KHILAFAH: Berantas Liberalisasi Migas dan Mafia BBM
Hukum merupakan produk politik. Sementara politik tak bisa sepenuhnya dilepaskan dari kepentingan ekonomi yang dominan. Ketika kepentingan ekonomi yang digagas adalah ekonomi neoliberal, sedangkan lembaga politik yang ada diisi oleh politikus dan teknokrat pro market, maka undang-undang yang dihasilkan pun akan mengandung semangat liberalisasi.
UU No 22 tahun 2001 tentang migas, telah dibuktikan oleh Mahkamah Konstitusi mengandung unsur liberalisas dalam keputusan Judicial review UU No 22 tahun 2001,pada Desember 2004 lalu. Bukan itu saja, dalam pelaksanaanya, UU migas itu pula tengah menggerogoti kedaulatan negara dan mengancam ketahanan energi kita. Benarkah?
Akar Liberalisasi Migas
Dalam sejarah ada sebagian orang yang disebut sebagai pahlawan besar bagi perekonomian Indonesia, dan saat mati kemudian dimakamkan di taman makam pahlawan Kalibata. Mohammad Sadly (Penggagas Kapitalisme Pancasila), barang kali salah satunya. Prestasinya adalah bertindak sebagai perancang RUU no 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA).
Namun apakah benar RUU itu dirancang olehnya, sebagai inovasi murni anak bangsa dengan tujuan untuk memajukan pertumbuhan ekonomi Indonesia?
Jawabannya sungguh mengejutkan. Ternyata tidak. Melainkan merupakan inovasi United States Agency for International Development (USAID). Diminta oleh Forbes Wilson dalam rangka Freeport berinvestasi di Indonesia dengan syarat :(1) Investasi dilindungi (2) Menerima iklim investasi (3) Tanpa bagi hasil kecuali royalti (I. Noorsy/Nasionalisasi vs kebebasan investasi/2009).
Bredley simpson dalam bukunya Economicwithguns mengatakan,“perancang UU no 1 tahun 1967 adalah State Department. Diserahkan pada 25 Desember tahun1966 oleh kedutaan besar Amerika kepada M. Sadlitanpa banyak perubahan naskah,dan lahirlah UU no 1 tahun 1967 (Bradley R Simpson, 2008: 232).
Bredley simpson adalah seorang P.hd, yang bekerja sebagai pemelihara dokumen-dokumen AS. Semasa kerjanya dia menemukan dokumen yang memuat draft RUU No 1 tahun 1967, dan ditulis sebagai disertasinya, hingga mendapat gelar doktor.
Yang mengagumkan dari UU no 1 tahun 1967 sebagai pangkal liberalisasi yang sarat dengan kepentingan AS ini adalah, UU ini kembali diterapkan diera Reformasi. Bahkan tiga syarat dalam berinvestasi yang dimuatnya, tanpa banyak perubahan, dimasukan dalam UU no 22 tahun 2001. Benarkah? Mari kita buktikan!!
Seperti yang dilansir pada harian Kompas (5 September 2008),Pada hari Kamis (4/9/2008), dilakukan pemanggilan saksi-saksi oleh Panitia Angket Dewan Perwakilan Rakyat. Ichsanuddin Noorsy, sebagai saksi ahli di Panitia Angket, menunjukkan sejumlah dokumen yang semakin menguatkan adanya intervensi asing tersebut.
Dokumen itu, antara lain, semacam radiogram (teletex) dari Washington kepada Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia, J Stapleton Roy untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan seperti tertulis di dokumen itu.
Dalam dokumen tersebut, antara lain, tertulis: “naskah RUU Minyak dan Gas diharapkan dikaji ulang parlemen Indonesia pada bulan Januari. Dokumen itu dikategorikan confidential yang ditindih cap unclassified.
Selain itu diajukan pula dokumen laporan Bank Dunia berjudul Proyek Energi Indonesia yang disiapkan 17 November 2000. Dalam dokumen itu tertulis nilai proyek 730 juta dollar AS. Sebanyak 310 juta dollar AS merupakan dana pemerintah dan 420 juta dollar AS di antaranya dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD).
Sebelumnya, Panitia Angket juga mendapatkan data bahwa USAID, lembaga swadaya AS, migas itu, selain tertuang di letter of intent, juga tertuang di ADB (Bank Pembangunan Asia), USAID, dan Bank Dunia (political leadership: I.Noorsy/ Runtuhnya Kedaulatan Energi/live streaming/www.MetroTv.com/2013)
Cara melihat sederhana intervensi asing berdasarkan dokumen-dokumen tersebut terhadap UU 22 tahun 2001, seperti ini.
USAID dan ADB berkerja sama untuk membuat drafting UU Migas, sedangkan Bank Dunia memberikan pinjaman untuk sektor reformasi energi, serta mendukung semua peraturan yang mendukung liberalisasi semua kebijakan yang menguntungkan mereka.
