Tuntut Kenaikan BBM, Buktikan Rezim Baru Jokowi Tunduk Kepada Barat!
Pernyataan Megawati, yang mendukung rencana menaikkan harga BBM
dengan alasan untuk menekan defisit APBN, menunjukkan sikap
inkonsistensi dan pragmatisme ketua Parpol yang mengklaim partai wong
cilik. Dukungan terhadap kenaikan harga BMM sekaligus membuktikan rezim
baru Jokowi tunduk kepada Barat.
Sebelum pemilu Bank Dunia sudah mewanti-wanti pemenang pemilu harus
menaikkan BBM. Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A. Chaves
mengatakan, Bank Dunia ingin agar pemerintahan yang baru bisa mengurangi
subsidi BBM yang nilainya sekitar Rp 246 triliun.
Seperti yang diberitakan detikfinance (21/7/2014), Direktur Bank
Dunia untuk Indonesia ini mengatakan, subsidi BBM yang besar ini telah
membuat anggaran negara tertekan, dan defisit makin tinggi.“Tidak
terlalu penting siapa yang menang, yang diperhatikan adalah bagaimana
mereka yang terpilih menerapkan kebijakan. Salah satunya, siapa nantinya
yang berani mengurangi subsidi BBM,” ujar Chaves di Energy Building,
Jakarta, Senin (21/7/2014).
Disamping itu, alasan yang dikemukakan bahwa kenaikan BBM merupakan
solusi untuk menyelamatkan APBN dan mengurangi defisit APBN jelas tidak
tepat. Sekaligus menunjukkan tidak berpihak kepada ‘wong cilik’.
Pasalnya kebijakan tersebut dapat dipastikan akan mengakibatkan
penderitaan masyarakat semakin berat.
Apalagi saat ini pemerintah sudah menaikkan tarif dasar listrik dan
juga berencana menaikkan harga LPG 12 kg. Di sisi lain, masih sangat
banyak opsi lain yang dapat ditempuh pemerintah, tanpa harus mengurangi
apa yang disebut pemerintah sebagai belanja subsidi BBM.
Dari sisi pengeluaran, misalnya, APBN saat ini menanggung beban
pembayaran bunga utang dan cicilannya yang mencapai Rp 221 triliun,
terdiri dari pembayaran bunga utang sebesar Rp 154 triliun untuk cicilan
pokok sebesar Rp 66,9 triliun. Utang Pemerintah yang kini mencapai Rp
2.500 triliun per Juni 2014 tersebut, merupakan dampak dari kebijakan
Pemerintah yang menjadikan utang ribawi sebagai cara untuk menambal
defisit.
Celakanya sebagian pembayaran utang-utang pemerintah digunakan untuk
membayar bunga obligasi rekap yang dimiliki oleh sejumlah bank-bank
rekapitalisasi, pasca krisis 1998. Dalam Pandangan Islam, utang-utang
tersebut jelas haram sebab mengandung riba.
Dari sisi pendapatan, jika dikelola berdasarkan syariah, potensi
pendapatan negara ini sebenarnya sangat besar sehingga tidak hanya dapat
menutupi anggaran belanja pemerintah, namun juga berpotensi
menghasilkan surplus yang berlimpah.
Sebagai contoh, jika pengelolaan Sumber Daya Alam negeri ini dikelola
oleh BUMN secara maksimal, maka tanpa harus menarik pajak nilai
pendapatannya sudah sangat besar. Apalagi hanya sekedar menambal apa
yang disebut pemerintah sebagai belanja subsidi BBM yang nilainya hanya
Rp 291 triliun.
Sekedar contoh, untuk batu bara, produksi tahun 2013 mencapai 421
juta ton. Jika harga produksi rata-rata per ton sebesar US$ 20 dan harga
pasar tahun 2014 US$ 74 per ton maka potensi pendapatannya mencapai Rp.
250 triliun.
Contoh lainnya adalah tembaga. Menurut Data BPS, tahun 2012
terdapat 2.385.121metrik ton produksi tembaga di Indonesia. Jika mengacu
pada rata-rata biaya produksi dan harga jual tembaga PT Freeport tahun
2012, sebesar US$ 1,24 dan US$3.6 per pound, maka potensi pendapatannya
sebesar Rp 124 triliun. Dari dua komoditas ini saja potensi
pendapatannya sudah mencapai Rp 374 triliun.
Padahal komoditas tambang di negeri ini amat melimpah, seperti minyak
mentah, gas, emas, nikel yang bernilai ribuan triliun. Namun sayang,
pendapatan dari penjualan komoditas tersebut, tidak dapat masuk ke dalam
APBN saat ini, melainkan hanya sedikit saja dalam bentuk pajak
dan royalty. Bandingkan dengan besar pendapatan SDA migas dan non migas
pada RAPBN 2015 yang masing-masing hanya sebesar Rp 207 triliun dan Rp30
triliun.
Pangkal masalah tersebut adalah, sebagaian besar barang-barang
tambang tersebut dikelola oleh swasta. Di sisi lain peran BUMN amat
minim. Pada industri batu bara misalnya pangsa produksi PT Bukit Asam
hanya lima persen dari total produksi batu bara nasional.
Demikian pula dengan minyak mentah dan gas yang dikelola oleh
Pertamina yang kurang yang dari 20 persen. Ini merupakan akiabat dari
paradigma kapitalisme yang diterapkan Negara ini dalam pengelolaan
sektor pertambangan yang menurut Islam seharusnya dikelola oleh negara.
Walhasil, kebijakan menaikkan harga BBM dengan maksud untuk
menyehatkan APBN dan mengurangi defisit APBN, jelas sangat absurd.
Kebijakan tersebut selain akan mendzalimi rakyat, juga menunjukkan
‘kemalasan’ Pemerintah dalam menjalan banyak alternatif lain yang justru
menguntungkan pemerintah dan rakyat.
Lebih dari itu, upaya tersebut merupakan bagian dari strategi
pemerintah, yang didukung dan selalu ‘diingatkan’ oleh Bank Dunia, IMF,
dan berbagai lembaga lainnya, serta tentu saja para investor asing,
untuk menyempurnakan liberalisasi di sektor migas di negeri ini
khususnya di sektor hilir.
Rencana kebijakan kenaikan BBM, merupakan implikasi penerapan sistem
ekonomi kapitalisme yang digunakan dalam mengelola ekonomi negara ini
termasuk dalam penyusunan APBN. Jadi, siapapun rezimnya selama masih
tunduk kepada Kapitalisme, akan bersikap sama, termasuk rezim Jokowi
yang mengklaim merakyat.
Untuk itu satu-satu jalan untuk membebaskan diri penjajahan ini
adalah dengan menegakkan Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam.
Berdasarkan syariah Islam, barang-barang tambang yang jumlahnya melimpah
adalah milik umum (rakyat) yang tidak boleh diserahkan kepada swasta
apalagi asing.
Negara seharusnya mengelolanya dengan baik dan hasilnya digunakan
untuk kepentingan rakyat. Walhasil, penegakan Khilafah seharusnya
menjadi agenda utama bangsa ini untuk membebaskan diri dari penjajahan
Kapitalisme. [Muhammad Ishaq, Lajnah Mashlahiyah DPP Hizbut Tahrir]
Posting Komentar untuk "Tuntut Kenaikan BBM, Buktikan Rezim Baru Jokowi Tunduk Kepada Barat!"