Strategi Barat Memecah-belah Dunia Islam
Persatuan Dunia Islam adalah mimpi buruk
bagi Barat. Barat terus menggunakan strategi integrasi untuk
mengeksploitasi berbagai kepentingan ekonominya dengan berbagai proyek
regionalisme seperti Uni Eropa, APEC dll.
Di sisi lain mereka terus melakukan
strategi pecah-belah terhadap Dunia Islam. Ketakutan Barat terhadap
persatuan Dunia Islam dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah yang
‘menakutkan’ ketika mereka harus menghadapi negara adidaya (super power state)
Khilafah Islam sepanjang sejarah peradaban dunia. Umat Islam yang
bersatu di bawah Kekhilafahan Islam berhasil menggedor Eropa, bahkan
menguasai sebagian wilayahnya seperti Andalusia pada masa Kekhilafahan
Ummayah-Abbasiyah dan Balkan pada masa Kekhilafahan Utsmaniyyah.
Setelah Khilafah Islam terakhir Turki
Utsmani berhasil mereka tumbangkan, Barat terus berupaya mencegah
kemunculan persatuan Dunia Islam, apalagi di bawah naungan Khilafah.
Berbagai negeri Muslim yang dianggap memiliki kapabilitas sebagai negara
yang kuat dilemahkan, bahkan kalau perlu dipecah-belah lagi menjadi
beberapa negara. Inilah yang dialami Sudan; dipecah menjadi Sudan dan
Sudan Selatan. Ini juga yang dialami Pakistan, yang kemudian
menghasilkan penglepasan Bangladesh dari Pakistan. Bahkan ketika
Kekhilafahan Turki Ustmani dalam keadaan lemah, mereka menjebaknya untuk
terjun dalam Perang Dunia I. Sebelumnya, mereka merancang pembagian
wilayah Khilafah dalam Perjanjian Rahasia Sykes-Picot antara diplomat
Inggris dan Prancis. Perjanjian ini kemudian terbongkar karena terjadi
Revolusi Bolshevic yang mengubah Kerajaan Rusia menjadi Uni Sovyet.
Upaya pecah-belah ini tidak akan
berakhir. Ini adalah bagian dari strategi Barat terhadap Dunia Islam.
Ini pula yang saat ini dilakukan Barat terhadap Irak.
Roadmap Pecah-Belah Irak
Irak adalah negeri Muslim yang sangat
penting. Irak adalah bekas pusat Kekhilafahan Islam Abbasiyah yang
berpusat di Baghdad. Pasca dikuasai Inggris setelah menang Perang Dunia I
pada Oktober 1919, Irak awalnya mengadopsi sistem kerajaan dengan
menempatkan ‘boneka’ Inggris dari Dinasti Hashemit/Hasyimiyah; dimulai
dari Raja Faishal I yang merupakan anak dari Hussein bin Ali penguasa
dari Hijaz hingga Raja Faishal II, cucunya.
Amerika Serikat lalu mengambil-alih dominasi Irak dari Inggris dengan men-support
kudeta militer yang dilakukan oleh Muhammad Najib ar-Ruba’i pada tahun
1958. Karena Irak adalah negara yang kuat, perlu langkah-langkah yang
lebih jitu lagi untuk melemahkan Irak.
Irak adalah negara dengan komposisi
penduduk sekitar 75-80% bangsa Arab. Kelompok etnis utama lainnya
adalah Kurdi (15-20%), Asiria, Turkmen Irak, dll. (5%). Muslim di Irak
menurut Britannica terdiri dari Syiah 60%, Sunni 40%. Menurut CIA World Fact Book, di Irak Syiah 60%-65% dan Sunni 32%-37%. Demografi Irak yang demikian menjadi salah satu potensi untuk memecah-belah Irak.
Upaya melemahkan Irak dimulai bukan
ketika Amerika menginvasi Irak dan menjatuhkan Saddam Hussein. Sejak
tahun 1991 Amerika Serikat menjatuhkan sanksi zona larangan terbang (no flying zone) di wilayah Irak utara. Sejak itu, wilayah tersebut yang mayoritas penduduknya beretnis Kurdi menjadi mirip sebuah negara.
Saat menduduki Irak pada Maret 2003,
awalnya Amerika Serikat menempatkan Letjen Jay Gardner sebagai gubernur
jenderal di sana. Namun, karena dianggap gagal-total menangani Irak,
Amerika menggantikan dia dengan Paul Bremer. Dialah yang ditugasi
melakukan ‘penjarahan’ besar-besaran terhadap Irak. Langkahnya yang
paling mendasar adalah menetapkan konstitusi yang isinya mengandung
benih perpecahan Irak. Bersama Peter Galbraith, milyarder yang menulis
buku The End of Iraq, terbitan 2006, Bremer membuat konstitusi
Irak itu dengan memberikan kuota aliran dan sektarian. Undang-Undang
Dasar baru Irak menekankan betul betapa pentingnya desentralisasi dan
otonomi daerah di Irak.
