Bedah Qaidah Ahwanu Al-Syarrain (قاعدة أهون الشرين)
Sebagian ulama dan intelektual muslim ada yang melegalisasi beberapa aktifitas yang diharamkan. Baik untuk dirinya atau untuk orang lain dengan menggunakan Qaidah Ahwanusy syarroini (أهون الشرين) yaitu: melakukan yang paling ringan dari dua perkara yang buruk, Aqalu al-dhararain (أقل الضررين): yaitu melakukan yang paling sedikit bahayanya dari dua perkara yang berbahaya, Akhafu al-mafsadatain (أخف المفسدتين),yaitu melakukan yang paling ringan dari dua perkara yang merusak, atau Dar’ul mafsadat al akbar bil mafsadat al ashghar (درء المفسدة الأكبر بالمفسدة الأصغر),yaitu
menangkal kerusakan yang paling besar dengan melakukan kerusakan yang
paling kecil (Qaidah-Qaidah tersebut maknanya sama). Contohnya:
- membolehkan lokalisasi zina dan judi dengan alasan jika tidak dilokalisasi akan menimbulkan bahaya yang lebih besar yaitu menyebarluasnya perzinaan dan perjudiaan di tengah masyarakat.
- Membolehkan ada di parlemen atau memilih pemimpin/wakil rakyat muslim yang sekuler dengan alasan jika itu tidak dilakukan akan munccul bahaya yang lebih besar yaitu kepemimpinan dan parlemen akan dikuasai oleh non muslim.
Apa makna yang sebenarnya dari Qaidah tersebut dan bagaimana menerapkannya? Tulisan ini akan membahas hakikat makna syar’iy dari Qaidah tersebut.
Ulama
yang mengambil Qaidah ini telah memahami batasan-batasan dan
objek-objek pengamalannya. Karena itu Qaidah ini tidak bisa dijadikan
seolah-olah secara mutlak selalu syar’iy untuk diterapkan
atau diamalkan tanpa terikat dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan. Kemudian Qaidah ini dijadikan sebagai legalisasi terhadap
beberapa perkara yang diharamkan untuk menipu kaum muslimin.
Qaidah
syar’iyah bukan nash syara melainkan hanya sebatas hukum syara. Karena
Qaidah ini redaksinya dibuat oleh manusia yaitu ahli fiqh atau mujtahid.
Nash syara itu hanya ada dua yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. Namun akan
sangat tepat hukum syara ini jika disebut dengan istillah dengan Qaidah
Syariyyah (Syekh Atho Bin Khlail : Taisiril Wushul Ila Al-Ushul hal 48)
bukan hukum syara. Karena pada faktanya Qaidah ini selain merupakan
hukum syara juga bersifat umum dan global, bisa ditujukan pada
bagian-bagiannya(juz/afrad) yang tercakup oleh lafadznya yang umum atau
mutlak.
Berdasarkan
hal ini apabila terjadi perbedaan pendapat tentang Qaidah ini atau
tentang penerapannya maka wajib merujuk kepada sumbernya yaitu nash-nash
syara. Nash syara inilah yang akan menjelaskan maknanya, batasan
penerapannya, objek-objeknya dan pengecualiannya.
Qaidah
ini -dengan redaksi yang berbeda-beda- menurut ulama yang mengadopsinya
dikembalikan kepada satu makna yaitu kebolehan melakukan salah satu
dari dua perkara yang diharamkan atau melaksanakan yang lebih sedikit
keharamannya. Namun tidak mutlak begitu saja melainkan dibatasi dengan
kondisi jika kita tidak bisa menghindari kecuali melakukan salah
satunya. Kita tidak mungkin meninggalkan kedua-duanya secara bersamaan.
Karena sangat sulit dan di luar batas kemampuan kita. Atau pada kondisi
dimana kita bisa menghindari dua perkara yang diharamkan itu tetapi jika
kita menghindari keduanya maka akan terjadi keharaman yang lebih besar
lagi. Itulah syarat/batasan pengamalan Qaidah ini.
Adapun yang menjadi landasan Qaidah ini adalah sesuatu yang telah diketahui dengan gamblang dari agama (معلوم من الدين بالضرورة)
ini yaitu perkara yang diharamkan harus ditinggalkan dan perkara yang
diwajibkan harus dilaksanakan. Jika perkara yang diharamkan itu banyak
maka semuanya harus ditinggalkan. Begitu juga jika perkara yang
diwajibkan itu banyak maka semuanya harus dilaksanakan. Hal ini juga
berlaku pada perkara yang dimakruhkan atau perkara yang disunnahkan
dengan tetap membedakan bahwa yang makruh tidak bisa diharamkan dan
sunnah tidak bisa diwajibkan.
