Political Outlook 2014: Indonesia Menuju ‘Negara Korporasi’
Tahun 2014 disebut-sebut sebagai tahun politik karena pada tahun ini
ada peristiwa politik penting yang bakal menentukan wajah Indonesia lima
tahun mendatang, yakni Pileg (pemilihan anggota legislatif) dan Pilpres
(pemilihan presiden). Tentu menarik untuk dikaji: siapa yang bakal
menjadi kampiun dalam kontes lima tahunan ini; kira-kira seperti apa
wajah perpolitikan Indonesia pada tahun 2014 ini; serta bagaimana
implikasi sosial-ekonomi-politik terhadap negeri Muslim terbesar di
dunia ini pada masa mendatang.
Negara Korporasi
Satu gejala paling menonjol yang tengah melanda partai politik di
Indonesia pada beberapa waktu terakhir ini adalah masuknya para
pengusaha di jajaran puncak pimpinan partai. Sebut saja, Hary Tanoe, Bos
MNC Grup, Wakil Ketua Umum Hanura; Rusdi Kirana, pemilik Lion Grup,
Wakil Ketua Umum PKB. Sebelumnya sudah ada Aburizal Bakrie, Bos Bakrie
Grup, Ketua Umum Golkar; Surya Paloh, Bos Grup Metro, Ketua Umum Partai
Nasdem; Prabowo yang juga memiliki jaringan usaha, Ketua Dewan Pembina
Partai Gerindra. Praktis tinggal PDIP, PBB, PPP, PKPI, PKS, PAN yang
tidak dipegang oleh pengusaha meski tidak berarti partai-partai itu
steril dari pengaruh para pengusaha.
Mengapa para pengusaha itu ramai-ramai masuk ke dunia politik? Sudah
bukan rahasia lagi, selama ini memang terdapat simbiosis mutualitistis
antara pengusaha dan penguasa. Pengusaha memerlukan dukungan politik
untuk kepentingan bisnisnya, sementara para politikus memerlukan
dukungan dana untuk membiayai kegiatan politik mereka, yang pada
galibnya didapat dari para pengusaha.
Namun, membangun pola simbiosis politikus-pengusaha seperti itu kini
dipandang tidak praktis. Prosesnya juga pasti berbelit-belit. Akan lebih
ringkas dan mantap jika kedudukan politik itu ada di tangan pengusaha
sekaligus, atau sebaliknya jaringan bisnis dimiliki oleh seorang
politikus. Dengan kata lain, akan lebih manjur bila pengusahanya adalah
seorang penguasa, atau penguasanya adalah seorang pengusaha. Tampaknya
inilah tren atau kecenderungan yang akan mewarnai peta perpolitikan
negeri ini pada masa mendatang.
Bila kelak hal itu benar terjadi, maka Indonesia tengah mengalami
transformasi menuju negara korporasi (corporation state). Apa itu negara
korporasi? Istilah negara korporasi muncul pertama kali dalam pertemuan
puncak mengenai lingkungan hidup beberapa tahun lalu di Argentina.
Dalam diskusi mengenai kerusakan lingkungan, didapat kenyataan bahwa
perusak lingkungan terbesar bukanlah rakyat atau kelompok masyarakat,
melainkan negara, yaitu negara yang digerakkan oleh kaum pebisnis. Demi
kepentingan bisnis, negara tak segan merusak lingkungan. Negara semacam
ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan negara korporasi.
Jadi, negara korporasi adalah negara yang dihela oleh persekutuan
antara kelompok politikus dan kelompok pengusaha. Dalam negara
korporasi, negara dijadikan sebagai intrumen atau kendaraan bisnis.
Keputusan-keputusan politik, karena itu, tidak sepenuhnya mengabdi pada
kepentingan rakyat, tetapi demi kepentingan bisnis.
