Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Begal Marak, Hukum Mangkrak? (Tinjauan Retrospeksi)

Kondisi mencekam dan hilangnya rasa aman, masih menghantui masyarakat. Pasca pembakaran begal dan penangkapan komplotan begal oleh pihak keamanan. Kondisi tidak aman ini juga memberikan inspirasi bagi masyarakat untuk berhati-hati. Terlebih bagi mereka yang sering keluar malam dan melewati tempat yang sering terjadi tindak kejahatan. Fenomena ini dimanfaatkan pula untuk membuat komunitas #pulangkonvoi, mempersenjatai diri, dan membekali dengan ilmu beladiri.

ilustrasi
Harus diakui bahwa tinjauan retrospeksi memiliki motif ajakan bahkan boleh dipahami juga sebagai perintah yang harus diwujudkan bersama. Sebagaimana yang diketahui oleh sebagian besar masyarakat dewasa ini, maraknya kasus pembegalan di beberapa tempat / locus delictie yang dilakukan secara tersistematis dan dilakukan oleh pelaku yang usianya relatif sangat muda. Penegak hukum seolah – olah tertatih – tatih dalam mengikuti langkah – langkah sistematis yang dilakukan pelaku Begal. Jika benar demikian maka nantinya ketika “musim” begal sudah berlalu, penegak hukum akan menjadi (lagi – lagi) pahlawan Negara. Namun tidak dapat dipungkiri tetap saja kejahatan yang lebih besar tidak terungkap. Mengapa itu semua terjadi? Perkembangan hukum dewasa ini khususnya di Indonesia, dari berbagai kenyataan peristiwa hukum juga fakta penegakan hukum, belum mampu memberantas secara tuntas. Sistem aturan yang ada harapannya menjadi perisai kejahatan, namun apa daya itu hanya tinggal kenangan semata.

Kerusakan  wajah dunia hukum dan perilaku naif praktisi hukum di Negara Indonesia, menambah sederet pekerjaan rumah (PR) bagi Kapolri yang akan terpilih. Jangan sampai semangat pihak keamanan dalam memberantas kejahatan diliputi politisasi untuk menaikan citra polisi. Ingatlah tugas pihak kemananan tidak sampai di sini, ada tugas berkelanjutan demi keamanan negeri. Apa sebenarnya yang menjadi pangkal masalah terjadinya kejahatan yang sedang “panas” diberitakan saat ini? Hal inilah yang menjadi PR bersaa untuk mencari solusi terbaik.

Begal

Begal adalah istilah yang digunakan masyarakat tradisional yang kemudian berkembang menjadi istilah terhadap pelaku kejahatan yang mencegat korban dan melakukan perampasan harta si korban. Tidak jarang begal menggunakan senjata tajam bahkan senjata api dalam memudahkan aktifitasnya. Uraian redaksi pada berita-berita tentang Begal, dapat diketahui selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan moral yang dipahami secara Universal di dunia ini sebagai ungkapan pentingnya keamanan dan ketertiban umum. Padahal ada upaya tersistematis pula yang harus dipahami atas lahirnya istilah Begal di tanah air. 

Sebagai masyarakat hukum yang tentunya mendefinisikan produk hukum dengan bahasa hukum, dalam WVS (Wetboek van Strafrecht) atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada pengertian dalam ketentuan umumnya yang menggunakan istilah Begal. UU Hukum Pidana dalam mengklasifikasikan kejahatan adalah berdasarkan jenis kejahatannya. Jika ditilik dalam KUHP maka begal termasuk dalam katagori Pencurian. Secara khusus Begal yang selalu diidentikan dengan kekerasan atau mengambil barang yang bukan haknya baik sebagian maupun keseluruhan yang didahului, diikuti atau disertai kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud mempersiapkan dan mempermudah pencuriannya. Dalam hal tertangkap tangan maka persiapan yang dilakukan pelaku adalah dimaksudkan untuk melarikan diri sendiri atau peserta lain atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya itu. Hal tersebut diaturKUHP Pasal 365 yang ancaman hukumannya adalah mati atau seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun apabila menyebabkan korban luka berat atau meninggal dunia.   