Para ulama hanya membolehkan melakukan “yang
paling ringan dari dua perkara yang diharamkan padahal statusnya tetap
haram atau membolehkan melakukan yang paling ringan dari dua perkara
yang dimakruhkan padahal statusnya makruh, atau mengambil yang lebih
ringan dari dua perkara yang buruk, merusak, atau berbahaya(akhaful
mafsadatain)” pada kondisi jika tidak mungkin meninggalakan dua
perkara yang diharamkan itu secara bersamaan atau pada kondisi jika
dengan meninggalkan kedua-duanya akan menimbulkan kerusakan yang lebih
besar.
Allah berfirman:
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
“Manusia tidak dibebani kecuali sesuai dengan batas kemampuannya” (QS. Al-Baqarah: 286).
إتقوا الله مااستطعتم
“Bertaqwalah kepada Allah sebatas kemampuan kalian” (QS. At-Taghabun: 16).
Dari nash-nash tersebut jelaslah makna Qaidah “أهون الشرين ”
dan bagaimana cara menerapkannya. Berdasarkan dua ayat di atas, juga
bisa disimpulkan keharusan melakukan yang lebih wajib meski berakibat
ditinggalkannya kewajiban lain yang lebih ringan, jika dua kewajiban
tersebut tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Dengan kata lain kita
harus melakukan kemaslahatan yang lebih besar dengan meninggalkan
kemaslahatan yang lebih kecil.
Berkaitan
dengan permasalahan ini kita perlu memperhatikan bahwa maslahat dan
mafsadat bukan berarti manfaat dan bahaya menurut perasaan manusia
melainkan maslahat dan mafsadat yang sesuai dengan perintah atau
larangan Allah. Imam Gazali pernah berkata: “Kemaslahatan menurut
asalnya adalah manfaat dan bahaya menurut selera dan perasaan. Namun
yang dimaksud di sini bukan itu, karena mengambil manfaat dan menolak
mafsadat seperti itu adalah tujuan manusia dan kemaslahatan manusia
untuk menghasilkan tujuan-tujuan mereka. Yang dimaksud dengan maslahat
yang sebenarnya adalah menjaga tujuan-tujuan syariat yaitu menjaga
agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta.
Berdasarkan penjelasan di atas menggunakan Qaidah “أهون الشرين ”
untuk menfatwakan kebolehan melakukkan perkara yang diharamkan bukan
pada kondisi-kondisi yang telah disebutkan tadi adalah fatwa yang
bertentangan dengan wahyu yang tidak pernah dikatakan oleh para ulama
yang jujur.
من أفتى بغير علم لعنته ملائكة السماء والأرض
Siapa yang memberikan fatwa tanpa ilmu maka ia akan dilaknat oleh malaikat langit dan bumi(hadits hasan ditakhrij oleh Asy Suyuti dalam kitab Al Jamiush shagir).
Karena itu pendapat yang mengatakan (tentang pemilu) “pilihlah si A meski sekuler, kafir, fasik dan jangan pilih si B, karena si A mendukung kita dan Si B tidak mendukung kita”
atau perkataan sejenisnya adalah perkataan yang tertolak secara syar’i,
siapa pun yang mengatakannya. Yang harus dikatakan dalam maslah ini
adalah dua pilihan yang dilontarkan kepada kita itu, kedua-duanya adalah
perkara yang diharamkan. Karena kita tidak boleh memilih orang yang
sekular dan menjadikannya sebagai wakil bagi kaum muslim dalam
menyampaikan pendapat. Karena ia tidak terikat dengan Islam dan karena
ia melakukan perkara-perkara yang diharamkan yang tidak boleh dilakukan
oleh orang yang mewakilkan, seperti membuat hukum (at-tasyri; legislasi),
menyetujui program-program yang diharamkan dan menuntut, menerima dan
melakukan perkara yang diharamkan. Dengan kata lain orang yang sekuler
akan melarang yang ma’ruf dan memerintahkan kemungkaran. Maka kita tidak
boleh memilih kedua-duanya. Karena memilih si A atau memilih si B sama
saja haramnya. Dan karena tidak memilih si A atau si B ada dalam batas
kemampuan kita.
