Fikih ‘Darurat’
Tantangan terbesar yang menghadang kaum
Muslim saat ini adalah menyikapi berbagai perkara yang terus berubah,
tentunya melalui pemahaman Islam yang benar. Hal ini hanya bisa
dilakukan dengan mengacu pada metode yang sudah ditetapkan Islam dalam
memahami hukum-hukum syariah, yakni mengaitkan fakta yang ada dengan
nash-nash syariah.
Hanya saja, pemahaman Barat dan metode
berpikir yang digunakan orang kafir, juga mereka yang terpengaruh oleh
pola pikir Barat, sudah sedemikian merasuki benak kaum Muslim. Ini
berakibat pada kemunduran dalam pelaksanaan hukum-hukum fikih. Mereka
justeru lebih memilih mengamalkan apa yang dikenal dengan ‘fikih
darurat’. Pada gilirannya, hal ini mengeluarkan konsep daarurat dari
bingkai fikihnya; menjadi alternatif yang lebih dipilih daripada
pemberdayaan akal pemikiran.
Darurat berkembang menjadi selubung
fikih yang bisa mengunci pintu berpikir. Akhirnya, segala sesuatu yang
baru menjadi anak dari darurat dan natijah (hasil) dari hajat,
seakan-akan darurat itulah kerangka yang umum untuk fikih. Tidak ragu
lagi, hal ini menjadi celah yang sangat berbahaya yang bisa meruntuhkan
bangunan fikih itu sendiri.
Karena itu kita harus bisa membedakan
upaya memasukkan fikih ke dalam bab darurat—yang disebabkan kelemahan
dan ketidakmampuan berpikir—dengan kaidah fikih dalam tatanannya yang
umum. Sesungguhnya kaidah fikih ad-dharurat tubih al-mahdzurat
(kondisi darurat membolehkan sesuatu yang diharamkan) dan ketetapan lain
dalam ushul fikih itu dipandang sebagai kaidah-kaidah penting jika
memang diperlakukan dalam bingkai fikih. Penting bagi kita untuk
memahami kaidah ini berikut tempatnya yang tepat dan tatacara
penerapannya.
Dharurat (darurat) adalah isim dari mashdar “idhthirar”. Pengertiannya adalah: al-ihtiyaj ila as-sya’i (membutuhkan sesuatu). Dikatakan idhtharrahu ila kadza artinya: dia sangat membutuhkan sesuatu; sesuatu itu memaksa dia sehingga dia menjadi terpaksa.
Dharurat semakna dengan dharar atau bentuk mubalaghah dari dharar.
Dalam mendefinisikan darurat, para ahli fikih memiliki beberapa redaksi
dan ungkapan. Meski demikian, ungkapan mereka tetap tdak keluar dari
kondisi “sampainya manusia pada suatu batasan yang jika tidak
mengambil atau melakukan sesuatu yang haram maka dia akan binasa atau
hampir binasa”. Kebinasaan tersebut bisa berdasarkan kepastian ataupun dugaan kuat saja.
Definisi dharurat ini menghasilkan sejumlah pengertian. Pertama: dharurat adalah uzur syar’i
yang menuntut seseorang melakukan sesuatu yang dilarang atau
diharamkan. Ini berbeda dengan hukum alternatif yang ditetapkan oleh
syariah yang disebut dengan rukhshah. Karena itu uzur yang membolehkan keharaman tersebut harus ditetapkan batasannya oleh syariah.
Kedua: dharurat adalah kondisi yang memaksa dan biasanya tidak ada sesuatu pun yang bisa menolaknya.
Ketiga: dharar tersebut nyata-nyata mengancam jiwa, bukan yang lain.
Adapun hajat (kebutuhan) berbeda dengan dharurat walaupun memang dalam hajat dan dharurat itu terdapat masyaqqah (kesulitan). Hanya saja kesulitan yang ada dalam hajat bukanlah sesuatu yang mulji‘ (bersifat memaksa), karena tidak mengakibatkan kebinasaan jiwa atau cacatnya anggota badan. Hukum hajat itu berbeda dengan hukum dharurat.
Walaupun dharurat menjadi sebab adanya rukhshah, rukhshah itu lebih umum dari dharurat. Rukhshah mencakup kondisi dharurat maupun tidak dharurat seperti uzur syar’i yang mengharuskan adanya keringanan.
Di antara dalil bahwa dharurat itu bisa membolehkan seseorang melakukan keharaman dan dipandang sebagai uzur syar’i adalah firman Allah SWT:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(saat disembelih) disebut nama selain Allah. Namun, siapa saja dalam
keadaan terpaksa (memakannya), padahal dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, tak ada dosa bagi dia (QS al-Baqarah [2]: 173).
Saat menjelaskan firman Allah SWT
ini,Ibnu Abbas ra. berkata, “Siapa saja yang memakan sesuatu dari semua
ini dalam keadaan terpaksa (mudhtharr) maka tidak apa-apa. Siapa saja yang memakannya tanpa terpaksa maka dia sama telah melampaui batas.”