Melalui UUD baru Irak, pemerintahan
daerah termasuk di dalamnya Kurdistan, berhak mendirikan angkatan
bersenjatanya sendiri; berhak sepenuhnya atas kepemilikan bumi, air,
minyak dan mineral yang terkandung di wilayah Kurdistan. Bahkan
Kurdistan berhak untuk mengelola ladang minyak yang ada wilayah
kekuasaannya, termasuk dalam mengelola pendapatan hasil minyak mereka
meski pemerintahan pusat Baghdad tetap berwenang mengelola produksi
komersial ladang minyak tersebut. Konstitusi permanen ini memberikan
legitimasi terhadap semua proses invasi Amerika Serikat terhadap Irak.
Perlahan Amerika Serikat mulai
memberikan partisipasi yang lebih luas bagi rakyat Irak. Pada bulan
Desember 2011 militer Amerika Serikat mulai ditarik dari Irak. Namun,
dalam hal keamanan dan politik pengaruh Amerika Serikat masih menancap
kuat di Irak.
Amerika Serikat menjaga Irak dengan
mendudukkan seorang diktator sektarian tulen, Nuri al-Maliki. Secara
sengaja pemerintahan-nya melakukan penindasan di wilayah-wilayah yang
secara etnis minoritas di utara dan barat Irak. Jadilah eskalasi
berbasiskan sektarian terus meningkat dengan hadirnya berbagai milisi
bersenjata Syiah bentukan dari al-Maliki yang juga memiliki latar
belakang Syiah yang kuat.
Nuri al-Malaki telah menjadi perdana
menteri Irak sejak pemerintahan transisi berakhir pada tahun 2006.
Kekuatan politik dan militer di Irak sangat terpusat di kantor Perdana
Menteri Nuri al-Maliki. Al-Maliki mendominasi tentara Irak, unit operasi
khusus, intelijen dan departemen pemerintah utama. Semuanya telah
menjadi kantor pribadinya. Pemerintah Irak kemudian berkonsentrasi untuk
menghadapi milisi Kurdi dan Sunni yang membentuk Islamic State of Irak,
yang kemudian berubah menjadi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Persoalan yang sangat mendasar di Irak
adalah sektarianisme yang semakin menguat, apalagi didukung oleh
negara-negara sekitar Irak yang mendorong pihak-pihak yang memiliki
kesamaan etnis/mazhab dengan mereka.
Inilah yang terjadi di Irak yang
merupakan implementasi politik pecah-belah yang dijalankan oleh Barat.
Amerika sebagai aktor utama di Irak di-support oleh Inggris,
penguasa Irak sebelumnya. Mereka tidak menginginkan Irak bersatu-padu.
Mereka menginginkan Irak terpecah-belah. Setiap pecahannya saling
bermusuhan dan bersaing serta saling memerangi satu sama lain.
Warga Irak memiliki latar belakang etnis
yang berbeda. Letak geografis Irak juga terpisah. Adapun Konstitusi
Irak menekankan pada otonomi daerah. Dengan semua itu jadilah setiap
pihak bersikukuh merasa memiliki daerah kekuasaan. Masing-masing
menyerukan secara terbuka pemisahan diri berdasarkan kedaerahan
masing-masing.
Strategi Barat Memecah-Belah Dunia Islam
Barat sangat memahami bahwa persatuan
adalah inti dari kekuatan umat Islam. Khilafah Islam pada masa
kegemilangannya telah menunjukkan posisinya sebagai superpower
pada masa Abad Pertengahan. Memang, Islam berpotensi melahirkan
perbedaan. Namun, dalam Islam ada prinsip “perbedaan adalah rahmat” dan “amrul imam yarfa’ al-khilaf”
(perintah imam [khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat). Prinsip
ini mampu mengembalikan berbagai perbedaan yang muncul di Dunia Islam ke
persatuan dan kesatuan umat.
Barat senantiasa mencari celah untuk
dapat masuk dan memecah-belah umat Islam. Saat Khilafah terakhir berada
di tangan orang-orang Turki (Turki Utsmani), mereka menghembuskan isu
Turanisme vs Arabisme. Dengan ide nasionalisme yang berkembang di Eropa
pasca Perjanjian Westphalia, Dunia Islam pun dipaksa mengadopsi ide
nasionalisme. Jadilah Perang Dunia I momentum untuk menghabisi
keberadaan Khilafah Islam terakhir.
Inggris dan Prancis, dua negara superpower
saat itu, merancang pembagian wilayah pasca perang melalui Perjanjian
Sykes-Picot yang ditandatangani pada tanggal 16 Mei 1916. Perjanjian ini
diberi nama sesuai dengan nama diplomat Prancis François
Georges-Picot dan diplomat Inggris Sir Mark Sykes. Keduanya merundingkan
pemecahan wilayah Khilafah Turki Utsmani tersebut. Khilafah pun dapat
diruntuhkan dan jadilah Dunia Islam terpecah menjadi lebih dari 50
negara.