Bersandar pada pemahaman sosio-religius begal di Indonesia tidak pernah menemukan titik terang karena seiring dengan “canggih”nya hukum, maka Begal-pun juga memper”canggih” aksinya. Karena fakta inilah tinjauan sosio-religius akan mengungkap betapa aspek religius telah menghilang dalam penegakan hukum sehingga penegakannya dapat dikatakan mirip debu dan sapu. Manakala sapu itu menghilangkan debu, alam tidak mungkin tinggal diam dengan menghentikan debu-debu lain sebagai “klient” sebuah sapu. Solusi mengatasinya tidak boleh tidak harus bersandar pada sesuatu yang fitrah dan alami pada diri manusia. Dan manusia sebagaimana diketahui bersama adalah makhluk yang lemah, terbatas dalam aktifitasnya dan butuh kepada yang lain dalam hidupnya. Sedangkan Begal adalah bukti nyata hilangnya aspek religius dalam proses penegakan hukum di tanah air. Dengan hilangnya aspek religius tersebut bagaimana mungkin masyarakat mendambakan keamanan dan ketertiban yang hakiki sebagai wujud masyarakat berperadaban mulia.

Peristiwa penangkapan dan pemberantas begal telah menjadi indikasi politis pencitraan aparat hukum dan terbukti menjadi istilah yang ditakuti yang membayangi di benak masyarakat. Disadari produk hukum Indonesia yang memang berasal dari buah pemikiran manusia tak mampu menyelesaikan masalah. Karena produk hukum itu berdasr pada akal manusia dan selera manusia yang terbatas. Maka di sinilah dibutuhkan hukum yang memang bersumber dari wahyu Allah swt. Itulah keagungan hukum Islam. Allah Swt sebagai Dzat Pencipta dan Pengatur kehidupan mengetahui seperangkat aturan yang diperlukan manusia. Karena itu sungguh naif jika membuat hukum tanpa menyertakan sumber quran dan sunnah.  

Jika masyarakat menengok sejarah kebelakang, umat hidup damai sesuai fitrah alamiahnya yaitu manusia! Bukan makhluk berpenampilan manusia yang beraktifitas seperti binatang yang tidak berakal. Saling makan memakan, sakit menyakiti, bunuh membunuh yang membuat harga manusia menjadi tidak lebih mahal dari 1 gram emas bahkan kurang dari itu. Orang-orang yang tidak satu aqidah (kafir) dalam Islam disebut (ahlu-Dzimmi) yang tetap aman dalam pengayoman pemimpin Universal (al-Khalifah) hanya diganti dengan membayar pajak saja. 

Perbandingan Hukum Manusia vs Islam

Begal sebagaimana dalam pengertian Pidana hakikatnya adalah pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Persoalannya adalah apakah peraturan dalam KUHP Indonesia yang diwariskan oleh Negara Belanda tersebut telah secara total dan menyeluruh sebagai perangkat pengaman masyarakat? Belum! Bahkan tidak akan pernah peraturan yang sedemikian itu akan menjadi pengaman masyarakat. Mengapa? Jelas sekali karena manusia yang hakikatnya lemah, terbatas dan membutuhkan yang lain tidak akan pernah sanggup mengatur manusia itu sendiri. Jika berbicara persoalan daya tahan, ibarat kendaraan bermotor yang pada intinya terbuat dari bahan yang kuat, berusia lebih panjang ketimbang yang mengendarainya tidak pernah mungkin bisa membuat manual booknya sendiri. Bagaimana mungkin manusia mampu membuat efek jera pada Begal jika hukumannya hanya mengurung atau membatasi aktifitas dalam penjara seumur hidup apalagi selama waktu tertentu maksimal 20 tahun? Sedangkan hukuman mati dijatuhkan apabila Begal dalam aktifitas pencurian dengan kekerasan menyebabkan kematian korbannya. Itupun jika diberikan pengampunan oleh Presiden dapat batal hukuman matinya. 