Hanya saja, para ulama muta’akhirin
telah menetapkan definisi darurat yang berbeda. Mereka mengatakan bahwa
darurat adalah kondisi yang jika seorang mukallaf sampai pada kondisi
itu maka dia boleh melakukan sesuatu yang haram. Kebolehan ini
berlangsung hingga hilangnya gangguan dalam segala bentuknya. Dengan
demikian, menurut mereka, darurat tak hanya terbatas pada ketakutan akan
timbulnya kebinasaan dan kecacatan saja seperti yang ditetapkan oleh
nash-nash al-Quran dan pernyataan yang dinukil dari para Sahabat, tabi’in dan ulama zaman dulu, melainkan lebih umum dari itu semua. Menurut mereka, darurat itu bisa juga mencakup menolak dharar
atas jiwa, kehormatan, harta, agama dan tanah air. Mereka berpendapat
seperti itu dengan beralasan bahwa bangunan syariah itu tegak di atas
prinsip menarik berbagai maslahat dan menolak berbagai mafsadat (jalb al-mashalih wa dar‘u al-mafasid), juga berdasarkan prinsip menolak kesempitan dan kesulitan dari para mukallaf (raf’ul haraj).
Menurut mereka syariah ilahiyah itu datang untuk melindungi kehidupan
manusia secara utuh, yakni kebutuhan yang lima, dimana kehidupan dunia
dan agama tak akan bisa tegak tanpa itu; juga bahwa taklif yang
diberikan pada hamba itu diberi syarat berupa adanya kemampuan sang
hamba (al-qudrah).
Sebenarnya definisi para fukaha terdahulu itulah yang rajih (kuat). Pertama: karena adanya dalil atas hal itu. Kedua: karena kesimpulan yang diambil oleh ulama muta’akhirin itu sebenarnya tidak berdalil. Pasalnya, menarik maslahat dan menolak mafsadat itu bukanlah ‘illat syar’i
untuk hukum apapun, bahkan untuk syariah secara umum. Nash-nash hanya
menunjukkan bahwa tujuan syariah Islam itu adalah menarik maslahat dan
menolak mafsadat. Artinya, natijah yang dihasilkan dari
penerapan syariah itu adalah memperoleh maslahat dan menolak mafsadat.
Menarik maslahat dan menolak mafsadat bukanlah motif yang mendasari
pensyariatan hukum. Adapun pendapat mereka bahwa dharurat itu mencakup perlindungan terhadap maqashid yang lima, maka maqashid tersebut muncul sebagai natijah dari hukum syariah. Maqashid tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan istinbath, istidlal dan pen-ta’lil-an hukum.
Upaya menghilangkan kesempitan dan
kesulitan pun tak layak dijadikan dalil. Mereka berargumentasi dengan
firman Allah SWT (yang artinya): Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. Ini merupakan penggalan ayat yang ada setelah firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا
وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ، وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Hai orang-orang yang beriman, rukuk,
sujud dan sembahlah Tuhan kalian serta perbuatlah kebajikan supaya
kalian mendapat kemenangan. Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan
jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [22]: 77-78).
Dengan demikian kesempitan itu telah
dihilangkan dari mereka dalam perkara yang diperintahkan kepada mereka
seperti ibadah, melakukan kebaikan, berperang demi menggapai ridha-Nya.
Sesungguhnya Allah SWT telah memilih kalian, wahai kaum Mukmin, untuk
memeluk agama-Nya dan mendapatkan pertolongan-Nya. Dia tidak akan
membuat kesempitan atas kalian melainkan sekadar beban yang bisa kalian
tanggungkan. Penggalan ayat di atas semisal dengan firman Allah SWT
dalam surat al-Baqarah ayat 286.
Jika berpegang pada pemahaman penganut kaidah al-harj itu tentu akan banyak gugur taklif hukum karena taklif itu memang sulit dan berat. Disebut taklif karena berasal dari kata kulfah yang artinya masyaqqah
(kesulitan). Jika muncul kesulitan dalam suatu taklif maka hal itu akan
menggugurkan dalil-dalil ini sehingga akhirnya mengharuskan gugurnya
taklif-taklif tersebut. Menggugurkan taklif-taklif sulit yang ditetapkan
oleh syariah itu bertentangan dengan prinsip syariah. Berpegang pada
dalil-dalil ini sesuai pemahaman kaidah raf’ul haraj juga bertentangan dengan syariah. Karena itu kaidah raf’ul haraj ini tidak boleh diamalkan. Justru kita harus berhenti pada batasan yang sudah ditetapkan oleh syariah berupa dalil-dalil tafshili
(rinci) untuk setiap perkara yang sudah dirinci, lalu menerapkan
dalil-dalil itu pada persoalan baru tanpa melihat apakah di dalamnya ada
kesulitan ataukah kemudahan. Apalagi Rasulullah saw. bersabda, “Neraka itu dikelilingi dengan berbagai perkara yang disenangi, sedangkan surga dikelilingi dengan perkara yang tak disukai.”
Karena itu jika terjadi kondisi darurat
maka melakukan sesuatu yang haram itu menjadi boleh menurut syariah.