Ketika AS menginvasi Irak, misalnya, sesungguhnya itu tidak berdasar
pada satu pun alasan rasional yang bisa diterima. Ketika para pejabat
keamanan AS mengatakan invasi diperlukan untuk menghancurkan senjata
pemusnah massal, faktanya Irak ketika itu tidak memiliki senjata yang
dimaksud. Begitu juga ketika dikatakan invasi diperlukan untuk
menumbangkan Presiden Saddam Hussein, sebenarnya untuk menumbangkan
Saddam tidak perlu sampai harus melakukan invasi karena toh Saddam
adalah boneka AS. Dia dulunya adalah agen CIA ketika Bush senior menjadi
direkturnya.
Jelas sekali, invasi itu dilakukan tidak lain demi memuaskan ambisi
kaum pebisnis yang ada di sekitar Presiden Bush, yaitu pebisnis senjata,
minyak dan infrastruktur. Keluarga Bush sendiri adalah pebisnis minyak.
Dengan invasi yang dibiayai negara, senjata yang diproduksi oleh
pabrik-pabrik senjata yang dimiliki oleh para pejabat pemerintahan Bush
tentu menjadi laku. Ketika Irak sudah hancur, pemenang tender
rekonstruksi Irak adalah Bechtel, sebuah perusahaan konstruksi penyokong
utama Presiden Bush. Lalu dari mana biaya ratusan miliar dolar AS untuk
rekonstruksi? Gampang saja. Semua diambil-kan dari minyak Irak yang
sangat melimpah itu. Jadi ini adalah bisnis besar. Sangat besar,
sekaligus sangat jahat. Irak dihancurkan oleh AS, lalu perusahaan AS
juga yang memperbaiki, tetapi dengan duit dari Irak.
Oleh karena itu, dalam negara korporasi, isu lingkungan hidup,
demokrasi, pluralisme, HAM, terorisme dan sebagainya hanyalah topeng
belaka untuk menutupi maksud sesungguhnya, yakni eksploitasi penguasaan
politik dan ekonomi. Sudah sangat banyak bukti yang menunjukkan bahwa
negara korporsi seperti AS tidaklah pernah sungguh-sungguh mengusung
nilai-nilai yang mereka gembar gemborkan itu. Coba, dimana nilai-nilai
demokrasi serta penghargaan terhadap HAM, lingkungan hidup dan
pluralisme dalam invasi AS ke Irak, Afganistan; juga ke perbatasan
antara Pakistan dan Afghanistan? Bila terorisme diartikan sebagai usaha
individu atau kelompok yang dalam mencapai tujuan menggunakan kekerasan,
siapa sebenarnya yang paling sering dan paling banyak menggunakan
kekerasan? AS, bukan?
Dominasi korporasi terhadap negara semakin menguat bila korporasi
multinasional dipersilakan turut bermain sebagai kompensasi dari
dukungan mereka terhadap elit politik yang pengusaha itu. Sekarang saja,
korporasi multinasional (TNC-Transnational Corpora-tion), melalui
berbagai institusi baik negara kapitalis maupun organ-organ
internasional seperti PBB, IMF dan Bank Dunia, sangat mempengaruhi
kebijakan sebuah negara.
Dengan kekuatannya itu, TNC bisa mendikte kebijakan negara tempat ia
tinggal. Sebagai contoh, karena kuatnya lobi, koalisi TNC bisa menaikkan
sumbangan politisnya ke Partai Republik yang berkuasa di AS ketika itu,
dari US$ 37 juta (1992) menjadi US$ 53 juta (2002). Kini 72 persen
pundi partai itu dipasok TNC, terutama TNC agrobisnis (The New York
Times, 9/9/2003). Sebagai imbalannya, Presiden Bush pada 2002, antara
lain, meneken Farm Bill senilai US$ 180 miliar untuk 10 tahun ke depan.