Dalam
permasalahan ini tidak bisa dikatakan: apabila kita tidak memilih atau
tidak mendukung si A atau si B maka nanti akan terpilih orang yang tidak
berpihak kepada kita, yang akan menimbulkan bahaya lebih besar lagi.
Sebagaimana kita tidak boleh mengatakan apabila kita tidak membuka kedai
tempat minum khamr dan memanfaatkannya maka kedai itu akan dibuka oleh
orang lain yang tidak berfihak kepada kita. Yang harus kita dilakukan
dalam maslah ini adalah meninggalkan dua perkara yang diharamkan itu dan
mengajak orang lain untuk meninggalkannya.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ
إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu
akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk[453]. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 105)
Imam
At Tirmidzi dalam kitab shahihnya, Imam An Nasa’i dan Imam Ibnu Majah
telah meriwayatkan dari Qais bin Abi Hazim bahwa Abu Bakar pernah
berkhutbah : wahay saudara-saudara kalian membaca ayat ini tapi
meletakan bukan pada tempatnya. Aku pernah mendangar bahwa Rasulullah
saw bersabda:
إن الناس إذا رأوا المنكر ولم يغيِّروه أوشك أن يعمهم الله بعقاب»
“jika manusia melihat kemungkaran tapi mereka tidak merubahnya maka Allah akan meliputi mereka dengan siksanya.
Berdasarkan
ayat dan hadits di atas maka dua perkara yang diharamkan harus
ditinggalkan dan kita harus mengajak orang lain untuk meninggalkannya.
Dalam kondisi seperti itu. Qaidah ” أهون الشرين ” tidak bisa diamalkan.
Sungguh
menggelikan jika ada orang yang mengatakan kalau kita tidak memilih
salah satunya berarti kita berdiam diri tidak melakukan apapun. Jawaban
atas perkataan seperti ini adalah: “jika anda diminta memilih dua
perkara yaitu melakukan yang diharamkan atau tidak melakukan
apapun-tidak ada pilihan ketiga yakni melakukan yang baik- maka yang
wajib anda lakukan adalah anda harus diam dan menjaga diri anda dari
melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain, anda harus menjaga
lisan anda dari merubah agama Allah. Bukankah Rasulullah pernah
bersabda: “siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah mengatakan kebaikan atau diam”.
Yang menjadi asal adalah anda harus berbuat sesuatu-tidak diam-. Anda
harus memerintahkan kepada yang baik mencegah dari yang mungkar dan
berusaha mewujudkan yang layak untuk dipilih atau berusaha untuk merubah
situasi secara menyeluruh. Karena yang wajib adalah anda tidak boleh
menghukumi atau dihukumi kecuali dengan Islam. Maka bangkitlah untuk
memperbaiki keadaan umat”.
Kondisi
yang dibolehkan oleh orang-orang yang salah dalam menerapkan Qaidah ini
sama seperti halnya ketika seseorang dihadapkan pada dua makanan. Yang
pertama adalah bangkai dan yang kedua adalah daging babi. Apakah makna
Qaidah “ahwanusy syaraini” -berkaitan dengan keadaan ini –
adalah ia harus mencari mana yang lebih ringan keharamannya dari dua
perkara itu, kemudian ia memakannya? Atau karena kedua-duanya adalah
perkara yang diharamkan maka harus ditinggalkan keduanya? Benar,
keduanya adalah haram. Yang harus ia lakukan adalah bersungguh-sungguh
mencari makanan yang dihalalkan atau bersabar tidak memakan keduanya
kecuali jika dengan tidak memakan salah satu dari keduanya(dan tidak ada
pilihan ketiga) ia akan sampai pada kondisi yang membahayakan(dharar).
Maka berlakulah Qaidah di atas.
- Jika ada seorang ibu yang sulit melahirkan dan dokter tidak bisa menyelamatkan ibu dan janin secara bersamaan, dan kondisinya mendesak harus ada keputusan yang cepat yaitu: menyelamatkan ibu tapi akan mengakibatkan kematian janin atau menyelamatkan janin tapi akan mengakibatkan kematian ibu. Jika kondisi itu dibiarkan akan mengakibatkan kematian kedua-duanya maka dalam kondisi ini Qaidah “ أهون الشرين “ harus diterapkan. Yaitu dengan cara menyelamatkan ibu meski berakibat pada kematian janin. Hal yang harus diperhatikan dalam hal ini bahwa menentukan perbuatan yang lebih ringan keharamannya tidak bisa merujuk kepada perasaan atau keinginan manusia (suami atau orang tua-nya) melainkan harus merujuk kepada ketentuan syariat. Karena syariat selain menjelaskan perkara yang halal dan haram , juga menjelaskan mana yang lebih ringan keharamannya.
