Mendidik Anak : Antara Penghargaan dan Hukuman
Anak adalah aset generasi mendatang yang sangat berharga, karena di tangan merekalah tergenggam masa depan umat. Oleh karena itu merupakan suatu keharusan bagi kita memperhatikan dan mempersiapkan strategi pengasuhan dan pendidikan yang baik untuk anak-anak, dalam rangka mewujudkan generasi masa depan yang berkualitas: generasi yang menjadikan kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah di atas kecintaan-kecintaannya yang lain, yang menjadikan halal dan haram sebagai landasan perbuatannya, serta yang doa-doanya senantiasa dikabulkan oleh Allah Swt. dan senantiasa mengiringi langkah ayah-bundanya walaupun keduanya telah tiada.
ilustrasi |
Bimbingan atau pembinaan awal yang harus dilakukan pada anak-anak adalah penanaman akidah Islam yang kokoh dan mengakar pada anak, menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, al-Quran dan hadis-hadis Rasul. Di samping itu penanaman akhlak dan adab juga merupakan hal yang penting dalam proses pembinaan ini. Seiring dengan itu, pembinaan perasaan dan kejiwaan anak merupakan hal yang tidak boleh kita abaikan.
Tidak sedikit di antara para orangtua yang lebih banyak memperhatikan aspek intelektual atau kemampuan berpikir anak saja, tetapi sering melupakan sisi perasaan dan kejiwaan si anak dalam pembentukan kepribadiannya. Mereka, misalnya, sering menegur/menghukum si anak ketika melakukan kesalahan tetapi jarang sekali memberikan penghargaan kepada anak ketika berprestasi. Padahal perasaan dan kejiwaan si anak merupakan hal yang penting yang harus diperhatikan dalam proses tumbuh kembang anak.
Pada ingatan setiap anak selalu terdapat catatan lengkap tentang hubungan mereka dengan orangtuanya. Catatan tersebut ada dua macam: Pertama, catatan kebahagiaan, yaitu jika ornagtua memberikan perhatian dan kasih sayang yang membahagiakan hatinya. Kedua, catatan yang melukiskan perasaan marah ketika mendapat pandangan masam, teguran, atau omelan orangtua. Keduanya selalu dibandingkan setiap saat; ditimbang mana yang lebih berat. Jika jumlah 'bahagia' lebih banyak maka hubungan anak dan kedua orangtuanya akan berlangsung harmonis. Sebaliknya, jika timbangan kemarahan lebih berat maka hubungan antar orangtua-anak akan terganggu. Bahkan jika angka kemarahannya jauh melampaui angka kebahagiaannya maka tidak jarang akan muncul sikap pembangkangan, berkata kasar, atau sengaja melanggar aturan, sering mimpi buruk, dan sebagainya.
Perasaan anak bisa dibentuk sedemikian rupa dan hal ini akan sangat berpengaruh terhadap jiwa dan kepribadiannnya. Jika perasaan dan kecenderungan anak dibina secara seimbang maka kelak ia akan menjadi anak yang lurus pada masa depannya maupun dalam kehidupannya secara utuh. Namun, jika tidak seimbang maka akibatnya adalah sebaliknya. Berlebihan akan menjadikannya begitu manja dan tidak mampu memikul beban-beban kehidupan dengan sungguh-sungguh, sedangkan pengurangan akan menyebabkannya menjadi manusia yang keras terhadap orang yang ada di sekelilingnya. Oleh karena itu, pembinaan perasaan ini mempunyai urgensi yang begitu besar di dalam membina dan membentuk kepribadian anak. Ayah dan ibunya memainkan peran terbesar dalam pembinaan ini. Sebab, keduanya merupakan sumber mendasar bagi pembinaan perasaan ini; keduanya merupakan pilar yang menjadi acuan sang anak untuk menikmati hangatnya perasaan dan nikmatnya kasih sayang dari seorang ibu dan ayah.
Anak-anak memang membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang lebih banyak dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Hanya saja kadang-kadang perhatian dan kasih sayang tersebut diberikan kurang atau bahkan tidak tepat. Tidak sedikit orangtua sering memarahi atau mengomeli anaknya ketika melakukan kesalahan dan jarang sekali memberikan pujian atau hadiah ketika si anak melakukan suatu hal yang baik dengan alasan mendidik anaknya agar menjadi kuat dan tidak manja. Sebaliknya, ada juga yang memberi anak hadiah dalam bentuk materi secara berlebihan dan tidak pernah memarahi atau menegurnya dengan alasan yang sama. Bagaimana sesungguhnya Islam mengajari kita dalam masalah ini dan bagaimana pula Rasulullah saw. memberikan contoh kepada kita tentang hal ini.