Contoh lain, dalam kasus blok kaya minyak Cepu,
ExxonMobil—perusahaan minyak raksasa dunia yang total sales-nya saja
lebih besar dari GDP Indonesia, seperti ditulis Kwik Kian Gie (Kompas,
23/2/2006)—bisa memaksa pemerintah AS untuk ikut campur tangan agar
perusahaan minyak asal AS itu ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia sebagai
pengelola Blok Cepu. Tidak tanggung-tanggung, campur tangan dilakukan
oleh pemimpin tertinggi ExxonMobil, Duta Besar Ralph Boyce dan Presiden
Bush. Kedatangan Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice, yang bersamaan
dengan panasnya penentuan operator Blok Cepu, juga bukan sebuah
kebetulan meskipun Menko Perekonomian Boediono membantah ada intervensi
atau tekanan (Kompas, 16 Maret 2006).
Jadi, negara korporasi tak ubahnya perusahaan yang hanya memikirkan
keuntungan. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang
sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara
yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang
tidak bisa dilepaskan dari sistem politiknya: demokrasi. Di Indonesia,
Pemilu 2014 bakal menjadi pintu utamanya.
Oleh karena itu, bila para politikus pengusaha yang sekarang ini
berada di pucuk pimpinan sejumlah parpol nantinya benar-benar naik ke
tampuk kekuasaan— berdasarkan berbagai hasil survai PDIP, Golkar dan
Gerindra yang tampaknya akan memuncaki hasil pemilu 2014—maka perwujudan
Indonesia sebagai negara korporasi akan semakin nyata. Lihat saja
nanti, keputusan-keputusan politik dibuat tidaklah sungguh-sungguh demi
kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan bisnis. Kader partai yang
duduk di parlemen pun kelak juga hanya akan menjadi alat legitimasi bagi
pemuasan syahwat politik-ekonomi elit partai. Bila sebelum ini telah
lahir sejumlah UU yang sangat liberal-kapitalistik, maka ke depan UU
semacam itu akan lebih banyak lagi bermunculan. Ujungnya, rakyatlah yang
akan menanggung akibatnya berupa pemiskinan dan kesenjangan kaya-miski
yang makin lebar.
Senjakala Politik Islam?
Kecenderungan kedua yang paling menonjol dalam peta perpolitikan
Tanah Air adalah makin mencairnya sekat-sekat ideologi di antara
partai-partai yang ada, termasuk partai Islam. Bagi sebagian pengamat,
kecenderungan ini disambut baik sebagai pertanda makin dewasanya para
politikus dalam berpolitik dengan tidak lagi mempertentangkan ideologi
sehingga memudahkan terjadinya koalisi bahkan kohesi antar partai
politik. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya koalisi besar yang
digalang oleh Partai Demokrat di bawah SBY selama 10 tahun
pemerintahannya yang melibatkan hampir seluruh partai, termasuk partai
Islam. Kalau ada partai, yaitu PDIP, yang tidak masuk dalam koalisi,
bukanlah karena alasan ideologis, melainkan lebih karena alasan
psikologis Megawati yang mangkel pada SBY karena tidak terus terang ketika mau nyapres pada 2004 lalu.
Pragmatisme bagi partai sekuler tidaklah terlalu mengherankan. Secara
politik, pragmatisme berangkat dari politik akomodasi, khususnya
terhadap kekuatan politik Islam. Di negeri dengan Muslim menjadi
penduduk mayoritas, faktor Islam jelas tidak bisa diabaikan. Siapapun
yang akan menjadi kampiun dalam Pemilu 2014 nanti, pasti harus
memberikan ruang akomodasi kepada kekuatan politik Islam dengan
memberikan sejumlah portofolio kabinet. Hanya dengan itu stabilitas
politik akan tercapai. Namun, pemberian ruang di sini lebih merupakan
akomodasi psikologis ketimbang politis. Maksudnya, dengan adanya
sejumlah tokoh dari kalangan politik Islam yang duduk tampuk kekuasaan,
umat Islam merasa sudah terwakili, meski secara politik sebenarnya
kedudukan itu tidaklah memberikan efek bagi perubahan sistem politik.