Hanya saja harus diketahui bahwa tidak setiap klaim dari orang yang
mengaku terpaksa melakukan keharaman itu bisa diterima, melainkan harus
terpenuhi sejumlah syarat terpenuhinya kondisi darurat. Di antara syarat tersebut adalah sebagai berikut:
Darurat benar-benar terjadi dan tidak
bertangguh; arinya benar-benar dikhawatirkan menimbulkan kebinasaan atau
kecacatan. Ini bisa didasarkan pada dugaan kuat jika tidak sampai
meyakinkan. Si mudhtharr (orang yang terpaksa) memang harus melakukan sesuatu yang haram saat tak ada lagi sarana mubah lainnya untuk menolak dharar tersebut. Jika hal seperti itu terjadi maka harus diperhatikan standar pengambilan rukhshah, misalnya hanya terbatas pada perkara yang boleh diambil tersebab dharurat dengan kadar secukupnya. Sebagaimana disampaikan para ulama bahwa darurat itu ditakar dengan kadarnya.
Syarat lainnya, keharaman yang dilakukan tidak menimbulkan dharar lain yang lebih besar dari dharar
yang diakibatkan oleh adanya kondisi harurat tersebut. Tidak boleh
melakukan keharaman dalam rangka menjaga anggota badan dari kecacatan
yang malah mencacati anggota tubuh lainnya atau membinasakan jiwa.
As-Suyuthi menyatakan bahwa ad-dharurat tubih al-mahdzurat dengan syarat dharar-nya tidak kurang bahayanya dari perkara yang diharamkan tersebut. Selain itu tenggang waktu mengambil rukhshah dibatasi oleh keberadaan uzur. Jika uzurnya hilang maka rukhshah-nya pun hilang.
Hukum mengambil rukhshah dalam kondisi dharurat harus dilihat dulu: Jika berpegang pada ‘azimah itu benar-benar bisa mengakibatkan kebinasaan, maka mengamalkan rukhshah menjadi wajib, dan berpegang pada ‘azimah menjadi haram. Siapa saja yang takut binasa jika tidak memakan daging bangkai, dia boleh mengambil rukhshah dan boleh pula berpegang pada ‘azimah. Adapun jika dia yakin akan binasa, maka berpegang pada rukhshah menjadi wajib, dan sebaliknya menjadi haram berpegang pada ‘azimah.
Tinggallah kini masalah perbedaan antara ikrah (keterpaksaan) dan idhthirar (kondisi darurat). Ikrah
adalah menyebabkan orang lain melakukan sesuatu tanpa didasari
kerelaan; ia tak memilih untuk melakukan itu saat terlepas dari paksaan.
Berbeda halnya dengan idhthirar. Seorang mudhtharr
(yang mengalami kondisi darurat) melakukan keharaman itu berdasarkan
pilihannya, walaupun kerelaan yang ada pada dirinya telah menyimpang.
Hal ini mengakibatkan sejumlah perkara berikut:
Seorang mukrah (yang dipaksa) itu boleh melakukan keharaman jika terdapat kondisi al-ikrah al-mulji,
misalnya memakan daging bangkai dan melontarkan kalimat kekufuran. Tak
ada perbedaan apakah urusannya termasuk hak Allah ataukah hak manusia.
Tak ada batasan tertentu terkait perkara yang haram tersebut kecuali
membunuh dan berzina. Dengan demikian tak ada istilah ikrah dalam kedua hal tersebut.
Ini berbeda dengan idhthirar. Seorang mudhtharr
boleh memakan sesuatu yang haram, tetapi tidak sampai pada batasan
kenyang, hanya sekadar menghilangkan daruratnya saja. Ini berdasarkan
hadis riwayat Samurah bin Jundab ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Jika kamu memberi minum air susu untuk keluargamu sebagai bagian makan malam maka jauhilah bangkai yang dilarang oleh Allah.”
Inilah pemahaman yang benar tentang darurat. Pada prinsipnya kaidah tersebut harus dipegang dalam pola seperti ini.
Hanya saja, ketidaktahuan atau sikap
pura-pura tidak tahu telah menimbulkan banyak kebingungan dan perbedaan
pendapat. Ambiguitas ini muncul pada orang yang menunggangi kaidah ini
untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik. Orang seperti ini akan
memegang kaidah darurat demi melegalkan tindak kejahatannya atau
membubuhkan stempel syariah pada dosanya. Berbagai perkara yang kita
dengar akhir-akhir ini seperti fikih minoritas (aqaliyat), fikih prioritas (awlawiyat),
penerapan syariah secara bertahap dan kebolehan riba yang sedikit
adalah contoh penyalahgunaan kaidah darurat. Bahkan sampai ada yang
lancang mengatakan pentingnya sekularisme yang tidak melibatkan agama
dalam politik dan sistem pemerintahan, juga pentingnya berpegang pada
sistem pemerintahan yang dibangun atas dasar kebangsaan yang tidak
membeda-bedakan manusia berdasarkan agamanya. [Usamah Ya’qub][Diterjemahkan dan disarikan oleh Dede Koswara, Staf Pengajar Ma’had al-Abqary Serang]
Posting Komentar untuk "Fikih ‘Darurat’"