Dalam dokumen tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa “USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000”, sehingga jelaslah besarnya intervensi asing khususnya USAID dalam pembuatan UU Migas Nomor 22/2001.
Rekomendasi tersebut diajukan sebagai draf UU Migas kepada parlemen pada tahun 1999. Dengan berlandaskan pada semangat kompetisi, berorientasi pasar, menghilangkan intervensi pemerintah, serta konsisten mengikuti auturan-aturan yang berlaku di internasional.
Kemudian dilanjutkan pada program energy and mining development, Loan No. 4712-IND tahun 2003 melalui kucuran utang luar negeri sebesar US$ 141 juta untuk proyek Java Bali Power Sector Restructuring and Strengthening Project untuk mendorong pemerintah menghilangkan subsidi BBM secara bertahap.
Tujuan dari proyek ini adalah untuk mendukung pemerintah menghilangkan subsidi BBM, serta membangun pondasi untuk sektor energi yang layak secara komersial.
Intervensi asing itu semakin jelas pembuktiannya, ketika kita melihat pada keputusan Mahkamah Konstitusi pada Desember 2004. Dimana pada tanggal 19 Desember MK membatalkan secar total, UU No 22 tahun 2001. Tapi anehnya pembatalan itu kemudian dibatalkan kembali. Pada tanggal 21, MK hanya membatalkan beberapa pasal darinya, Diantaranya Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (3). (Risalah sidang MK RI/perihal: Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, 21/12/2004)
Bisa dilihat bahwa pengolahan migas nasional sarat dengan agenda neoliberal atau liberalisasi gaya baru. Dari situ sesungguhnya, negara kehilangan perannya, dan sektor migas nasional beralih ke tangan asing. Hal ini diakibatkan oleh UU no 22 tahun 2001, yang melahirkan tiga masalah mendasar. Tata kelola terhadap sumber daya alam yang salah, akibatnya sektor produksi dikuasai asing dan pasar domestik dikuasai oleh asing.
Dampaknya adalah negara kehilangan kedaulatannya terhadap sumber daya migas, sehingga produksi migas terus menurun dan membuat bangsa yang memiliki minyak melimpah ini menjadi net importir. Dan yang paling berat adalah harga pemasaran migas dalam negeri disesuaikan dengan harga pasar, dari sana imbas yang paling terkini dirasakan masyarakat adalah kenaikan harga BBM, kenaikan LPG 12 kg dan kenaikan tarif dasar listrik.
Mafia BBM
Akhir-akhir ini kita disibukan dengan perbincangan seputar mafia migas, terkhusus dalam perdagangan minyak impor di PT. PETRAL Singapura. Anak perusahan PT. PERTAMINA yang dibentuk atas kesepakatan parlemen dan pemerintah, untuk menjamin suplay pasokan minyak dalam negeri.
Keberadaan mafia migas ini kalau diteliti lebih jauh, akar persoalaannya terletak pada sistem tata kelola migas nasional yang salah.
Sebab dengan UU No 22 tahun 2001, menyebabkan produksi minyak anjlok, karena investasi eksplorasi yang anjlok. Sebab dalam UU migas pada pasal 31, mengamanatkan pembayaran pajak bagi pelaku usaha hulu migas sebelum menemukan hasil. Ini tentunya akan menciptakan iklim investasi yang buruk.
Selain itu kelangkaan kilang minyak, membuat Indonesia harus mengimpor BBM. kapasitas kilang di Indonesia hanya 1,1 juta barrel/hari. Sedangkan kebutuhan BBM dalam negeri sekitar 1,3 juta barel perhari. Jika dihitung dengan impor minyak mentah maka menjadi 1,6 juta barel perhari (Dr.Qurtubi: Kontroversi kenaikan BBM/ seminar BBM IBII/Jakarta 21 maret 2012).
Dari ketergantungan Indonesia terhadap minyak impor inilah, diduga dimanfaatkan sejumlah pihak untuk memonopoli keuntungan dari impor minyak dengan cara menaikan harga impor.
Kalau mau dilihat dalam perspeketif Ideologis, mafia migas ini, lahir sejalan dengan penghancuran konstitusi dan liberalisasi sektor migas. Sebab terbukti dengan UU No 22 tahun 2001, mafia semakin kuat mencengkeram seiring dengan melemahnya peran negara dalam pengeloaan migas nasional.
Dampaknya, migas dikuasai dan dikendalikan oleh modal asing, bekerjasama dengan sindikat dalam negeri dengan memanfaatkan mafia di dalam institusi penyelenggara migas di pemerintahan dan badan usaha migas. Sehingga dengan mudah, merampas kekayaan minyak nasional secara legal melalui kebijakan politik, hukum, dan mencuri kekayaan negara secara ilegal melalui korupsi, mencuri BBM subsidi, dan sebagainya.