Dalam praktik penegakan hukum bahwa peraturan Hukum Pidana tidak mampu memberikan efek jera yang jelas kepada pelaku kejahatan. Bandingkan dengan konsep potong tangan yang dimiliki oleh Islam. Allah berfirman dalam Al-Quran surat Al- Maidah ayat 38 yang berbunyi,

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". 

Dengan menjalankan hukum Allah tersebut, manusia tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk “menggodok” Rancangan-rancangan peraturan hukum Pidana, tidak perlu kesulitan mencari bentuk sanksi yang tentunya diharapkan menjadi sarana efek jera bagi pelaku kejahatan tersebut, khususnya kejahatan pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang setempat dikenal dengan istilah Begal.

Begal dalam Konsep Islam adalah Pencuri yang dikenakan hukum tangan kepada seseorang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal (tidak gila atau hilang ingatan). Hukum potong tangan dikenakan bagi orang yang mengambil barang dengan tujuan untuk dimiliki. Begitu pula pencuri mengambilnya dalam keadaan darurat atau butuh. Begitu pula barang yang dicuri adalah barang bernilai atau berharga. Mencuri sendiri bentuknya adalah secara diam-diam, berbeda dengan begal yang sifatnya dengan terang-terangan memaksa di jalanan, Begal motor masuk dalam kategori Sariqoh Kubro. Hukuman untuk pencurian biasa adalah dengan memotong pergelangan tangan kanan jika dilakukan pencurian pertama kali. Jika berulang kedua kalinya, maka yang dipotong adalah pergelangan kaki kiri. Jika berulang sampai tiga kiri, maka akan dikenakan hukuman penjara. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Islam telah membagi hukuman bagi pelaku begal atau kejahatan pencurian dengan kekerasan dalam empat hukuman sesuai dengan berat dan ringannya suatu tindak kejahatan yang dilakukannya, yaitu :

1. Dibunuh dan disalib, jika mengambil harta dan melakukan pembunuhan; 
2. Dibunuh saja, jika hanya membunuh dan tidak mengambil harta;
3. Dipotong kaki dan tangan bersilang, apabila hanya mengambil harta dan tidak membunuh;
4. Dipenjarakan. Apabila hanya menakut – nakuti saja. 

Tujuan diberlakukannya hukuman dalam Islam ini adalah demi memelihara, menjaga agama, nyawa, akal, keturunan dan harta manusia.

Anehnya masih saja masyarakat yang takut dengan kejahatan pelaku Begal sekaligus menganggap Islam adalah kejam, melanggar HAM, terbelakang dan sangat primitif dalam penerapan hukuman bagi orang yang bersalah. Padahal masyarakat sudah barang tentu menghendaki keamanan dan ketertiban Universal untuk memudahkan kehidupannya sendiri. Belum lagi lebih adil mana pelaku Begal yang dibakar hidup-hidup sebagai contoh produk hukum manusia secara spontan dibandingkan dengan hukuman dalam Islam, 

Lagi – lagi karena mengandalkan keinginannya sendiri dan mengedepankan emosi serta nafsu sesaat saja. Sebagian dari mereka juga hanya memperhatikan kepentingan kelompok kecil yang bersalah dan yang berhak atas hukuman tersebut serta menutup mata dan telinga mereka terhadap kepentingan masa depan masyarakat banyak dan orang- orang yang telah dirugikan dari Begal atau pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perlu di ingat, bahwa harta dan nyawa adalah dua hal yang sangat berharga bagi manusia. Sehingga, dalam hal ini perhatian Islam kepada keduanya sangatlah besar, begitu pula perintah untuk menjaganya.

Oleh karena itu, hukum mana yang lebih baik daripada hukum Allah bagi mereka yang berakal. Peristiwa kejahatan apa pun itu, hendaknya menyadarkan kepada kita semua bahwa kita butuh sistem handal untuk mengatasi begal dan kejahatan lainnya. [Satya Widarma, S.H., M.Hum  (Praktisi Hukum)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Begal Marak, Hukum Mangkrak? (Tinjauan Retrospeksi)"

close