yang
aku tidak ingin dilihat oleh siapapun, baik ayah maupun anakku,
tiba-tiba ayahku masuk ke rumahku. Selalu saja, laki-laki dari
keluargaku masuk ke rumahku, dan saya dalam keadaan seperti itu. Lalu,
apa yang harus saya lakukan?” Lalu turunlah ayat “isti’dzan” ini.
Jika sebab turunnya ayat tersebut dikaitkan dengan “manthuq” (makna tersurat) dan “mafhum”
(makna tersirat) ayat tersebut, maka tampak bahwa masalah dalam
kehidupan khusus itu bukanlah masalah menutup aurat atau tidak, tetapi
masalah penampilan dengan pakaian kerja, yang biasa dilakukan wanita.
Dalam kondisi seperti ini, yaitu kondisi berpakaian kerja, Allah tidak
memerintahkan wanita untuk tidak bekerja (dengan pakaian kerja), tetapi
Allah memerintahkan kaum pria meminta izin, agar para wanita itu bisa
menutup bagian yang lain, selain wajah dan kedua telapak tangannya,
terhadap bukan mahramnya, karena perintah meminta izin itu bisa
berkonotasi perintah untuk menutup aurat, dengan dalil sebab turunnya
ayat ini. Jika seseorang memasuki rumah wanita tersebut, maka dia harus
meminta izin, baik mahram atau bukan. Jadi, perintah meminta izin
mempunyai konotasi agar wanita tersebut menutup auratnya kepada pria
yang bukan mahram-nya.
Mengenai pria memandang wanita dalam
kondisi seperti ini merupakan masalah lain, yang terkait dengan hukum
memandang, baik dalam kehidupan khusus maupun yang lain. Allah SWT telah
mengharamkan pria yang bukan mahram untuk memandang selain wajah dan
kedua telapak tangan, dan membolehkannya bagi mahram. Allah pun
memerintahkannya untuk menundukkan pandangan terhadap bagian tubuh
wanita itu, selain wajah dan telapak tangan. Allah juga mentoleransi
pandangan mata yang tidak terbelalak (disertai syahwat). Tentang
keharaman memandang lebih dari wajah dan kedua telapak tangan sudah
jelas. Begitu juga kewajiban menundukkan pandangan lebih dari itu juga
sudah jelas dalam firman Allah SWT (yang artinya): Katakanlah kepada orang-orang Mukmin laki-laki agar mereka menundukkan pandangan mereka (TQS an-Nur [24]: 30).
Yang dimaksud di sini adalah
menundukkan pandangan terhadap selain wajah dan kedua telapak tangan,
dengan dalil, memandang keduanya dibolehkan. Dalam hadis al-Bukhari Said
bin Abi al-Hasan berkata kepada al-Hasan, bahwa kaum perempuan non-Arab
biasa menampakkan dada dan kepala mereka, maka berkata al-Hasan,
“Palingkan pandanganmu.” Dalam hadis larangan duduk di jalan, Nabi saw.
bersabda, “Tundukkan pandangan.” (HR Muttafaq ‘alaih). Artinya,
para wanita itu kadang membuka bagian yang lebih dari wajah dan kedua
telapak tangan, maka kalian wajib menundukkan pandangan, bukan tidak
boleh memandang. Jadi, ketika Allah mengharamkan memandang, sebenarnya
hanya mengharam-kan memandang lebih dari wajah dan telapak tangan; lebih
spesifik, pandangan yang disengaja (syahwat). Mengenai pandangan yang
tidak disengaja, maka hukumnya tidak haram. Allah juga tidak
memerintahkan agar meninggalkannya, tetapi hanya memerintah-kan
menundukkan pandangan. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hendaknya mereka menundukkan pandangan (TQS an-Nur [24]: 30).
Lafal “Min” berkonotasi “tab’idh” (sebagian), maksudnya, “Hendaknya mereka menundukkan sebagian dari pandangan mereka, atau sebagian penglihatan mereka.” “Mafhum”-nya, pandangan yang ditundukkan boleh, yaitu pandangan yang wajar, dan tidak disengaja (disertai syahwat).
Inilah qawl jadid (pendapat baru) Hizb sebagaimana yang diadopsi dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i.3 [hizbut-tahrir.or.id]
Catatan kaki :
- Lihat: al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum dan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, cet. VI, 1422 H/20o2 M, hlm. 191.
- Ibn Qudamah menjelaskan dzawi al-arham, yaitu kerabat yang tidak mempunyai bagian waris (fara’idh) maupun sisa (ashabah). Mereka berjumlah 11 orang, yaitu: (1) anak laki-laki anak perempuan/cucu laki-laki dari anak perempuan (walad al-banat); (2) keponakan laki-laki dari saudara perempuan (walad al-akhawat); (3) keponakan perempuan dari saudara laki-laki (banat al-ikhwah); (4) keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seibu (walad al-ikhwah min al-umm); (5) bibi dari semua arah (‘ammat); (6) saudara laki-laki ayah seibu (‘am min al-umm); (7) paman dari ibu (akhwal); (8) bibi dari ibu (khalat); (9) anak-anak perempuan paman dari ayah (banat al-a’mam); (10) kakek/bapaknya ibu (jadd abu al-umm); (11) semua nenek yang menurunkan satu ayah dari dua ibu (jaddah adlat bi abin bain ummain), atau menurunkan satu ayah ke atas. Mereka semuanya, dan keturunan mereka, disebut dzawi al-arham. Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, IX/82.
- Lihat, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, cet. IV, 1424 H/2003 M, hlm. 47-50.
Posting Komentar untuk "[Jawab Soal] Qawl Jadid Hizbut Tahrir"