Fasik

 
Pengantar

Fasik (al-fisq) berasal dari akar kata fasaqa-yafsiqu/yafsuqu-fisqan-fusûqan. Secara etimologis (bahasa), dalam ungkapan orang Arab, fasik (al-fisq) maknanya adalah keluar dari sesuatu (al-khurûj ‘an asy-syay’i)1 atau keluar (baca: menyimpang) dari perintah (al-khurûj ‘an al-amr). Dikatakan, misalnya, “Fasaqat ar-ruthbah (Kurma keluar),”— jika ia keluar dari kulitnya.” Dikatakan pula, misalnya, “Fasaqa Fulan mâlahu (Si Fulan mengeluarkan hartanya),”—jika ia menghabiskan atau membelanjakannya.2
Walhasil, secara etimologis (bahasa), fasik (al-fisq) maknanya adalah keluar (al-khurûj).

Sementara itu, secara terminologis (istilah), menurut al-Jurjani, orang fasik adalah orang yang menyaksikan tetapi tidak meyakini dan melaksanakan.3 Sedangkan al-Manzhur lebih lanjut menjelaskan bahwa fasik (al-fisq) bermakna maksiat, meninggalkan perintah Allah, dan menyimpang dari jalan yang benar. Fasik juga berarti menyimpang dari agama dan cenderung pada kemaksiatan; sebagaimana iblis melanggar (fasaqa) perintah Allah, yakni menyimpang dari ketaatan kepada-Nya. Allah Swt. berfirman:
]فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ[

Mereka kemudian berbuat fasik terhadap perintah Tuhannya. (QS al-Kahfi [18]: 50). 

Dalam ayat di atas, frasa berbuat fasik terhadap perintah Tuhannya artinya keluar dari ketaatan kepada-Nya.

Fasik juga berarti keluar dari kebenaran (al-khurûj ‘an al-haqq). Karena itu, fasik kadang-kadang berarti syirik dan kadang-kadang berarti berbuat dosa. Seseorang dikatakan fasik (fâsiq/fasîq) jika ia sering melanggar aturan/perintah. Fasik juga berarti keluar dari sikap istiqamah dan bermaksiat kepada Tuhan. Karena itu, seseorang yang gemar berbuat bermaksiat (al-‘âshî) disebut orang fasik.4

Makna Fasik dalam al-Quran

Di dalam al-Quran Allah Swt. menggunakan kata yang berasal dari akar kata fa-sa-qa sebanyak 54 kali di 24 ayatnya. Di antaranya adalah dalam surat al-Baqarah (5 kali); Ali ‘Imran (2 kali); al-Maidah (8 kali); an-’An’am (3 kali); al’A’raf (4 kali); at-Taubah (7 kali); dan beberapa kali dalam beberapa ayat yang lain lagi.

Dalam surat al-Baqarah, misalnya, Allah Swt. berfirman:

]إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلاً مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللهُ بِهَذَا مَثَلاً يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلاَّ الْفَاسِقِينَ[

Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Akan tetapi, mereka yang kafir mengatakan, “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan dengan perumpamaan itu pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (QS al-Baqarah [2]: 26). 

Menurut Imam al-Qurthubi, para mufasir tidak berbeda pendapat mengenai kenyataan bahwa frasa wa mâ yudhillu bihi illâ al-fâsiqîn merupakan pernyataan Allah yang dinisbatkan kepada mereka karena kefasikan yang mereka perbuat. Pengertian kalimat di atas kira-kira, “Tidak ada seorang pun yang disesatkan dengan perumpamaan itu kecuali orang-orang fasik.” Orang-orang seperti ini, sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu-Nya, tidaklah akan mendapatkan petunjuk-Nya.

Menurut, al-Qurthubi pula, Ibn al-A’rabi menyangka bahwa kata fasik belum pernah terdengar sebelumnya dalam percakapan orang-orang Arab Jahiliah maupun dalam syair-syair mereka. Ini adalah aneh, karena fasik merupakan istilah orang Arab, sebagaimana dituturkan oleh Ibn Faris dan al-Jauhari. Ia menyatakan bahwa Abu Bakar al-Anbari dalam kitabnya, az-Zâhir, telah menyinggung istilah fasik ketika membicarakan pengertiannya seraya mengutip ucapan seorang penyair Arab Jahiliah.

Lebih jauh al-Qurthubi menjelaskan bahwa al-fasîq (orang fasik) adalah orang yang berbuat kemaksiatan secara terus-menerus. Dalam penggunaan istilah syariat, fasik bermakna keluar dari ketataan kepada Allah; boleh jadi kafir dan boleh jadi pula sekadar berbuat maksiat.5

Sementara itu, menurut Ibn Katsir, berkaitan dengan ayat di atas, as-Sadi di dalam tafsirnya menyatakan bahwa orang-orang fasik yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang munafik. Demikian juga yang dikatakan oleh Abu al-Aliyah, ar-Rabi’ bin Anas, Ibn Jarir, dan Mujahid yang bersumber dari Ibn Abbas. Orang-orang fasik tersebut bertambah kesesatannya karena pendustaan mereka terhadap perumpamaan yang dibuat Allah, yang telah mereka ketahui secara nyata dan meyakinkan.

