Jangan Salahkan Masyarakat Tak Memilih
Pasal 292, ketentuan tersebut lebih ditujukan pada orang yang sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih.
Tren peningkatan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya,
dari satu pemilu ke pemilu berikutnya mengkhawatirkan penyelenggara
pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Komisi ini patut khawatir
karena tahun 1999, angkat golput hanya 10,21 persen, kemudian pemilu
2004 menjadi 23,34 persen, dan pemilu 2009 sudah mencapai 29,01 persen.
Di pemilu kepala daerah belakangan ini, jumlah golput meningkat
sangat tajam, mencapai rata-rata di atas 45 persen. Bahkan, di beberapa
daerah suara golput sangat tinggi, seperti di Sumatera Utara misalnya,
golput mencapai 60 persen dan di Sumatera Selatan golput mencapai 50
persen.
Tak heran KPU mencari jalan agar semua orang menggunakan hak
pilihnya. Maka, ada ide untuk memidanakan mereka yang tidak memilih dan
menyerukan golput.
KPU menafsirkan sendiri Undang-undang 8 tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum anggota DPR, DPD dan DPRD yang sebenarnya di dalamnya hanya
mempidanakan orang-orang yang menghalangi orang lain untuk menggunakan
hak pilihnya.
Ketua KPU Husni Kamil Manik, di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (7/2)
mengatakan KPU juga tidak segan-segan untuk menyeret pihak yang
menyerukan golput. “Kalau mengkampanyekan itu (golput), iya (pidana),”
katanya.
Kepala Biro Analisis Badan Intelijen Keamanan Polri, Brigjen Pol
Sukamto Handoko mencurigai adanya kelompok tertentu yang berusaha ingin
menggagalkan pemilu. “Ada upaya menggagalkan pemilu. Seperti ajakan
kepada masyarakat untuk golput. Itu salah satunya,” katanya.
Menurut Sukamto, ajakan golput dikategorikan sebagai sebuah
pelanggaran hukum dan termasuk tindak pidana pemilu. Namun, untuk
memidanakan seorang atau kelompok, polisi terlebih dahulu harus mendapat
rekomendasi atau persetujuan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Tak Bisa Dipidana
Namun niat KPU ini ditentang banyak kalangan. Ketua Komisi Untuk
Orang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar menilai hal itu
merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Haris menjelaskan perangkat hukum golput, termasuk mereka yang
menganjurkannya terjamin di Indonesia, lewat UUD 1945 pasal 28 yang
menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Sedangkan, menurut Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi
Indonesia (Sigma), Said Salahudin, fakta dalam UU Pemilu yang mengatur
tentang pidana Bab XXII, mulai pasal 273 sampai 321 (UU nomor 8 tahun
2012) tidak ditemukan adanya ancaman sanksi pidana kepada seseorang yang
memilih golput dan orang yang mengampanyekan golput.
Said menjelaskan jika rujukannya di Pasal 292, ketentuan tersebut
lebih ditujukan pada orang yang sengaja menyebabkan orang lain
kehilangan hak pilih.
“Sebagai ilustrasi, yang bisa dikenakan sanksi pasal 292 ini. Antara
lain, penyelenggara pemilu yang tidak memberi kesempatan pada pemilih
memberi suara di TPS,” ucapnya.
“Selain itu, seorang atasan atau majikan yang tidak memberi
kesempatan kepada bawahan atau pekerjanya ikut mencoblos pada hari
pemungutan suara tanpa alasan yang jelas, juga dapat dipidana. Contoh
lain, presiden, kepala daerah atau kepala desa, yang menggunakan
kekuasaannya menghalangi pemilih menggunakan hak pilih, juga diancam
pidana pemilu,” lanjutnya.
Ditemui dalam kesempatan berbeda, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia
Ismail Yusanto menekankan masyarakat tidak bisa disalahkan jika memilih
untuk golput. Ia pun mengkritik pihak yang menyalahkan golput. “Jangan
salahkan orang yang tidak mau beli dong? Kalau semua mangga yang dijual
busuk semua, seharusnya penjual mangganya instrospeksi, masa di kebun seluas Indonesia ini tidak ada mangga segar dan manis yang bisa dijual?” jelasnya. [mediaumat.com, 12/3/201]
Posting Komentar untuk "Jangan Salahkan Masyarakat Tak Memilih"