Mengembalikan Jatidiri Parpol Islam
Hasil hitung cepat (quick count) pileg 2014 dari berbagai
lembaga menunjukkan hasil yang mirip. Dari hasil rataan quick count dari
enam lembaga (LSI, Cyrus Network-CSIS, Indikator, Kompas, RRI, Populi
Center), total suara parpol Islam dan yang berbasis massa Islam hanya
31,64% (yaitu PKB 9,18%, PKS 6,76%, PAN 7,52%, PPP 6,67% dan PBB 1,5%).
Setelah dikurangi PBB yang tidak lolos parliamentary treshold
total suara parpol Islam dan yang berbasis massa Islam hanya 30,1 % dari
suara sah. Jika dihitung dari jumlah pemilik hak suara, angkanya lebih
kecil lagi.
Realita Parpol Islam
Semua parpol Islam (bahkan semua parpol) telah menjadi parpol
pragmatis. Kepentingan kursi jabatan dan kekuasaan menjadi penentu
sikap. Dari aspek ini, hampir tidak ada lagi bedanya antara parpol Islam
dengan yang bukan parpol Islam. Sikap pragmatis parpol Islam itu
terlihat dalam banyak kebijakan parpol. Sekadar contoh adalah dalam
berkoalisi selama ini. Parpol Islam dalam sejumlah pilkada berkoalisi
dengan bukan parpol Islam bahkan parpol Kristen (PDS).
Pudarnya sifat ideologis parpol Islam itu, juga tercermin pada tidak
adanya visi, misi, platform pemikiran dan kerangka ide dan konsepsi yang
jelas yang diperjuangkan oleh parpol dan diserukan kepada rakyat.
Bahkan parpol Islam tak lagi terlihat menyuarakan Islam, malah seakan
menghindar untuk diidentikkan dengan Islam dan menyebut gagasannya
sebagai gagasan Islami. Sebaliknya, semua parpol malah berlomba
menggunakan slogan-slogan demokrasi, nasionalisme, humanisme, HAM dan
slogan-slogan yang identik dengan sistem sekuler demokrasi.
Sikap dan kebijakan parpol Islam juga tak banyak beda dengan bukan
parpol Islam. Parpol Islam hampir selalu mendukung dan membenarkan
kebijakan yang menyalahi Islam; Makin liberal kapitalisme dan merugikan
rakyat, seperti kebijakan kenaikan harga BBM, privatisasi dan
liberalisasi berbagai pelayanan publik, pencabutan berbagai macam
subsidi, penjualan BUMN, penyerahan pengelolaan berbagai sumber daya
alam kepada swasta asing, terus menumpuk utang baik luar negeri dan
dalam negeri, dsb. Para legislator dari parpol Islam juga terlibat dalam
pembuatan sejumlah UU yang bercorak liberal, merugikan rakyat,
menyerahkan kekayaan rakyat kepada asing dan membuka jalan bagi asing
mengontrol negeri ini. Tengok saja, UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU
Kelistrikan, UU Minerba, UU Penamanan Modal, UU Pangan, UU Pengadaan
Tanah untuk Pembangunan, UU Sisdiknas, UU BHMN, UU SJSN dan BPJS, dan UU
lainnya yang bercorak liberal dan merugikan rakyat mudah lolos dan
disahkan; padahal para politisi parpol Islam ada di parlemen dan
kader-kader parpol Islam juga ada di pemerintahan bahkan menjadi pejabat
penentu.
Semua itu makin diperparah oleh perilaku para politisi dan pejabat
dari parpol Islam yang terlihat kurang peduli dengan nasib rakyat dan
hampir tak beda dengan para politisi dari bukan parpol Islam. Tak
sedikit para politisi dan pejabat yang berasal dari parpol Islam
memperlihatkan sikap glamour, tak jarang mempertontonkan kekayaan.
Memang selama diperoleh dengan halal, hal itu tidak terlarang. Namun hal
itu rasanya kurang etis di tengah banyak rakyat yang berpendapatan
rendah, kesulitan sekadar untuk makan, belum punya rumah, tidak bisa
mengakses pendidikan dan kesehatan yang baik. Sejumlah orang dari para
politisi parpol Islam juga absen rapat, ada yang selingkuh baik diisukan
maupun sudah jelas, melakukan politik uang, korupsi dan lainnya.
Walhasil, masyarakat melihat tak ada beda antara parpol Islam dengan
yang bukan parpol Islam, baik dalam hal visi, misi; ide, konsep dan
gagasan; sikap dan kebijakan; serta perilaku para politisi dan pejabat
yang berasal dari parpol tersebut. Mungkin karena itulah, parpol Islam
belum bisa menarik mereka yang sudah memiliki kesadaran Islam dan
menginginkan perjuangan untuk Islam. Sebab, dalam pandangan mereka
kesadaran dan perjuangannya tidak bisa diwadahi atau disalurkan melalui
parpol Islam itu. Di sisi lain, parpol Islam juga tak kuasa menarik
mereka yang selama ini memilih bukan parpol Islam, sebab mereka berpikir
toh sama saja dengan parpol pilihan mereka sebelumnya. Masih minimnya
dukungan kepada parpol Islam itu juga mengindikasikan belum besarnya
kesadaran Islam di masyarakat. Sayangnya, parpol Islam tidak terlihat
nyata melakukan edukasi dan dakwah serta perjuangan politik untuk
meningkatkan kesadaran Islam dan keberislaman umat.