Lebih jauh, Ibn Katsir menjelaskan bahwa orang fasik mencakup orang kafir maupun orang yang gemar bermaksiat. Akan tetapi, kefasikan orang kafir jauh lebih buruk. Kefasikan yang dimaksud oleh ayat di atas adalah kefasikan orang-orang kafir. Sebab, pada ayat selanjutnya Allah menyifati mereka dengan firman-Nya:

]الَّذِيْنَ يَنْقُضُوْنَ عَهْدَ اللهِ مِنْ بَعْدِ مِيْثَاقِهِ وَيَقْطَعُوْنَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوْصَلَ[

(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah setelah perjanjian itu teguh serta memutuskan apa yang telah diperintahkan Allah untuk menghubungkannya. (QS al-Baqarah [2]: 27).
Sifat-sifat di atas adalah sifat-sifat orang kafir yang berlawanan dengan sifat-sifat orang Mukmin.6

Sementara itu, ath-Thabari menyatakan bahwa orang-orang fasik yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang munafik. Karena itu, munafik dan kafir keduanya adalah orang-orang fasik. Mereka semuanya adalah orang-orang yang keluar/menyimpang dari ketaatan kepada Allah dan tidak mengikuti perintah-Nya.7

Di tempat lain, berkaitan dengan imamah/khilafah, Imam al-Qurthubi menyebutkan bahwa para ulama menetapkan bahwa salah satu syarat seorang imam/khalifah adalah adil. Artinya, akad imamah/khilafah tidak boleh diberikan kepada seorang imam/khalifah yang fasik. Apabila seorang imam/khalifah telah dibaiat, kemudian dalam perjalanan kepemimpinannya dia berbuat fasik, jumhur ulama menyatakan bahwa jabatan imamahnya bisa gugur karena kefasikannya yang nyata dan dikenal luas. Sebab, sudah merupakan ketentuan bahwa seorang imam/khalifah diangkat demi melaksanakan hudûd, memenuhi hak rakyat, menjaga harta anak-anak yatim dan orang-orang yang tidak waras alias gila, serta memperhatikan berbagai urusan rakyatnya.8

Di sini berarti, secara syar‘î, fasik adalah lawan dari adil. Namun demikian, mengutip Abu Hanifah, al-Qurthubi menyatakan bahwa setiap Muslim yang betul-betul menampakkan keislamannya dan bebas dari perbuatan fasik secara zahir adalah adil. Syuraih, Utsman al-Buti, dan Abu Tsaur juga menyatakan bahwa semua Muslim (yang betul-betul dalam kesilamannya, pen.) pada dasarnya adalah adil meskipun mereka seorang hamba sahaya sekalipun.9

Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman:

]حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأَْزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ[
Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas—kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan yang disembelih untuk berhala; diharamkan juga mengundi nasib dengan anak panah. Semua itu adalah kefasikan. (QS al-Maidah [5]: 3).

Menurut al-Qurthubi, fasik dalam ayat di atas berarti keluar dari yang halal menuju yang haram.10

Allah juga Swt. berfirman:

]وَاتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوا وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ[

Bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang berbuat fasik. (QS al-Maidah [5]: 108).

Fasik dalam ayat di atas berarti keluar dari ketaan kepada Allah menuju kemaksiatan kepada-Nya.11

Senada dengan al-Qurthubi, Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Ha’im al-Mishri menyatakan bahwa orang-orang fasik adalah orang-orang yang keluar/menyimpang dari perintah Allah. Artinya, setiap orang yang menyimpang dari perintah Allah adalah fasik. Kefasikan terbesar adalah menyekutukan Allah (syirik) dan segala hal yang mendorong pada berbagai perbuatan maksiat. Fasik juga berarti menyimpang dari kebenaran.12 Wallâhu a‘lam. Wamâ tawfîqî illâ billâh. [Al-wa'ie]

Catatan kaki:
  1. Imam al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, 1/246.
  2. Muhammad bin Mukrin bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, t.t., Lisân al-‘Arab, 10/38. Beirut: Dar ash-Shadir. 
  3. ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Jurjani, t.t. At-Ta’rîfât. I/211. Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi. 
  4. Ibn Manzhur, t.t., Lisân al-‘Arab, op.cit. 
  5. Al-Qurthubi, op.cit., I/245-246. Lihat juga: Muhammad bin Muhammad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, as-Suyuthi, t.t. Tafsîr al-Jalâlayn, 1/7. cet. ke-1. Kairo: Dar al-Hadits. 
  6. Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar ibn Katsir ad-Dimasyqi, 1410 H, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, I/66. Beirut: Dar al-Fikr. 
  7. Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid ath-Thabari, 1405 H. Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl ay al-Qur’ân, I/182. Beirut: Darul Fikr). 
  8. Al-Qurthubi, ibid., I/270-271. 
  9. Al-Qurthubi, ibid., 3/395. 
  10. Al-Qurthubi, ibid., 6/60. 
  11. Al-Qurthubi, ibid., 6/360. 
  12. Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Ha’im al-Mishri, 1992. At-Tibyân fî Tafsîr Gharîb al-Qur’ân, I/71-72, cet. ke-1. Kairo: Dar ash-Shahabah li at-Turats.

Posting Komentar untuk "Fasik"