Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Darurat Kekerasan Terhadap Anak, Di Mana Peran Negara ?


“Anak-anakmu bukanlah anakmu, tetapi mereka adalah anak zamannya”, begitulah ungkapan seorang penyair menggambarkan  zaman yang sangat berpengaruh terhadap kepribadian  anak. Ungkapan tersebut sangat tepat. Anak Indonesia saat ini dilingkupi oleh berbagai persoalan yang menggerogoti kehidupan dan kepribadiannya. 

Lalu bagaimana dengan kondisi kehidupan anak Indonesia saat ini? Sekalipun pemerintah selalu menghimbau untuk memperhatikan hak hidup, tumbuh berkembangnya serta aktualisasi anak di masyarakat, namun kenyataannya banyak anak Indonesia yang belum hidup bahagia, memiliki harapan dan cita-cita. Sebagian besar dari mereka masih hidup dalam suasana memprihatinkan, penuh kesedihan, jauh dari hak-hak anak yang seharusnya mereka terima.  Ada sekian juta yang mengalami gizi buruk. Tingkat prevalensi gizi kurang pada balita sampai 17,9 persen atau sekitar 3,7 juta balita mengalami  gizi buruk. Jumlah anak – anak terlantar sebanyak 5,4 juta orang. Dalam hal pendidikan, anak – anak usia 7- 15 tahun yang terancam putus sekolah  mencapai 13 juta anak. 

Apalagi sekarang kasus kekerasan anak kembali terjadi. Bahkan akhir-akhir ini semakin menunjukkan peningkatan.  Setelah kasus Angeline,  kekerasan  juga menimpa anak-anak lainnya di berbagai kota.  Kasus Angeline tidak lebih dari gunung es yang menjadi titik kulminasi  dari berbagai tindak kekerasan anak yang jumlahnya sudah sedemikian memprihatinkan.  Mirisnya, keluarga dan guru sebagai pihak terdekat anak yang seharusnya memberikan perlindungan dan keamanan justru berlaku sebagai  pelaku teror bagi anak.

Komisi Nasional Perlindungan Anak  memprediksi kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2015 akan terus mengalami peningkatan.  Hal itu dapat  terjadi apabila pemerintah, masyarakat dan keluarga tak melakukan tindakan pencegahan serta penanganan.  Selain kekerasan fisik, tindak kekerasan yang sering menimpa anak adalah penelantaran, eksploitasi, dan perdagangan anak (child trafficking). Kemudian, bentuk kejahatan seksual yang dialami anak-anak  juga bervariasi, mulai dari oral seks, sodomi, fedofilian, pencabulan, hingga perkosaan.

Berulangkali kekerasan anak terjadi, pemerintah hanya mengecam, membuat jargon tanpa ada perubahan dari segi aturan maupun sistem dalam menangani kekerasan anak.  Sebenarnya masalah anak telah diatur dalam UUD 1945 pada pasal 34 ayat 1 yang menyatakan bahwa anak terlantar merupakan tanggung jawab negara. Faktanya anak – anak terlantar semakin bertambah tiap tahunnya. Bahkan, nasib anak – anak tersebut tidak jelas. Mereka, tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan, pakaian, dan rumah yang layak. Tidak sedikit dari mereka dibiarkan berbuat asusila (pornografi dan pornoaksi). Bahkan diantara mereka ada yang menjadi korban dan sekaligus pelaku perbuatan amoral tersebut.

Padahal anak  adalah asset generasi masa depan. Di tangan merekalah kredibilitas sebuah bangsa dipertaruhkan. Sebab masa depan Indonesia yang akan datang tergantung dengan kondisi generasinya. Namun sistem kapitalis sekuler yang menguasai Indonesia sampai hari ini telah menciptakan kondisi buruk bagi perkembangan fisik, kejiwaan dan perilaku anak. Banyak anak-anak yang tergadaikan hak-haknya karena kelalaian keluarga yang tidak mengerti bagaimana memenuhi hak anak-anak. Juga masyarakat yang sangat abai dengan lingkungan bersosialisasi anak. Sementara di sisi lain negara juga tidak peduli dengan jaminan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan juga keamanan anak dari berbagai tindak kekerasan.

Pemerintah masih mandul melahirkan regulasi yang menghasilkan perlindungan integral bagi anak. Negara baru hadir utk memberatkan sanksi bagi pelaku kekerasan sementara berbagai pihak justru memperparah kondisi dengan menyebarluaskan paham HAM dan kebebasan yang menghasilkan pribadi individualis dan abai terhadap lingkungan.  Pribadi individualis inilah yang kerap kali mengorbankan hak-hak anak.  Orang tua yang terlalu sibuk mengejar karir dan keluarga broken home disinyalir menjadi sebab utama kekerasan terhadap anak. Apalagi dengan situasi ekonomi sulit efek liberasasi ekonomi saat ini membuat orang tua tega mempekerjakan anak-anak mereka yang masih di bawah umur atau menelantarkan mereka.

Syariat Islam menganggap anak  sebagai investasi masa depan  yang berhak dipenuhi kebutuhan hidupnya secara optimal termasuk jaminan keamanan dan perlindungan.  Orang tua tidak boleh menelantarkan anak.  Jika mereka tidak mampu memberikan nafkah berupa sandang, pangan dan papan, maka pengasuhan anak akan diserahkan kepada  orang yang ditunjuk oleh negara atau walinya. Jika anak tidak memiliki wali  maka sebagai jalan terakhir negara yaitu  Khilafah akan mengambil tanggung jawab ini. Negara juga melakukan edukasi kepada para orang tua  tentang pendidikan dan pengasuhan anak serta memberikan sanksi yang tegas bagi orang tua yang melalaikan hak-hak anak.

Negara Khilafah akan menghilangkan semua sarana yang  membahayakan fisik dan kepribadian anak. Tayangan media massa dihilangkan dari konten kekerasan dan seksual  sehingga mencegah orang dari tindakan yang membahayakan anak.  Jika ada anak  yang mengalami kekerasan maka anak akan segera disembuhkan dari trauma kekerasan dengan landasan aqidah Islamiyah.  Anak tidak akan pernah ditanamkan kebencian dan dendam kepada orang tua yang pernah melakukan tindakan kekerasan kepadanya. 

Oleh karena itu, satu- satunya yang bisa menyelamatkan anak-anak Indonesia adalah sistem Khilafah. Dengannyalah, anak-anak Indonesia akan terlindungi dan akan hidup dalam suasana  bahagia dan sejahtera.  Tak heran generasi unggul pencetak peradaban maju dan terdepan dalam negara Khilafah adalah sebuah keniscayaan. [Indah Kartika Sari, SP (Ketua Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Dewan Pimpinan Daerah I Provinsi Bengkulu)] [www.visimuslim.com]

Posting Komentar untuk " Darurat Kekerasan Terhadap Anak, Di Mana Peran Negara ?"

close