Rasulullah saw., dalam pergaulannya dengan anak-anak, baik cucunya maupun anak-anak lain, senantiasa menunjukkan kasih-sayangnya secara seimbang. Hal yang sangat menonjol dalam pergaulannya terhadap anak-anak adalah senantiasa membahagiakan mereka. Manifestasi perwujudan kasih sayang beliau adalah dalam bentuk penghargaan ataupun teguran halus ataupun hukuman sesuai dengan usia dan keadaan si anak. Penghargaan yang diberikan oleh Rasulullah pun tidak hanya dalam bentuk hadiah berupa materi semata, seperti kurma, misalnya; tetapi kecupan, belaian, dan pelukan. Rasulullah pun tidak segan-segan memberikan hukuman terhadap anak ketika melakukan kesalahan, dalam bentuk teguran halus ataupun hukuman fisik sesuai dengan usia dan kondisi si anak. Mari kita telusuri hadis-hadis Rasulullah tentang hal ini:
Aisyah ra. bertutur sebagai berikut:
Pernah datang beberapa orang Badui menghadap Rasulullah dan bertanya, "Apakah engkau suka mengecup (mencium) anak-anakmu? Beliau menjawab, "Ya." Mereka kemudian berkata, "Tapi, demi Allah, kami tidak pernah mengecup anak-anak kami." Rasulullah lalu bersabda, "Aku tidak punya daya apa-apa bilamana Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari dalam hatimu." (HR al-Bukhari dan Muslim).
Abu Hurairah ra. juga berkata:
Rasulullah pernah mengecup Hasan bin Ali (cucu beliau), sedangkan di sampingnya duduk Aqra' bin Habis at-Tamimi. Lalu Aqra' berkata, "Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh anak, namun aku tidak pernah mengecup salah seorang pun dari mereka." Kemudian Rasulullah memandang kepadanya seraya bersabda, "Siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi." (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kecupan mempunyai peran yang sangat efektif dalam menggerakkan perasaan dan kejiwaan anak, juga mempunyai peran yang besar dalam menenangkan gelombang amarahnya. Dengan kecupan akan lahir pula rasa keterikatan yang erat di dalam mengokohkan hubungan yang tua dengan yang muda. Kecupan merupakan cahaya benderang yang akan menerangi hati sang anak, melonggarkan dadanya, serta menambah hangatnya interaksi mereka diri dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Dalam beberapa hadis dapat kita temui bagaimana Rasulullah saw. menyentuh perasaan anak dengan cara membelai kepala atau pipi mereka sehingga mereka merasa mendapatkan sentuhan nikmat kasih sayang dan kelembutan. Mush'ab bin Abdullah pernah berkata, "Abdullah bin Tsa'labah dilahirkan empat tahun sebelum Hijrah. Ia dibawa kepada Rasulullah saw. pada tahun Fath (Penaklukan kota Makkah). Beliau pun membelai wajahnya dan memohonkan keberkahan baginya."
Jabir bin Samurah-yang ketika itu masih seorang anak kecil-juga pernah berkata, "Aku pernah mengerjakan shalat zuhur bersama Rasulullah saw. Kemudian Beliau keluar menuju rumah keluarganya dan aku turut keluar bersamanya. Beliau kemudian bertemu dengan kedua anak kecil, lalu mengusap kedua pipiku. Selanjutnya kedua anak tadi menghadap Rasulullah, lalu Beliau pun segera mengusap kedua pipi mereka satu persatu." (HR Muslim).
Pemberian hadiah memiliki pengaruh yang baik terhadap jiwa, terutama pada anak-anak, asalkan diberikan secara tidak berlebihan. Rasul bersabda: Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai. (HR ath-Thabrani).
Abu Hurairah juga menuturkan bahwa Rasulullah saw., ketika dianugerahi buah yang pertama, beliau berdoa, "Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami dalam kota kami ini, pada buah kami, mud kami dan sha' kami, yang berupa keberkahan demi keberkahan." Selanjutnya beliau memberikan buah kepada anak terkecil yang datang kepada beliau.
Pujian terhadap anak memiliki pengaruh yang sangat dominan terhadap dirinya; ia akan menggerakkan perasaan dan inderanya selama pujian atau sanjungan tersebut diberikan pada waktu dan tempat yang tepat serta wajar dan tidak berlebihan. Jiwanya akan menjadi riang dan juga senang dengan pujian ini untuk kemudian semakin aktif. Rasulullah saw., sebagai manusia yang mengerti etul tentang kejiwaan manusia, telah mengingatkan akan pujian yang memberikan dampak positif terhadap jiwa anak; jiwanya yang akan tergerak untuk menyambut panggilan dan melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya. Rasulullah saw. pernah memberikan pujian kepada seorang anak yang belajar bahasa Arab dan bahasa Suryani untuk membantu Nabi saw. Rasulullah saw. memuji anak tersebut dengan mengatatakan, "Ia adalah sebaik-baik anak muda."
