Telaah Kitab Demokrasi Sistem Kufur Karya Syekh Abdul Qadim Zallum [3]
Ide IV : Kaidah Pengambilan Ide dari Umat dan Bangsa Lain
Pada
bagian ini, dengan berlandaskan kajian yang komprehensif terhadap
nash-nash syara’, penulis DSK menerangkan mana saja hal-hal yang boleh
diambil kaum muslimin –dari apa yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain–
dan mana saja yang tidak boleh mereka ambil.
Standar
atau kriterianya adalah sebagai berikut. Seluruh ide yang berhubungan
dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semisalnya,
serta segala macam bentuk benda/alat/bangunan yang terlahir dari
kemajuan sains dan teknologi (madaniyah), boleh diambil oleh
kaum muslimin. Kecuali jika terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi
ajaran Islam, maka kaum muslimin haram untuk mengambilnya, seperti
Teori Darwin.
Ini
dikarenakan semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi
tidaklah berhubungan dengan Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara’ yang
berkedudukan sebagai solusi terhadap problematika manusia dalam
kehidupan, melainkan dapat dikategorikan ke dalam sesuatu yang mubah,
yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya. Dalam
hal ini Rasullah SAW bersabda :
أَنْتُمْ أَدْرَى بِشُئُوونِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia kalian.” (HSR. Muslim)
Adapun
ide-ide yang berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum syara’, serta
ide-ide yang yang berhubungan dengan peradaban/kultur Islam (hadlarah),
pandangan hidup Islam, dan hukum- hukum yang menjadi solusi bagi
seluruh problema manusia, maka semua ide ini wajib disesuaikan dengan
ketentuan syara’, dan tidak boleh diambil dari mana pun kecuali hanya
dari Syari’at Islam saja. Artinya, hanya diambil dari wahyu yang
terkandung dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, dan apa-apa yang
ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma’ Shahabat dan Qiyas, serta sama
sekali tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber tersebut. Sebab
dalam hal ini Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mengambil apa
saja yang dibawa oleh Rasul SAW kepada kita dan meninggalkan apa saja
yang dilarang oleh beliau. Allah SWT berfirman :
وَ مَا آتَاكُم الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa
yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka
terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka
tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)
Karena
itu, kaum muslimin tidak boleh mengambil peradaban/kultur Barat,
beserta segala peraturan dan undang-undang yang terlahir darinya,
termasuk demokrasi. Sebab peradaban tersebut bertentangan dengan
peradaban Islam.
Ide V : Kontradiksi Demokrasi dengan Islam
Pada ide pokok kelima ini, Syekh Abdul Qadim Zallum menguraikan 5 (lima) segi kontradiksi Islam dengan demokrasi, yaitu :
1. Sumber kemunculan
2. Aqidah
3. Pandangan tentang kedaulatan dan kekuasaan
4. Prinsip Mayoritas
5. Kebebasan
(1). Sumber Kemunculan
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim)
untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan
manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus
demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala
berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa
dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah
buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan
Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam
berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad
bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm : 3-4)
(2). Aqidah
Adapun
aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama
dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas
prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen –yang
diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan perisai untuk
mengeksploitir dan menzhalimi rakyat atas nama agama, serta menghendaki
agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama– dengan para filosof
dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para
rohaniwan.
Aqidah
ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan
perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya
konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk
membuat peraturan hidupnya sendiri.
Sedangkan
Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam
dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan
perintah dan larangan Allah –yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari
Aqidah Islamiyah– dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah
ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya
sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut
peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.
(3). Pandangan Tentang Kedaulatan dan Kekuasaan
Demokrasi
menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya,
bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya
sendiri.
Berdasarkan
prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana
kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari
pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas
rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih
untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat. Kekuasaan juga bersumber dari
rakyat, baik kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Sementara
itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan
di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman :
إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’aam: 57)
Dalam
hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat
Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa
itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
Prinsip
ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya
hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at
untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw
bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim)
(4). Prinsip Mayoritas
Demokrasi
memutuskan segala sesuatunya berdasarkan suara terbanyak (mayoritas).
Sedang dalam Islam, tidaklah demikian. Rinsiannya adalah sebagai berikut
:
(1)
Untuk masalah yang berkaitan dengan hukum syara’, yang menjadi kriteria
adalah kekuatan dalil, bukan mayoritas. Dalilnya adalah peristiwa pada
Perjanjian Hudaibiyah.
(2)
Untuk masalah yang menyangkut keahlian, kriterianya adalah ketepatan
atau kebenarannya, bukan suara mayoritas. Peristiwa pada perang Badar
merupakan dalil untuk ini.
(3)
Sedang untuk masalah teknis yang langsung berhubungan dengan amal
(tidak memerlukan keahlian), kriterianya adalah suara mayoritas.
Peristiwa pada Perang Uhud menjadi dalilnya.
(5). Kebebasan
Dalam demokrasi dikenal ada empat kebebasan, yaitu:
a. Kebebasan beragama (freedom of religion)
b. Kebebasan berpendapat (fredom of speech)
c. Kebebasan kepemilikan (freedom of ownership)
d. Kebebasan bertingkah laku (personal freedom)
Ini
bertentangan dengan Islam, sebab dalam Islam seorang muslim wajib
terikat dengan hukum syara’ dalam segala perbuatannya. Tidak bisa bebas
dan seenaknya. Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah
wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT
berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muham- mad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang
mereka perselisihkan.” (QS. An Nisaa’: 65)
Penutup
Setelah
menguraikan kontradiksi yang teramat nyata antara demokrasi dengan
Islam, pada bagian akhir kitab DSK, Syekh Abdul Qadim Zallum menarik 2
(dua) kesimpulan yang sangat tegas, jelas, dan tanpa tedeng aling-aling.
Tujuannya adalah agar umat Islam terhindar dari kekufuran dan kesesatan
sistem demokrasi. Dua kesimpulan utama itu sebagai berikut :
Pertama,
Demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam
itu sesungguhnya adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam
sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat
bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar dan
perinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau
asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang
dibawanya.
Kedua,
Maka dari itu, kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskan
demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan
demokrasi. Haram pula bagi mereka menjadikan demokrasi sebagai pandangan
hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi
konstitusi dan undang-undang atau sebagai sumber bagi konstitusi dan
undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan
tujuannya. Syekh Abdul Qadim Zallum menegaskan, “Kaum muslim wajib
membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan
merupakan hukum thaghut.” [selesai]
= = = =
**Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI; Penerjemah kitab Demokrasi Sistem Kufur (Syekh Abdul Qadim Zallum) dan kitab Menghancurkan Demokrasi (Syekh Ali Belhaj).
Posting Komentar untuk "Telaah Kitab Demokrasi Sistem Kufur Karya Syekh Abdul Qadim Zallum [3]"