Antara Ideologi dan Tarikan Pragmatisme
Hasil suara yang kecil membuat parpol Islam merasa harus berkoalisi
untuk turut mengajukan pasangan capres, ikut dalam gerbong pemerintahan
nanti dan tentu mendapat bagian kursi jabatan. Banyak tokoh berharap
parpol Islam bisa bersatu dan mengajukan capres dari kalangan Islam
sendiri. Namun agaknya hal itu kecil kemungkinannya. Bahkan ada pimpinan
parpol yang menyatakan kapok berkoalisi dengan parpol Islam.
Perkembangan menunjukkan parpol Islam lebih memilih berkoalisi dengan
tiga parpol peraih suara tertinggi. Yang jelas, posisi parpol Islam
dalam koalisi itu adalah pengikut dan harus berkompromi dengan parpol
utama dan kepentingannya yang tentu tidak mencerminkan Islam, bahkan
jauh dari Islam dan kepentingan Islam.
Dalam konteks ini harus diingatkan bahwa Allah SWT telah menjelaskan
kepada orang-orang mukmin termasuk mereka yang menggerakkan parpol Islam
tentang bentuk tolong menolong yang harus diwujudkan dan bentuk tolong
menolong yang dilarang. Allah SWT berfirman:
﴿وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.” (TQS al-Maidah [5]: 2)
Imam Ibn Katsir di dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm menjelaskan,
“yakni Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hambanya yang beriman untuk
tolomg menolong atas perbuatan baik yaitu kebajikan (al-birr)
dan meninggalkan berbagai kemungkaran dan itu merupakan takwa, serta
melarang mereka dari tolong menolong atas kebatilan dan melarang mereka
bekerjasama di atas dosa dan keharaman.”
Di sinilah sebenarnya parpol Islam kembali diuji antara ideologi dan
tarikan pragmatisme. Selama ini terlihat tarikan pragmatisme lebih
dituruti daripada ideologi. Jika itu terulang lagi, dan kecenderungan
yang ada mengarah ke situ, maka makin menegaskan parpol Islam sebagai
parpol pragmatis nir ideologi. Jika itu terjadi, justru akan makin
menjauhkan parpol Islam dari ideologi Islam dan jatidiri parpol Islam.
Mengembalikan Jatidiri Parpol Islam
Jati diri parpol Islam yang harus dijadikan khithah telah ditentukan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
﴿وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104).
Imam ath-Thabari dalam tafsirnya Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân
menjelaskan, “Yakni Allah SWT berfirman, hendaklah ada di antara kamu,
hai kaum Mukminin, segolongan umat yakni jamaah yang menyeru manusia
kepada kebajikan (al-khayr) yakni kepada Islam dan syariahnya.” Untuk
itu parpol Islam mesti menjadikan akidah Islam sebagai asas. Bukan hanya
formalistik tercantum dalam Anggaran Dasar, tetapi juga secara riil
tercermin dalam visi dan misinya; tujuan dan target yang disusun; ide,
gagasan dan konsepnya; seruan dan slogan; sikap dan kebijakan; ikatan
antar anggota dan kadernya; perilaku para pejabat, politisi dan
kadernya; serta semua hal yang berkaitan dan keluar dari parpol
tersebut.
Jatidiri parpol Islam ini menjadi keniscayaan yang harus dipenuhi
oleh partai yang ada di tengah umat Islam. Sayangnya hal itu belum
terpenuhi baik sebagian atau total pada parpol yang berkiprah di tengah
umat baik parpol Islam atau bukan parpol Islam yang sama-sama menyasar
umat Islam. Karena nihilnya jatidiri itu pada parpol Islam, maka tidak
salah kiranya jika dikatakan parpol Islam kehilangan jatidiri sebagai
parpol Islam. Sebutan parpol Islam akhirnya hanya menjadi sekadar
sebutan kosong.
Selain harus dipenuhi, jatidiri parpol Islam yang dinyatakan dalam QS
Ali Imran 104 itu sekaligus harus dijadikan standar untuk menilai
keberhasilan parpol. Jika parpol gagal memenuhi jatidiri tersebut, maka
itu merupakan kegagalan mendasar. Jika parpol gagal dalam hal ini,
kehilangan jati diri parpol Islam, maka kegegalan-kegagalan lain
termasuk raihan suara hanya menggenapi kegagalan saja. Bahkan jika gagal
memenuhi jatidiri parpol Islam itu, apapun yang dianggap sebagai
keberhasilan, andai berhasil meraih suara mayoritas mutlak sekalipun,
sejatinya semua itu tak bermakna banyak dalam pandangan syara’.
Kesuksesan yang mesti terwujud dan yang sifatnya mutlak harus
dimiliki adalah jatidiri sebagai parpol Islam sesuai dengan pandangan
syariah. Jika ini ada maka masalah kesuksesan berikutnya dalam bentuk
raihan suara dan dukungan dari masyarakat tinggal masalah waktu dan
proses. Jika jati diri sebagai parpol Islam hakiki sudah ada, maka
berikutnya tinggal masalah edukasi dan dakwah serta perjuangan politik
untuk menigkatkan kesadaran tentang Islam dan keberislaman di tengah
masyarakat. Datangnya kemenangan tinggal masalah waktu dan proses, sebab
Allah telah berjanji, Islam akan dimenangkan atas semua agama, sistem
dan ideologi. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Islam edisi 702, 18 Jumaduts Tsaniyah 1435 H – 18 April 2014 M]
Posting Komentar untuk "Mengembalikan Jatidiri Parpol Islam"