- Jika kita melihat ada seorang yang diancam akan di bunuh, atau dianiaya atau ada seorang wanita yang akan diperkosa, dan kita mampu mampu mencegah kemunkaran tersebut namun di saat yang sama kita harus menunaikan shalat wajib yang hampir habis waktunya. Maka pada kondisi ini kita dihadapkan pada dua pilihan yaitu mencegah kemunkaran tapi akan mengakibatkan ditinggalkannya kewajiban atau melaksanakan kewajiban tapi berakibat terjadinya kemungkaran yang bisa kita cegah. Sementara waktu yang ada tidak memungkinkan kita untuk melakukan dua perkara itu secara bersamaan, maka pada kondisi ini kita harus mengamalkan Qaidah “ أهون الشرين “. Pertimbangan memilih mana yang lebih ringan bahayanya dalam hal ini juga harus merujuk kepada ketentuan syariat yang telah menetapkan bahwa menghilangkan keharaman seperti itu lebih utama daripada menunaikan kewajiban. Andai saja kita bisa melaksanakan dua kewajiban itu (kewajiban mencegah kemungkaran dan kewajiban shalat di akhir waktu) secara bersamaan maka kita harus melakukan keduanya. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita harus melakukan yang lebih wajib kemudian diam dari kewajiban yang lebih ringan, seperti memilih untuk melaksanakan kewajiban menegakkan khilafah namun meninggalkan kewajiban yang lebih ringan seperti taat kepada suami.
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa menentukan hukum mana yang lebih kuat dan mana
yang lebih ringan harus merujuk kepada ketentuan syariat.
Syariat
telah menetapkan menjaga dua nyawa lebih utama daripada menjaga salah
satunya. Menjaga tiga nyawa lebih utama daripada menjaga dua nyawa.
Menjaga nyawa harus didahulukan daripada menjaga harta. Menjaga darul
Islam yang termasuk ke dalam menjaga agama lebih utama dari menjaga
nyawa dan harta. Begitu juga jihad dan khilafah yang termasuk ke dalam
menjaga agama merupakan hal mendesak yang harus didahulukan dari yang
lainnya. Imam Asy- Syatibi berkata dalam al-Muwafaqat: Jiwa manusia
itu terhormat, harus dijaga, dan dituntut selamatkan. Sehingga jika ada
pilihan antara menyelamatkan jiwa dan mengorbankan harta untuk
memperahankannya atau antara mengorbankan jiwa dan menyelamatkan harta,
maka menyelamatkan jiwa lebih utama. Namun jika menyelamatkan jiwa
berlawanan dengan kematian (baca:kerusakan) agama maka menghidupkan
(menyelamatkan) agama lebih utama meski mengakibatkan kematian jiwa,
seperti jihad melawan kaum kafir atau membunuh orang murtad. Atau
seperti upaya menyelamatkan satu nyawa berlawanan dengan kematian orang
banyak.
Demikianlah hakikat dari Qaidah “ أهون الشرين “, dan bagiamana menerapkannya. Contoh-contoh lainnya bisa dibaca pada kitab-kitab Fiqh dan Ushul Fiqh.
Yang tidak boleh luput dari perhatian kita berkaitan dengan kaidah ini adalah bahwa yang menjadi pemicu menggunakan Qaidah “ أهون الشرين “
untuk melegalisi perbuatan yang diharamkan adalah ketidaktahuan
terhadap hakikat sebenarnya dari Qaidah ini. Selain itu, juga ada upaya
merubah hukum-hukum Islam dengan cara menerapkannya bukan pada
tempatnya. Kondisi inilah yang menjadi cobaan bagi umat secara umum dan
bagi kita secara khusus sebagai pengemban dakwah. Wallahu A’lam Bis Shawab. [Ustadz M. Yasin Muthahhar]
Posting Komentar untuk "Bedah Qaidah Ahwanu Al-Syarrain (قاعدة أهون الشرين)"