Mafia migas hidup dalam seluruh rantai pengelolaan migas, mulai dari hulu hingga ke hilir. Buktinya sederhana saja, produksi minyak saat ini anjlok hingga hanya dikisaran 800.000-900.000 barel per hari, padahal kandungan minyak di bumi Indonesia masih 9,3 miliar barel. Anehnya ditengah anjloknya produksi, cost recovery meningkat dua kali lipat.
Bukan saja di hulu, Mafia migas juga mewabah di hilir. Para mafia hilir ini menggerogoti mulai dari jatah minyak milik negara yang diserahkan kontraktor, dana subsidi dari APBN, pencurian BBM bersubsidi yang menjadi jatah rakyat dijual ke industri dalam dan luar negeri.
Buktinya sederhana saja, selama ini pemerintah tidak pernah transparan tentang harga produksi BBM, khususnya jenis Premium dan solar. Sementara pemerintah seenaknya berencana untuk menaikan harga BBM. Coba kalu ada transparansi, supaya masyarakat tau apakah mafia migas itu ada atau sudah mati.
Selain itu terkait dengan mafia migas yang main pada perdagangan minyak impor di PT. PETRAL Singapura, ini adalah imbas dari anjloknya produksi dan minimnya kapasitas kilang minyak. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan domestik, Indonesia harus impor dari Singapura. Disini ketemu sama yang namanya mafia migas
Minyak yang diimpor oleh Indonesia, awalnya berasal dari Arab dan Afrika kemudian diolah di Singapura. Parjalanan minyak sebelum sampai di Indonesia, harus melewati 5 broker yang menjadi perantara minyak impor kepada PT. PETRAL.
Disinilah ruang gerak mafia migas itu, menurut Iwan Piliang (investigator mafia migas) diketahui PETRAL sebagai perantara impor minyak lewat treder me mark up harga minyak menjadi U$ 113,95/barel, padahal harga normalnya adalah US$ 80-100 per barel. Dari hasil mark up harga itu anggaran negara untuk impor minyak, memiliki selisih US$ 5-30 per barel. Jika satu hari Indonesia harus mengimpor minyak sekitar 800-900 ribu barel maka dirata-ratakan kerugian uang negara sebesar 100 milyar dollar.
Bisa dilihat bahwa, Mafia migas hidup dalam seluruh rantai pengelolaan migas, mulai dari hulu hingga ke hilir, bahkan sampai pada rana ekspor impor. Bukankah ini adalah sebuah kejahatan tersistematis?
Oleh sebab itu dari persolan mafia migas ini, tidak dapat disederhanakan sebagai persolan person. Tapi kejahatan pencurian uang negara secara tersimetasis, terstruktuk dan massif (TSM). Sebab jauh mengakar dalam institusi penting penyelenggara migas, seperti ESDM, SKK migas, Badan Penyelenggara Hulu (BPH) migas, Pertamina dan PN Gas. Kemudian didukung pula oleh pemerintah dan lembaga politik.
Oleh sebab itu pemberantasan mafia migas tak bisa dengan cara pendekatan person to person, tapi sistemik. Dimulai dari revolusi mental, reformasi struktural dan ditutup dengan revolusi sistemik.
Khilafah Solusinya
Jadi bisa dilihat jelas, persolan libealisasi migas dan mafia BBM ini adalah kejahatan terstruktur, tersistematis dan massif (TSM), yang berawal dari kompromi busuk antara korporasi dan birokrasi (Korporatokrasi). Neoliberalisme sukses menjadikan birokrat, sebagai agen-agen iblis berwujud manusia, untuk menjalankan mekanisme korporatokrasi, meskipun dengan cara menginjak badan 250 juta rakyatnya. Mereka mengiyakan adanya penjajahan bagi negeri ini, lalu sambil bermanis muka dimedia mengopinikan tentang free market mechnisme untuk kemerdekaan yang lebih tinggi di pentas gobal.
Berbeda dengan neoliberalisme yang sarat kepentingan individu dan korporasi, Islam memandang bahwa SDA (Energi/Minyak-Gas) adalah milik umat sehingga harus dikelola oleh negara dan seluas-luasnya hasilnya diberikan kembali kepada rakyat. Rakyat bisa menikmatinya dengan gratis atau harga murah.
Oleh karena itu, rakyat harus sadar dan menyelamatkan bangsa ini dengan sistem yang adil. Itulah syariah Islam yang berasal dari Sang Pencipta bumi dan seisinya yang diterapkan dalam bingkai Khilafah Rasyidah ala minhajin nubuwah. Wallahu’alam bis showab. [Echal Valero(Koordinator Pengkaderan Gema Pembebasan Kota Makassar)]
Posting Komentar untuk "KHILAFAH: Berantas Liberalisasi Migas dan Mafia BBM"