Apa yang dilakukan Barat tidak berhenti
di situ. Barat sangat memahami potensi persatuan Islam ini. Karena itu
berbagai upaya dilakukan untuk mencegah persatuan kembali umat Islam.
Beberapa strategi kontemporer dapat dirujuk dari rekomendasi Rand
Corporation, sebuah lembaga think-tank neo konservatif Amerika
Serikat yang banyak mendukung berbagai kebijakan Gedung Putih. Dalam
rekomendasi yang disampaikan oleh Cheryl Benard yang berjudul “Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies” secara detil diungkapkan upaya untuk memecah-belah umat Islam.
Tulisan dari Dr. Michael Brant, mantan tangan kanan Direktur CIA yang berjudul “A Plan to Divide and Destroy the Theology”, pun menunjukkan bagaimana CIA sampai mengalokasikan dana sebesar 900 juta US dolar untuk memecah-belah umat Islam.
Bahkan terkait dengan krisis Irak,
Amerika Serikat sudah dalam tahapan pengkondisian legitimasi reinvasi
Amerika dan implementasi peta baru Timur Tengah dengan menjadikan Irak
menjadi tiga negara: Sunni, Syiah, Kurdi. Sebagaimana yang diungkap oleh
Letnan Kolonel Ralph Peters, pensiunan dari National War Academy AS,
dalam buku yang diterbitkan Angkatan Bersenjata Journal pada bulan Juni
2006, peta Irak dalam buku ini telah digunakan dalam program pelatihan
di NATO Defense College untuk perwira militer senior.
Penegasan hal tersebut diungkapkan oleh
Wakil Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang mengklaim bahwa perwujudan
tiga negara bagian federal (berdasarkan kesepakatan etnis dan suku)
telah menjadi opsi penting dalam menyelesaikan krisis di Irak. Joe Biden
dalam pertemuannya Sabtu (1/6/14) dengan sekelompok tokoh Irak di
Washington mengatakan, “Pembentukan tiga negara bagian terpisah
(Syiah-Sunni-Kurdi) adalah untuk menyelesaikan krisis dalam negeri Irak.
Menghadapi Politik Adu-Domba Barat
Barat, khususnya Amerika, telah memiliki
pandangan yang khusus terhadap Timur Tengah sejak terjun ke dalam
politik dunia pasca melepaskan Doktrin Monroe.
Karena itu umat Islam perlu memiliki
kesadaran politik mengenai negara-negara yang memiliki peran penting
dalam percaturan politik internasional. Mereka adalah Amerika Serikat,
Rusia, Inggris, Prancis dan Cina. Selain itu penting juga memahami
keterkaitan (connections) antara orang-orang yang memiliki
hubungan yang erat dan dekat dengan negara-negara berpengaruh tersebut.
Menjadikan seseorang menjadi ‘boneka’ negara asing bukanlah proses yang
instan; butuh pendalaman, interaksi yang intens yang keterkaitan
kepentingan yang saling berkelindan satu sama lain.
Dalam menghadapi politik adu-domba
Barat, sekali lagi, penting ditegaskan mengenai kebutuhan akan persatuan
dan kesatuan umat Islam di bawah naungan Khilafah Islam. Khilafah Islam
yang syar’i dapat menghapus berbagai perbedaan akibat pemahaman asing dengan senantiasa menjadikan akidah Islam sebagai asas kenegaraannya.
Penutup
Alhasil, di sinilah nilai penting seruan
kepada rakyat Irak dan umat Islam pada umumnya; lebih khusus kepada
bangsa Arab yaitu kalangan Kurdi, Sunni dan Syiah yang ada di Irak untuk
waspada terhadap realitas ini. Selama pendudukan Amerika Serikat di
Irak masih kokoh, tidak henti-hentinya strategi politik mereka terus
dijalankan. Mereka akan terus berupaya mencegah Irak menjadi negara yang
kuat, bahkan membuat Irak terpecah-belah menjadi beberapa negara baru.
Irak adalah negeri persatuan umat Islam.
Irak pernah menjadi pusat Khilafah Islam yang membentang dari pantai
barat Afrika hingga kepulauan Nusantara di timur Asia pada masa
Abbasiyah. Karena itu umat Islam harus kembali pada contoh yang
ditunjukkan oleh generasi pertama yang dimuliakan Allah SWT, yaitu
memutuskan perkara dengan apa yang telah Allah turunkan, berjihad di
jalan Allah, memutus hubungan dengan musuh-musuh umat, membuang
jauh-jauh sektarianisme dan berpegang teguh hanya dengan Islam.
Semua persoalan ini bisa diselesaikan
dengan menegakkan kembali Khilafah Rasyidah yang mengikuti metode
kenabian. Dengan Khilafah inilah kaum Muslim menjadi mulia. [Dari berbagai sumber] [H. Budi Mulyana, S.IP., M.Si.; Lajnah Khusus Intelektual DPP HTI]
Posting Komentar untuk "Strategi Barat Memecah-belah Dunia Islam"