Demikianlah, Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada kita bagaimana menghargai dan membahagiakan anak-anak dalam rangka mendidik perasaan dan kecenderungannya; dengan memberikan penghargaan berupa pujian, belaian kasih saying; menciumnya, mengusap kepalanya, memberi hadiah, dan masih banyak lagi. Hanya saja bukan berarti bahwa Islam tidak membolehkan kita memberikan hukuman kepada anak, bukan berarti pula bahwa Rasulullah tidak pernah marah atau tidak pernah memberikan 'pelajaran' atau hukuman kepada anak-anak.
Dalam Ash-Shahîhayn disebutkan bahwa Abu Hurairah ra. berkata: Hasan bin Ali pernah mengambil sebiji kurma dari kurma sedekah dan kemudian hendak menyantapnya. Seketika itu pula Rasulullah bersabda, "Kakh…Kakh… Buang! Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak makan barang sedekah?!"
Dalam hadis ini terdapat kata lembut mengenai cara\memberikan pelarangan, yaitu dengan menggunakan kata: kakh… kakh!
Ummu Salamah juga pernah berkata: Rasulullah pernah melihat salah seorang anak kami yang bernama Aflah. Ketika ia sujud, ia suka meniup tanah/pasir, maka beliau menegurnya dengan lembut, "Wahai Aflah, tempelkan mukamu ke tanah." (HR at-Tirmidzi).
Namun demikian, Islam pun tidak melarang orangtua memberikan hukuman secara fisik kepada anak ketika teguran halus tidak membuahkan hasil, tentu saja sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Pada tahap awal Rasulullah saw. memerintahkan kepada para Sahabat untuk menakut-nakuti si anak dengan menggantungkan cemeti, hanya sekadar untuk memperlihatkannya saja agar si anak bergegas untuk memperbaiki diri, berlomba untuk berpegang pada yang benar, serta segera memperbaiki perilakunya. Ibnu Abbas menyatakan, "Gantungkanlah cemeti yang bisa dilihat oleh keluargamu agar hal itu menjadi peringatan bagi mereka." (HR ath-Thabrani).
Kemudian tahap berikutnya adalah dengan menjewer telinga si anak. Ini merupakan hukuman fisik pertama bagi si anak dan ini pun dilakukan ketika si anak mendekati usia sepuluh tahun. Ibnu Sunni menuturkan riwayat dari Abdullah bin Burs al-Mazini bahwa ia berkata: Ibuku pernah mengutusku untuk menghadap Rasulullah saw. dengan membawa setangkai anggur, lalu aku memakan sebagiannya sebelum aku sampaikan kepada beliau. Ketika aku sampai, Beliau menjewer kupingku dan berkata, "Wahai anak yang tidak amanah." (Imam an-Nawawi dalam Al-Adzkâr).
Dalam beberapa hadis dijelaskan, hukuman dalam bentuk fisik mulai dilakukan kepada anak ketika si anak telah berusia 10 tahun. Dalam hal ini, wajib dipahami bahwa pukulan yang diberikan kepada anak bukan pukulan yang membahayakan, bahkan sampai menimbulkan kecacatan atau kematian. Sebab, fungsi pukulan di sini adalah untuk mendidik atau pendisiplinan (ta'dîb) bukan untuk menyiksa si anak.
Amr bin al-Ash menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Suruhlah anak-anakmu menjalankan ibadah shalat jika mereka sudah berusia tujuh tahun. Jika mereka sudah berusia sepuluh tahun, pukullah mereka jika tidak mau melaksanakan shalat. (HR al-Hakim dan Abu Dawud).
Hadis ini mengandung cara mendidik anak yang dilandasi dengan kasih sayang dan menomorduakan hukuman. Rasulullah saw. terlebih dulu membiasakan anak mengerjakan shalat sejak berusia 7 tahun. Kalau 3 tahun setelah itu ternyata mereka belum juga shalat sangat wajar jika diberi hukuman. Waktu 3 tahun dipandang sudah cukup untuk mendidik kebiasaan shalat. Walhasil, Islam mengajarkan kepada para orangtua untuk memberikan pengertian, pemahaman, dan pembiasaan dalam rentang waktu yang cukup panjang dengan penuh kasih sayang. Wallâhu a'lam bi ash-shawâb. [Najmah Saiidah]
Sumber : Al Waie 2006
Posting Komentar untuk "Mendidik Anak : Antara Penghargaan dan Hukuman"