Akomodasi psikologis sesungguhnya juga telah dilakukan di level partai.
Di PDIP ada BM (Baitul Mukminin). Di Partai Demokrat, begitu juga di
Golkar dan Nasdem ada sayap HMI.
Dengan pragmatisme, sekat ideologis menjadi kabur. Walhasil,
partai-partai yang ada makin sulit dibedakan karena pemikiran dan
praktik politik sebuah partai politik sama saja dengan yang lain.
Politik Islam ideologis juga makin tidak mendapat tempat dalam pentas
politik nasional karena telah disisihkan oleh politik pragmatisme tadi.
Dalam perspektif idealistik, makin menggejalanya pragmatisme,
terutama yang dilakukan oleh partai Islam, adalah sebuah persoalan
besar. Mengapa? Sesuai dengan asasnya, partai Islam tentu didirikan
untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dan kepentingan umatnya. Karena
itu, perjuangan ideologis mestinya harus diutamakan ketimbang usaha
pragmatis demi meraih kekuasaan semata-mata dengan mengabaikan ideologi
partai yang sejatinya menjadi alasan keberadaan (raison d’etreatau raison to be) sekaligus ruh dari sebuah partai.
Oleh karena itu, munculnya wadah alternatif yang mampu menampung
spirit politik Islam ideologis sesungguhnya amat dinantikan oleh umat,
yang dalam berbagai survei, terbukti tak henti merindukan kejayaan Islam
kembali. Apalagi dalam situasi saat kepercayaan masyarakat kepada
parpol yang ada terus mengalami penurunan. Apatisme terhadap terhadap
politik yang juga makin meningkat. Ini ditunjukkan oleh tingginya angka
golput di banyak Pilkada sehingga bukan tidak mungkin akan berlanjut
pada Pileg dan Pilpres mendatang. Dalam situasi demikian, kemunculan
wadah politik Islam alternatif yang bisa dipercaya tentu akan
membangkitkan harapan masyarakat terhadap kebaikan di masa mendatang.
Sementara itu, dalam konteks negara korporasi, politik akomodasi
sejatinya merupakan bagian dari strategi kooptasi, dalam konteks negara
korporasi, dilakukan melalui pendistribusian SDE (sumberdaya ekonomi)
baik dalam bentuk pemberian jabatan, proyek pemerintah atau bantuan
tunai langsung. Strategi ini terbukti cukup ampuh menaklukkan potensi
oposisi dari kalangan manapun, baik dari kalangan aktivis LSM,
ulama/kiai, kalangan kampus, gerakan separatis, termasuk para elit
partai politik Islam sekalipun. Lemahnya kalangan oposisi itulah yang
membuat gerakan yang hendak menggulingkan pemerintahan SBY berulang
kali gagal. Bila kalangan oposisi melemah, masih adakah potensi
perubahan? Di mana potensi itu berada? Bagaimana perubahan bisa terjadi?
Di mana peran gerakan politik Islam ideologis dalam perubahan itu?
Perubahan Politik dan Prospek Gerakan Islam
Perubahan politik secara sederhana bisa dirumuskan bakal terjadi
ketika tekanan luar lebih besar daripada daya dukung sistem dan
organisasi dari sebuah rezim pemerintahan. Tekanan luar bisa muncul
akibat adanya krisis eksternal seperti gejolak moneter, juga karena
ketidakpuasan publik yang terus meningkat misalnya akibat naiknya
harga-harga, korupsi birokrat yang makin menjadi-jadi tanpa penanganan
yang memuaskan dan sebagainya. Apalagi bila ditambah dengan adanya
ketidakpuasan internal akibat konflik kepentingan di tubuh pemerintahan.
Hal ini akan makin memperlemah daya dukung sistem dan organisasi
sedemikian sehingga gejolak bakal timbul dimana-mana.
Namun, gejolak yang terjadi di dalam masyarakat itu ada dua
macam. Pertama: gejolak sektoral yang bersifat temporal, seperti gejolak
di kalangan buruh yang menuntut kenaikan UMR; juga gejolak fundamental
ideologis yang bersifat permanen, seperti penolakan terhadap
sekularisme. Tugas gerakan Islam adalah mentransformasikan gejolak jenis
pertama menuju jenis kedua yang dilakukan melalui dakwah politis baik
lewat pergolakan pemikiran (ash-shira’ al-fikri) maupun perjuangan politik (al-kifah as-siyasi).
Oleh karena itu, dakwah politis harus makin gencar dilakukan. Memang,
dalam situasi yang kental dengan suasana pragmatisme-materialisme ini,
tidaklah mudah untuk mengajak umat terlibat dalam perjuangan politik
Islam ideologis. Namun, dengan kesungguhan, kesabaran dan keikhlasan,
terbukti dakwah semacam ini terus menuai hasil dan dukungan yang makin
besar.
Di tengah kesungguhan melakukan ikhtiar, gerakan politik Islam
ideologis harus mewaspadai setiap bentuk ancaman, gangguan dan rintangan
yang menghadang. Gejolak politik yang terjadi di kawasan Timur Tengah,
khususnya di Mesir dan Suriah, memberikan pelajaran kepada siapapun,
negara Barat khususnya, akan potensi kekuatan Islam ideologis. Mereka
tentu tidak membiarkan potensi ini makin membesar. Segala daya upaya
akan dilakukan (at all cost), dari yang lembut sampai yang
sangat kasar, untuk menghentikan laju gerakan Islam politik ideologis
itu. Di antaranya melalui isu terorisme. Ikhwanul Muslimin di Mesir
sekarang sudah ditetapkan sebagai kelompok teroris. Adapun untuk
konsumsi domestik, pendiskreditan gerakan politik Islam ideologis
dilakukan dengan menebar opini bahwa gerakan ini mengancam keutuhan
negara Indonesia. Tidak pernah dijelaskan, ancaman itu dalam bentuk apa.
Padahal ancaman yang sesungguhnya, dan sekarang sudah terjadi, adalah
dari arus politik liberalisme-kapitalisme yang menempatkan negara
sekadar sebagai alat untuk kepentingan para pebisnis lokal maupun
internasional, serta para politisi yang rela menyusun peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang liberal demi meraih dukungan
politik dari negara-negara Barat.
Menghadapi tantangan, ancaman dan gangguan, mutlak diperlukan
ketahanan, baik secara internal maupun eksternal, pada diri gerakan
politik Islam ideologis. Secara internal, ketahanan itu dibentuk dari
mekanisme penguatan kuantitas dan kualitas pengkaderan, kekokohan
memegang visi dan misi, penataan sistem dan administrasi, kepemimpinan,
dana dan sarana, dan yang tak kalah penting adalah kedekatannya selalu
pada Allah SWT. Adapun secara eksternal, ketahanan dibangun melalui
perebutan pasar opini, yakni publik harus diyakinkan bahwa perjuangan
politik Islam ideologis adalah demi kebaikan negeri ini. Dukungan juga
harus terus digalang baik dari kalangan umat maupun dari person
berpengaruh (ashabul fa’aliyat) yang didekati secara personal maupun lembaga.
Akhirnya, kesungguhan, kesabaran dan keikhlasan serta pertolongan
Allahlah yang bakal menentukan keberhasilan perjuangan politik Islam
ideologis setelah politik Islam pragmatis menemui kegagalannya
mengangkat harkat dan martabat Islam dan umatnya secara hakiki. Insya
Allah. [M Ismail Yusanto (Jubir HTI)]
Posting Komentar untuk "Political Outlook 2014: Indonesia Menuju ‘Negara Korporasi’"